Pada abad ke-10 Masehi, dunia Islam tengah berada di masa keemasan di bawah Dinasti Abbasiyah. Baghdad, pusat pemerintahan dan peradaban Islam, adalah sebuah kota yang dipenuhi cahaya ilmu pengetahuan, seni, dan perdagangan. Di tengah gemilangnya peradaban itu, seorang utusan bernama Ahmad bin Fadlan mendapat tugas penting yang membawanya ke wilayah yang jarang dijelajahi oleh Muslim pada masanya. Ia diutus untuk menjalankan misi diplomatik yang membawa Islam ke negeri-negeri yang jauh di utara, termasuk bertemu dengan bangsa Viking yang kala itu dikenal sebagai Rusiyyah.
Ahmad bin Fadlan bukan hanya seorang diplomat, tetapi juga seorang pengamat yang jeli. Catatan perjalanannya dalam bentuk risalah (Rihla) adalah salah satu sumber sejarah paling penting yang memberikan pandangan langsung tentang interaksi antara dunia Islam dan budaya Eropa Utara. Perjalanan ini dimulai pada tahun 921 M, ketika Khalifah Al-Muqtadir dari Dinasti Abbasiyah menerima permintaan Raja Volga Bulgaria untuk mengirimkan misi resmi. Raja tersebut meminta bantuan kekhalifahan untuk memperkuat keyakinan Islam di kerajaannya yang baru saja menerima agama ini, serta membangun struktur pemerintahan dan keagamaan yang lebih terorganisir.
Tugas Ahmad bin Fadlan adalah membawa surat dari khalifah, beserta hadiah-hadiah istimewa, kepada raja tersebut. Namun, perjalanan ini bukan hanya sekadar diplomasi politik. Misi ini adalah ekspedisi lintas budaya, yang menuntut Ahmad bin Fadlan menghadapi berbagai tantangan geografis, iklim, dan budaya yang sangat berbeda dari apa yang ia kenal di Baghdad. Perjalanan ini memakan waktu hampir setahun dan melibatkan rute yang melintasi hutan-hutan lebat, sungai besar, dan padang rumput yang luas.
Selama perjalanan menuju Volga, Ahmad bin Fadlan mencatat segala sesuatu yang ia lihat dengan detail yang mengagumkan. Ia menggambarkan kondisi geografis yang dilalui, kehidupan masyarakat lokal, hingga kebiasaan unik mereka. Setibanya di Volga Bulgaria, ia disambut hangat oleh Raja mereka, yang merasa sangat terhormat menerima utusan resmi dari kekhalifahan. Ahmad bin Fadlan memulai tugasnya dengan mengajarkan prinsip-prinsip Islam, mendirikan masjid, dan memperkenalkan sistem pemerintahan yang berbasis pada hukum Islam.
Namun, yang paling menarik dari risalah Ahmad bin Fadlan adalah bagian yang menceritakan tentang bangsa Viking. Ketika berada di wilayah Volga, ia bertemu dengan pedagang-pedagang Viking yang sering berdagang di kawasan itu. Bangsa Viking dikenal sebagai penjelajah, pedagang, dan pejuang yang tangguh. Mereka membawa berbagai barang dari Skandinavia seperti bulu, madu, senjata, dan perhiasan untuk ditukarkan dengan sutra, rempah-rempah, dan barang mewah dari dunia Islam.
Ahmad bin Fadlan memberikan deskripsi yang sangat mendetail tentang penampilan fisik dan kebiasaan bangsa Viking. Ia menggambarkan mereka sebagai orang-orang bertubuh besar, berambut pirang, dan bertato di sekujur tubuh mereka. Mereka memiliki gaya hidup yang kasar namun penuh semangat. Salah satu deskripsi paling terkenal dari Ahmad bin Fadlan adalah tentang kebiasaan mereka dalam menjaga kebersihan. Ia menulis bahwa bangsa Viking jarang mandi dan menggunakan air yang sama untuk mencuci tangan dan muka secara bergantian, sesuatu yang dianggapnya tidak higienis menurut standar Islam.
Namun, Ahmad bin Fadlan tidak hanya berhenti pada pengamatan fisik. Ia juga mencatat adat istiadat dan kepercayaan mereka dengan sangat rinci. Salah satu ritual yang ia saksikan adalah upacara pemakaman seorang pemimpin Viking. Dalam ritual ini, seorang budak wanita dikorbankan untuk menemani tuannya ke alam baka, sebuah praktik yang sangat asing bagi Ahmad bin Fadlan dan nilai-nilai Islam yang ia anut. Ritual ini melibatkan tarian, nyanyian, dan akhirnya pengorbanan dengan cara yang ia gambarkan sebagai brutal.
Ahmad bin Fadlan tidak hanya menjadi saksi ritual-ritual unik bangsa Viking, tetapi juga seorang pengamat budaya yang luar biasa. Ia mencatat bagaimana bangsa Viking memandang kehidupan dan kematian. Salah satu hal yang menarik adalah konsep kehormatan yang mereka junjung tinggi, terutama dalam pertempuran. Bagi bangsa Viking, mati dalam pertempuran adalah bentuk kematian yang paling mulia, karena mereka percaya bahwa para pejuang yang gugur akan masuk ke Valhalla, sebuah tempat dalam mitologi Nordik yang digambarkan sebagai surga bagi para pemberani. Ahmad bin Fadlan mencatat keyakinan ini dengan penuh keheranan, karena sangat berbeda dengan pandangan Islam tentang kematian dan kehidupan setelahnya.
Namun, meskipun banyak perbedaan yang ia saksikan, Ahmad bin Fadlan tidak menunjukkan sikap merendahkan. Sebaliknya, ia mendekati budaya Viking dengan rasa ingin tahu yang mendalam, mencatat setiap detail tanpa menghakimi. Ini adalah salah satu pelajaran besar dari catatan Ahmad bin Fadlan: bagaimana memahami perbedaan budaya tanpa kehilangan identitas sendiri. Ia tidak berusaha memaksakan Islam kepada bangsa Viking, melainkan memperkenalkan ajarannya dengan cara yang bijaksana dan terbuka, sebuah pendekatan yang sangat relevan dalam dunia yang penuh perbedaan saat ini.
Dalam catatannya, Ahmad bin Fadlan juga mencatat bagaimana bangsa Viking menghormati hubungan perdagangan dengan dunia Islam. Mereka sangat menghargai barang-barang dari kekhalifahan Abbasiyah, seperti kain sutra, keramik, dan perhiasan. Hubungan perdagangan ini menciptakan jalur pertukaran budaya yang penting, di mana bangsa Viking mulai terpapar dengan nilai-nilai Islam melalui interaksi mereka dengan para pedagang Muslim. Ahmad bin Fadlan, dengan sikapnya yang sopan dan penuh pengetahuan, menjadi perwakilan langsung dari peradaban Islam yang maju.
Namun, perjalanan Ahmad bin Fadlan bukan tanpa tantangan. Cuaca dingin yang ekstrem, bahaya dari hewan buas, hingga ancaman dari suku-suku lain di sepanjang rute perjalanan adalah beberapa kesulitan yang harus ia hadapi. Dalam risalahnya, ia menggambarkan bagaimana ia sering kali merasa terisolasi dan rindu akan kehidupan yang lebih nyaman di Baghdad. Namun, iman dan tanggung jawabnya sebagai utusan khalifah membuatnya tetap teguh. Ini adalah pengingat bahwa dalam menjalankan misi besar, pengorbanan adalah bagian tak terhindarkan dari perjalanan.