Oleh: Risal G. Gifari
Dosen MK. Pendidikan Pancasila & Multikultural
Civitas Akademika Universitas Islam Darussalam Ciamis
Setiap manusia yang hidup pasti akan mencapai akhirnya. Itu adalah fakta yang tak terbantahkan. Namun, pertanyaannya bukan tentang kapan atau bagaimana akhir itu datang, melainkan tentang bagaimana kita menjalani hidup hingga saat itu tiba.
Bayangkan sejenak: suatu hari, rumah kita akan ramai. Bukan karena pesta, melainkan karena kabar yang membuat semua orang berkumpul. Tubuh kita terbujur kaku, terbungkus kain putih. Tak ada lagi aksesori yang pernah kita banggakan, tak ada lagi jabatan atau status yang kita kejar mati-matian. Setelah itu, semua orang yang datang akan pulang. Mereka meninggalkan kita, dan kita pun tinggal sendiri.
Lalu, apa yang sebenarnya tersisa dari kita saat itu?
Psikolog Viktor Frankl, dalam karyanya Man's Search for Meaning (1946), menyatakan bahwa makna hidup tidak diberikan oleh dunia luar, melainkan diciptakan melalui tindakan kita. Hidup ini, pada akhirnya, tidak diukur dari apa yang kita kumpulkan (harta, status, atau pujian) melainkan dari dampak yang kita tinggalkan dalam kehidupan orang lain.
Namun ironisnya, kita sering lupa. Kita terlalu sibuk mengejar materi, mengutamakan ego, bahkan memupuk dendam. Kita mengabaikan hal-hal kecil yang sebenarnya paling berarti: hubungan yang tulus, kata-kata yang baik, dan kebahagiaan yang sederhana.
Studi Harvard Study of Adult Development, penelitian yang berlangsung selama lebih dari 80 tahun, mengungkapkan bahwa kualitas hubungan adalah faktor utama yang membawa kebahagiaan dan kesehatan manusia. Robert Waldinger, direktur penelitian tersebut, menyatakan bahwa hubungan yang sehat dan penuh empati memiliki dampak lebih besar pada kebahagiaan seseorang dibandingkan kekayaan atau kesuksesan materi.
Jadi, mari bertanya pada diri sendiri: sudahkah kita memperlakukan orang lain dengan tulus? Sudahkah kita meminta maaf atas kesalahan yang kita buat, atau memaafkan mereka yang pernah melukai kita? Karena pada akhirnya, yang benar-benar kita tinggalkan bukanlah harta atau prestasi, tetapi bagaimana kita membuat orang lain merasa.
Filsuf Stoik, Marcus Aurelius, pernah berkata dalam Meditations, "Memento Mori", *ingatlah bahwa kamu akan mati*. Namun, kalimat ini bukanlah pengingat untuk ditakuti. Sebaliknya, ini adalah ajakan untuk memaknai hidup dengan kesadaran penuh bahwa waktu kita di dunia ini terbatas.
Setiap hari adalah kesempatan, bukan hak. Kesempatan untuk menjadi lebih baik, berdamai dengan diri sendiri, dan memperbaiki apa yang salah. Kesempatan untuk menciptakan kenangan yang akan dikenang, bahkan setelah kita tiada.
Bayangkan hari itu, saat nama kita disebut dan semua orang mengucap, "Innalillahi wa inna ilaihi raji'un,"Â atau kalimat belasungkawa lainnya. Apa yang ingin kita tinggalkan? Apakah itu akan menjadi kenangan yang penuh cinta dan kebaikan, atau justru luka dan penyesalan?