Pekerjaan melelahkan itu berakhir sudah, enam tahun yang paling menyebalkan dalam hidupku akhirnya berakhir hari ini. Tak terhitung rasanya berapa banyak diktat-diktat dan buku-buku yang telah kuselesaikan dan sudah ada ribuan lembar kertas kososng yang kuisi sejak 2000 lalu. Ya, hari ini, Selasa di bulan Juni 2006 yang diguyur oleh hujan, aku akhirnya dinyatakan lulus dari perguruan tinggi.
Aku akhirnya pulang ke kamar kontrakan yang lebih sering kesebut kandang karena buku dan baju yang berserakan setelah melakukan perayaan kecil atas kelulusanku. Ya, teman-temanku yang sudah lebih dahulu lulus beberapa tahun lalu tanpa sepengetahuanku datang dan memberikan kejutan kecil kelulusan. Semua tampak bahagia, doa doa dan harapan-harapan pun dipanjatkan tinggi ke langit yang kuharap dapat segera kugapai. kabar ini pun kusampaikan ke orang-orang di kampung lewat telpon umum di depan kontrakan, dari seberang kudengar suara dari ibuku, suaranya terdengar bergetar yang kemudian berganti dengan isakan, hatiku runtuh, untuk semua hal yang pernah kulalui, ini adalah hadiah terindah untuknya.
****
Hari hari setelahnya kemudian menjadi sangat singkat, di dalam kamar, aku kemudian hanya memainkan lagu-lagu seperti darah juang, awan hitam dan mars organisasi kampus ku dengan gitar butut yang kupinjam setahun lalu dari seorang teman, pikiran melayang-melayang, ibu memintaku untuk segera bekerja, "pekerjaan apa yang pantas untuk lulusan dengan IPK tak lebih dari 2.00 ? perusahaan bodoh apa yang akan menerimaku ?," ya, aku lulus hanya karena berhasil mengancam dosen pembimbing setelah membawa badik ke ruangannya dan menggambari mobil Toyota Kijangnya dengan gambar k*ntl karena menolak mentah-mentah demonstrasi yang akan aku lakukan bersama teman-teman yang lain untuk menolak kenaikan BBM Maret tahun lalu.
Semua terasa sangat cepat hingga terdengar bunyi keras dari pintu, seorang teman lama berkunjung. "gimana kabarmu ? baik-baik toh ? selamat karena sudah lulus," katanya sambil melempar tawa ramah yang kemudian ku balas dengan senyum kecut. Namanya Sasto, aku mengenalnya bertahun-tahun lalu setelah kubantu menang pemilihan legislatif dan kemudian menjadikanku orang yang menuliskan kata-kata mutiara di sebuah koran harian dan tentu saja tulisan itu mengatasnamakan dirinya. "Pasti ada yang bisa kubantu," kata ku. aku tahu betul perangainya, dia hanya akan datang kalau perlu saja.
"begini bosku, tolonglah, saya sedang ada masalah," katanya. Ia kemudian menceritakan beberapa hal. Rupanya, lawan politiknya sedang tersangkut kasus korupsi, dan dia memintaku untuk membantunya.
"Demo ? tutup jalan ?, sudah lama saya tidak turun jalan, cari orang lain saja," kata ku.
"tapi ini feenya lumayan"
"ogah ah, malas"
"kalau tidak mau uang, bantu sebagai teman mu saja nah"
Setelah negosiasi yang cukup panjang, saya pun menerima tawarannya, tapi tentu dengan banyak persyaratan, bagiku uang urusan kesekian, pertemanan dengan si berandalan ini adalah nomor satu. Ia kemudian memintaku untuk datang pukul 8 malam nanti di sebuah cafe di sudut kota yang menurutku hanya bisa didatangi oleh orang-orang berduit saja.
Waktu yang disepakati pun tiba, aku datang bersama rekanku, namanya Bagas, mahasiswa yang setahun lebih muda dariku, kami berboncengan menggunakan Vespa miliknya dan tiba hanya beberapa menit sebelum pukul 8, meski miskin kami punya sesuatu yang bisa dibanggakan yaitu waktu, sesuatu yang mahal dan mewah bagi beberapa orang termasuk Sasto yang rupanya datang terlambat lagi.
Aku dan Bagas kemudian memesan makanan dan minuman sambil menunggu Sasto datang. Kopi panas dan kentang goreng yang kami pesan hampir tandas dan dia pun belum datang, kami pun saling memandang "Kampret, siapa yang bayar makanan ini nanti," gumamku dan aku tahu betul Bagas memikirkan hal yang sama.
Sasto baru datang pada pukul 9 malam, bersama pengawalnya, ia datang berbalut jas mahal dan rambut klimis
"maaf tadi ada urusan mendadak"
"klasik," balasku, aku tahu betul alasannya dia bukan orang yang baru kukenal sehari.
"sampai dimana kita" katanya memulai pembicaraan. musik Leaving on a jetplane mengiringi malam kami berempat. kamipun menyusun rencana-rencana busuk untuk membantu Sasto mulai mobilisasi massa sampai dengan paska eksekusi.
Semua terdengar mudah lalu malam itu, kami merencanakan sebuah pembunuhan, pembunuhan karakter seseorang, setelah itu kemudian saling melempar omong kosong untuk mencairkan suasana. Sasto memanggil perempuan-perempuan untuk menemani kami, botol-botol bir berbunyi saat saling ditubrukkan. Kami kemudian membunuh malam sambil mabuk.
"Untuk kemenangan kita" kata Sasto
"Untuk kemenangan kita" kata Bagas. Malam itu kita semua tertawa, tanpa beban, selain karena rencana yang matang, juga karena makanan kami semua ditanggung oleh Sasto.
*bersambung*
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H