Mohon tunggu...
Risalahdamar Ratri
Risalahdamar Ratri Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Halo!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Aku Sudah Tumbuh, Bu

23 Desember 2022   18:17 Diperbarui: 23 Desember 2022   18:30 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Ayo ke kebun binatang Ka, jangan ajak aku berbincang pada topik seperti ini!"

Aku melihat buaya, monyet, jerapah, harimau, simpanse, dan fauna-fauna lain, Raka juga sejak tadi terlihat sangat menikmati. Dibanding memotret dan memandang kehangatan sekitar kebun, aku justru menemukan sesuatu yang lain. Setiap penjuru ini, setiap kulihat tangan mungil-mungil itu digenggam oleh tangan-tangan penuh kasih sayang, aku menemukan kenangan itu kembali, benar-benar kembali, hingga air-air yang telah lama kukemaraukan hadir dengan menantang di kedua mataku. Aku penasaran apakah mereka benar-benar menginginkan kebun binatang atau hanya sekadar memenuhi keinginan orang dewasa, apakah mereka benar-benar menyimpan semuanya dalam benak atau justru dihapus sebab tak sungguh-sungguh menginginkan tempat ini?

Dulu, kebun binatang menjadi tempat kesukaan ibu. Bisa seminggu dua kali ibu mengajakku berkunjung ke banyak kebun binatang. Aku tak pernah tahu apa maksud ibu, yang jelas dulu akan ada ritual mengamuk, menangis, dan bersembunyi yang kulakukan akan ibu tak mengajakku ke kebun binatang. Namun, selalu saja gagal, ibu terus menang dengan menyogok es krim atau bakso kesukaanku.

Raka menyenggol lenganku pelan, tetapi cukup membuatku terkejut dan kesal. "Bisa tidak menganggukku?" kubalas dengan memukul lengannya lebih keras, hingga ia mengaduh kesakitan. "Sakit Ra."

"Memang aku pikirkan?" Raka mengubah suasana sendu yang kubangun menjadi rasa jengkel yang memuncak. Ingin rasanya melempar lelaki ini ke kandang harimau agar segera bertobat dari sifat menyebalkannya.

"Lagian ya Ra, di kebun binatang itu yang dilihat hewannya bukan kenangan!"

"Sejak kapan ada aturan seperti itu?"

"Baru saja, aku meminta petugas untuk mencatat itu sebagai aturan." Belum sempat memenangkan perdebatan, hujan menyapa bumi dengan rintik yang deras. Mungkin Tuhan mengasihaniku sebab aku belum sempat memutar semua kenangan, tetapi sudah dikacaukan Raka, maka diturunkan air-air ini untuk membantuku kembali pada kenangan itu.

"Mbak kamu lihat orang utan itu." Ibu menunjuk orang utan yang duduk sendirian di rumahnya tepat di sebelah kolam. Karena saat itu aku tengah bosan, aku hanya memandang dan mendengar perkataan ibu yang kurang lebih seperti ini, "Nanti dan sekarang jalani hidup seperti dia ya Mbak, orang utan tetap hidup meski banyak gemuruh-gemuruh suara di sekitarnya, ia tetap duduk di kolam meski hewan-hewan lain berusaha meloncat, bergelimbungan, dan bahkan memaksa keluar. Ia menerima rumah yang diberikan. Ia juga menerima tubuhnya, tak berusaha memotong rambutnya seperti cecak memutuskan ekornya, ia tak berusaha mengubah tubuhnya seperti kupu-kupu, dan ia juga tak berusaha menyakiti rusa untuk mengenyangkan dirinya seperti singa. Orang utan hidup dengan keikhlasan menerima dirinya, ia tetap tumbuh dan hidup baik-baik saja Mbak tanpa menghakimi takdir. Kamu tumbuh seperti dia ya Mbak, apa pun yang terjadi di masa depan, hidup dengan keikhlasan ya. Ibu sayang Mbak Rara."

"Ibu ya Ra?"

"Itu kamu tahu."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun