Setelah sekian hari mendekam di rumah, selepas subuh saya kembali keliling kampung dengan 4 kg makanan kucing. Sebagian di tangan. Sebagian di backpack.
Sendirian. Karena Wini ga ada nyali keluar rumah.
Jalanan lebih sepi dibanding jaman normal tapi pada titik-titik tertentu pemandangan tak berubah. Ibu-ibu berkerumun di tukang-tukang sayur. Tidak ada > 1 meter. Sebagian malah nempel-nempelan bahu. Megang-memegang sayur yang sama. Bergantian.
Pas tukang nasi uduk masih berkemas-kemas, satu motor berhenti di depannya. Ditunggangi 3 remaja tanggung. Yang belakang merokok. Pas turun, yang tengah minta rokoknya. Bergantian mereka merokok.
Emosi naik. Apa orang-orang ini tidak dengar berita? Tenaga kesehatan babak belur di rumah sakit. Tidak sedikit yang meninggal karena menangani virus corona.
Tapi pemandangan pagi itu membuat sadar.
Kalau dianalogikan sepak bola, tenaga kesehatan yang tengah berjuang mati-matian itu bukan ujung tombak, bukan striker. Mereka penjaga gawang.
Dan sekarang mereka dihajar lawannya habis-habisan.
Tidak ada bek yang menjaga wilayah pertahanan. Lawan semau-maunya masuk daerah pertahanan. Sebagian dengan langkah petenteng-petenteng karena merasa tokoh. Sebagian lenggang kangkung. Mudah mereka membuat gol.
Penjaga gawang kewalahan, kelelahan.
Sebagian besar kita, warga biasa ataupun pemimpin duduk di bangku penonton. Ramai sorak sorai di media sosial. Bicara di depan pers atau pakai toa berteriak-teriak ke pemain lawan.