Mohon tunggu...
Risal Sadoki
Risal Sadoki Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Catatan biasa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Waktu Itu di Kampus (Bagian 2)

11 Juni 2024   17:40 Diperbarui: 11 Juni 2024   17:47 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

(Ket : Lanjutan dari catatan sebelumnya)

Setelah satu bulan berlalu, akhirnya judul proposal saya di ACC oleh penasehat akademik. Pernah juga di tolak, menganggap bahwa judul saya tidak sesuai dengan besik keilmuan, karenanya saya harus mengubah dengan judul proposal yang sesuai. Pada 27 juni 2024 kemarin,  saya datang lagi dengan diri yang meyakinkan, rasional, serta menolak untuk di tolak. Kalaupun di tolak, ya paling paling saya akan mengubahnya lagi. 

Setelah di pikir pikir, ternyata semuanya memerlukan strategi yang matang ketika ingin mengajukan judul. Paling tidak, kita harus mampu mengendalikan suasana. Entah itu dengan pasrah, yakin, merasa takut, dan lain lain. Tapi paling tidak, judul tersebut tidak boleh keluar dari rasionalitas, sesuai dengan objek masalah yang di teliti, karena hal itu yang menjadi penentu. 

Waktu itu di kampus, saya masuk dengan sedikit mengumpulkan nyali, kampus seakan memaksa saya untuk menjadi manusia individulis, merayakan kebohongan di tengah-tengah di namika kampus yang kapitalistik. Semuanya menyerupai boneka yang di kekang langsung oleh kampus. Ya, kampus begitu menghegemoni ruang gerak mahasiswa hari ini, sudah menjadi tujuannya mungkin. 

Saya menyaksikan langsung bagaimana kampus membentuk hedonisme mahasiswa. Pernah suatu ketika, ada kegiatan Himpunan mahasiswa jurusan (HMJ) yang membuat kuliah tamu. Saya tidak tau persis siapa yang menjadi pemateri waktu itu. Tapi yang jelas, sepaskah kegiatan berakhir, seluruh mahasiswa yang mengikuti giat itu langsung merayakan dengan berjoget joget di sebuah gedung besar, dengan nada lagu yang justru menganggu orang-orang yang sedang melakukan proses pembelajaran. Merasa terganggu, saya melihat seorang pengawai kampus bagian perlengkapan yang berjalan ke arah saya, tanpa ragu saya melaporkan kejadian aneh itu kepadanya sambil mengangkat tangan menunjukkan ke arah mereka. Dengan santai beliau menjawab, "biarkan saja, itu masa mereka". Dosen-dosen di situ juga tidak ada yang memperdulikan. Dengan hati yang kesal, saya kembali meratapi beberapa mahasiswa yang waktu lalu melakukan refleksi memakai megafon (alat pengeras suara), yang berteriak mengenai kepungan pertambangan, isu lingkungan dan lain lain. Hal ini justru mendapatkan perlakuan yang tidak sesuai dengan masalah joget jogetan tadi. Pasalnya, mereka diberhentikan oleh sekuriti kampus dengan dalil menganggu kenyamanan orang-orang yang sedang belajar. Dalam artian, kampus hari ini menghadang mahasiswa yang masih mempunyai kewarasan berpikir, sedangkan merawat mahasiswa yang tidak punya pikiran seperti itu. Dengan kata lain, kampus mempunyai ambisi besar dalam menciptakan dehumanisasi individu individu. Semuanya harus berada dalam kendali mereka. 

Jika terus mengingat ingat, malah menambah kesal di dada. Untuk tidak memperumit hal demikian, saya melanjutkan membaca buku yang sempat saya tinggalkan tadi, karya Tan Malaka yang paling fenomenal, Madilog. MADILOG adalah karya terbaik Tan Malaka yang pernah saya baca. Di dalamnya memuat rujukan berupa cara pandang baru bagi masyarakat Indonesia. 

Bukan apa apa, untuk memahami Madilog akan terasa sulit bagi mereka yang tidak bisa menerimanya dengan hati yang lapang. Hal itu di sampaikan Tan Malaka dalam awal bukunya itu. Kurang lebih seperti ini, "Baru 3 tahun sesudah lahirnya itu, Madilog sekarang memperkenalkan dirinya kepada mereka yang sudi menerimanya. Mereka yang sudah mendapat minimum latihan otak, berhati lapang dan seksama serta akhirnya berkemauan keras buat memahamkannya". Tan Malaka. Lembah Bengawan Solo, 15 Maret 1946.

Bangsa Indonesia masih di kelabui dengan pemikiran mistisisme. Masyarakat Indonesia waktu itu masih percaya bahwa dalam keadaan terjajah, harus menunggu dan mengharapkan dewa dewa itu turun dari langit dan menyelamatkan kita. Bagi Tan, ini sesuatu yang tidak berlogika. Dia mengkritik budaya demikian dengan menawarkan formula baru. Formula baru itu yang kita kenal dengan Madilog.

Tan, mencoba merubah cara pandang bangsa Indonesia yang terlalu mistikal (mistis). Dalam MADILOG, ia memberikan satu cara pandang baru terhadap bangsa ini menggunakan materialisme, dialektika dan logika dengan melihat pada situasi dan kondisi yang terjadi di Indonesia. Dengan kata lain, Tan Malaka menegaskan kepada kita untuk berpikir yang beralaskan benda bukan roh, yang bertentangan bukan perdamaian, serta memakai undang berpikir, yang bukan fantastik, bertakhyul dan sembarangan. 

Karenanya bagi saya, membaca Tan Malaka (Madilog) adalah membaca Indonesia. Sialnya, Tan tidak begitu beruntung, ia di buru  karena pemikirannya yang di cap sebagai melawan pemerintah Indonesia, sehingga di eksekusi dalam poros perjuangan gerilyanya. 

Walaupun begitu, saya selalu percaya bahwa nantinya ada orang-orang yang melanjutkan perjuangan itu, setelah mengetahui bahwa sejarah mempunyai geneologi dari setiap kejadian, mempunyai sebab akibat dari suatu peristiwa, setelahnya semua orang akan berani menetukan siapa yang benar dan siapa yang salah. 

___________________________

Catatan ini adalah lanjutkan dari catatan sebelumnya (Bagian 1) . "HARI HARI YANG BERLALU" merupakan catatan yang saya ingin tulis di akhir studi kali ini (Bagian 2). 

Risal Sadoki | Catatan Biasa

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun