Mohon tunggu...
Risang Raditya Abisatya
Risang Raditya Abisatya Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Tak kenal maka tak sayang. Perkenalkan nama saya Risang

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Ziarah Waktu

19 Oktober 2013   19:12 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:18 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

(1)

Ku dapati kamu tak sengaja, sedang menunduk diam terpaku. Matamu, yang sedari dulu ku tau di dalamnya terdapat telaga; airnya mengombak dengan tabah, kini tak kuasa kau bendung, tumpah basahi lahan pipimu, bersama doa-doa yang kau panjatkan, berziarah ke kediaman yang belum lama ini membujur kaku. Ziarah ke makam di liangnya berisi bait-bait kenangan.

(2)
Lalu kau tabur bunga-bunga di sekitar pusaran makam. Harum memang, wanginya berterbangan di angkasa, mendobrak masuk ke lubang hidungku dari jauh. Tapi ku tau, di balik itu semua, tersimpan busuk, yang menyeringai siap menusuk.

(3)
Perlahan ku hampiri siluet tubuhmu, yang sedari jauh tadi mataku di saji sebuah bayangan. Sesaat, selang tak jauh lama, aku bersua denganmu. Tak ada cakap yang terlontar diantara kita. Pun tak ada lambaian yang terisyaratkan antara kita. Hanyalah sunyi yang terisyaratkan serta suara gaduh angin menerpa tubuh.

(4)
Lagi. Tak ada sepatah katapun yang keluar, semenjak ku berada disini. Lalu, ku lirik perlahan kau. Kau hanya bernafas; mendengus kasar, serta air matamu yang berjatuhan membasahi sekitar pusaran makam.

(5)
Masih. Kau masih saja menangis, hingga tak terasa seisi alampun larut dalam kepedihanmu. Dan sekali lagi, aku hanya membisu, tanpa ada kata terlontar dari bibirku.

(6)
Kali ini aku mesti bertindak. Setelah sekian lamanya mulutku terkurung senyap. “Untuk apa terus kau tangisi waktu yang tak akan membuatmu kembali ke masa silam? Kau telah berada disini, dimana kau pijaki waktu kini, tapi mengapa tidak kau rancang kemudimu untuk berlabuh di sebuah pulau, yang mana kau berada di masa mendatang?”

(7)
Hanya sedu air mata di ronamu yang mampu menjawab semua pertanyaanku. Sedang bibir mungilmu, terkunci rapat dalam hening. Ku tau, kau tak sudi tuk lepaskan memori silam yang telah menggoreskan tinta emas lembar demi lembar sepanjang hidup kita.

(8)
Lalu, kita berpisah di ujung sebuah jalan selepas berziarah. Kau ke arah sana, sedang aku ke arah lain. Dan entah kapan kita kan berjumpa lagi. Hanya mantra-mantra betebaran di angkasa, yang sedari tadi kau tasbihkan sewaktu berziarah, kelak ia kan merayuku tuk sapa denganmu lagi.

(2013)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun