Tak sengaja, saya melihat salah seorang Mahasiswa Pecinta Alam (MAPALA) membagikan foto mereka di media sosial. Entah itu mengisahkan sehabis pendakian atau apa. Dengan alat alat yang lengkap, penampilannya menunjukkan bahwa mereka adalah pendaki yang hebat. Jika di lihat lihat, ternyata mereka baru selesai merekrut anggota baru, saya tidak tau persis apa istilahnya dalam mapala. Keren bukan.! Mahasiswa-mahasiswa yang membagi waktunya ke alam untuk melihat keindahannya dari dalam. Tanpa itu, pastinya mereka bukan di sebut sebagai mahasiswa pecinta alam.
Bicara Mapala, selalu mengundang saya untuk kembali pada sosok demonstran yang satu ini, Soe Hok Gie, namanya. Seorang mahasiswa yang terang terangan memprotes jalannya pemerintahan Orde Lama dan Orde Baru. Bagaimanapun, Soe Hok Gie dan gunung memang sulit dipisahkan. Sejak mendirikan MAPALA bersama kawan-kawannya di Fakultas Sastra UI pada 12 Desember 1964, Hok Gie terbilang sering mengorganisir kegiatan pendakian ke berbagai gunung tinggi di Pulau Jawa. Tentunya hal ini mempunyai alasan tersendiri kenapa Sok Hok Gie lebih memilih menghabiskan waktunya dengan alam.
Beberapa waktu lalu, saya sempat membaca catatan-catatan yang di publikasikan oleh SERI BUKU TEMPO, yang memuat "surat-surat yang tersembunyi dari Gie", salah satu alasannya kenapa di memilih naik gunung adalah karena dia muak dengan iklim politik kampus, mengalami kejenuhan dari konflik antar organisasi kemahasiswaan onderbouw partai politik di kampusnya pada 1960-an. Karenanya dia lebih tertarik berkegiatan di alam bebas, daripada menyaksikan kawan-kawannya yang saling memperebutkan kursi kekuasaan.
Ironisnya, Soe Hok Gie meninggal di atas gunung Semeru di ketinggian 3.676 meter di atas permukaan laut. Beberapa sumber menyebut, bahwa Gie meninggal karena menghirup gas beracun. Secara paradoks, kita mungkin tidak bisa menerima hal ini. Bagaimana tidak.? Orde Baru (Orba) selalu meninggalkan catatan buruk bagi keberlangsungan hidup aktivis yang rajin mengkritik. Penghilangan nyawa seseorang di jaman Orba bukan lagi menjadi pertanyaan mendasar, mungkin saja Hok Gie adalah orang yang menarik perhatian pemerintahan Orde baru untuk memburunya. Kita bisa mengklaim demikian berdasarkan bukti dari jaman yang otoriter, segala hal yang menganggu keamanan harus di eksekusi.
Nah, kembali pada Mahasiswa Pecinta Alam (Mapala). Jika melihat orientasi Mapala hari ini justru tidak lagi sejalan dengan apa yang kemudian menjadi spirit Soe Hok Gie waktu itu. Bagi saya, Gie menjadikan alam sebagai tempat belajar serta mengumpulkan kekuatan ketika sehabis mendemo di kota dan juga kampusnya. Hal ini di lakukan sebagai perenungan panjang bagi kawan kawan yang menghianati perjuangan yang pernah mereka buat.
Mapala hari ini. Bagi saya, telah melenceng jauh dari amanat Gie. Walaupun Soe Hok Gie tidak pernah meniggalkan amanat demikian, tapi ini bisa di lihat dari aktivitas-aktivitas yang di lakukan Gie, seakan dia menyerukan agar semua Mapala hari ini harus bertindak dan berjuang demi kelangsungan alam yang tidak lagi seimbang. Mapala hari ini, hampir segala aktivitasnya tidak berada pada ruang yang mengkritisi kebijakan terhadap eksploitasi alam yang terjadi secara terus menerus. Padahal, kalau mereka turut andil dalam mengkampanyekan kerusakan alam, secara tidak langsung mereka mempertahankan spirit perjuangan Sok Hok Gie. Sayangnya, Mapala hari ini tidak jauh dari sekadar aktivitas yang hanya menghabiskan uang tanpa mengisahkan apa apa. Saya tidak berniat menyinggung mereka, tapi prospek inilah yang harus di pertimbangan kawan kawan Mapala terhadap alam yang hari ini berada dalam kecaman pertambangan.
Malam ini terlalu dingin. Untuk Soe Hok Gie, saya ingin menanyakan sesuatu hal jika dia ada di sini. Tidak terlalu sulit untuk di bayangkan, saya rasa dia pasti bisa menjawab, apalagi dia adalah orang yang mendirikan Mapala. Begini pertanyaannya, bagaimana pendapat anda dengan orientasi Mapala hari ini.?
_________________________
Catatan ini adalah lanjutkan dari catatan sebelumnya (Bagian 2) . “HARI HARI YANG BERLALU” merupakan catatan yang saya tulis di akhir studi kali ini (Bagian 3).
Risal Sadoki | Catatan biasa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H