Sidang Jessica memenuhi tayangan TV setiap hari, mulai dari tayangan real-time sidang, berita ulasan, dialog khusus, program kriminal, sampai acara gosip pun ikut-ikutan. Sidang Jessica menginvasi konten dunia maya mulai dari situs berita terpercaya, situs abal-abal, sampai media sosial. Sidang Jessica menghiasi koran dan majalah. Saking ngehitsnya, sampai ada pengusaha warung kopi yang menamai warungnya “Kopi Jessica”. Ada apa dengan sidang Jessica? Apa sih bedanya dengan kasus pembunuhan yang lain? Apakah kematian Mirna merugikan seluruh warga Indonesia seperti layaknya sebuah kasus korupsi yang merugikan orang banyak?
Saya tidak tahu, karena saya sudah lama stop menonton dan membaca kasus kopi sianida tersebut. Bukan karena malas, bukan karena bingung kasusnya semakin ruwet (kalo semakin ruwet harusnya semakin tertarik nonton), tapi karena saya takut dosa.
Dosa apa? Nonton TV kok dosa? Jika Anda ingat kasus sodomi karyawan outsourcing Jakarta International School (JIS) terhadap siswa TK, yang berujung pemenjaraan 5 orang pelaku, setahun kemudian muncul laporan investigasi-warga dari akun twitter @kurawa alias Rudi Valinka yang sangat mencengangkan. Banyak kejanggalan dalam kasus tersebut yang intinya, polisi memenjarakan orang yang salah dan polisi telah memihak pada orang tua korban yang dinilai melempar fitnah. Celakanya media massa dan publik waktu itu turut serta dalam kriminalisasi para terdakwa.
Kita tidak pernah tahu kebenaran kasus tersebut karena tidak ada yang tertarik membuka ulang. Saya juga tidak tahu kepentingan Rudi Valinka sampai rela capek-capek investigasi dengan biaya pribadi. Tapi setidaknya, tulisan @kurawa mengingatkan publik untuk tidak serta-merta membuat asumsi sendiri.
Fenomena ini mengingatkan kita pada satu istilah klasik “trial by the press” atau pengadilan oleh pers. Saat ini publik sedang mengadili Jessica di ruang sidang mereka sendiri yang bernama media massa. Penonton tak ubahnya seperti sedang bermasturbasi, menikmati alur persidangan yang seolah nyata, tak sabar menunggu ejakulasi akhir yaitu jawaban “benarkah Jessica yang meracuni Mirna? Mengapa ia melakukannya?”
Namun penonton tidak sadar bahwa realita yang disaksikan bukanlah realita yang sebenarnya, melainkan realita yang termediasi. Media massa sendiri tidak peduli apakah Jessica yang membunuh Mirna, apakah ayahnya Mirna sendiri pelakunya, atau apakah Mirna sebenarnya masih hidup, disembunyikan di sebuah pulau terpencil. Yang penting bagi media adalah proses penemuan kebenaran tersebut terus berjalan, sehingga media punya konten untuk diperjual-belikan. Dan media tidak akan peduli jika harus membawa malapetaka bagi pesakitan yang sedang dirundung malang.
Banyak ahli mengungkap kejanggalan sidang Jessica seperti misalnya tidak ada bukti sampai saat ini, penyidangan Jessica hanya berdasarkan keterangan saksi dan saksi ahli. Juga bagaimana jaksa yakin Mirna mati karena sianida sementara jenazahnya saja tidak diotopsi? Sudah banyak ahli yang membahasnya dan itu bukan bidang saya.
Yang menarik bagi saya adalah, pilihan media dalam menyorot bagian-bagian tertentu dari kasus ini. Pertama, saat awal kasus mencuat, mengapa media massa hanya menyorot Jessica Kumala Wongso? Kita disuguhi data lengkap nama, tanggal lahir, riwayat pendidikan, dan lain-lain. Bagaimana dengan teman yang satunya lagi? Kita hanya tau namanya Hani. Kedua, mengapa media hanya menampilkan pendapat ayahnya Mirna dari pihak korban? Mengapa suaminya sangat jarang diberi corong?
Mungkin pernah tapi proporsi tidak sebanyak bapaknya. Demikian pula dengan ibunya Mirna? Kita hanya menebak-nebak saja, oohh mungkin ibunya gak pinter ngomong, ohh... mungkin suaminya masih berduka. Tapi bagi saya tidak bisa sesederhana itu. Apa yang kita saksikan di layar kaca adalah apa yang ingin ‘mereka’ kita lihat.
Kembali ke masalah sidang yang masih bergulir. Dalam kode etik jurnalisme, ‘trial by the press’ adalah dosa besar yang harus dihindari wartawan. Bulan Agustus lalu para pemred redaksi televisi dikumpulkan, kalau tidak salah oleh IJTI, diingatkan agar penayangan langsung (live) sidang Jessica jangan sampai menyalahi aturan jurnalistik. Karena peringatan tersebut terdengar abstrak, maka tidak salah juga jika media tidak melakukan perubahan apapun dalam penayangan sidang Jessica. Kode etik tinggallah kode etik.
Apakah intensitas penayangan sidang dibumbui komentar para ahli di studio adalah termasuk trial by the press? Menurut saya iya, karena jelas-jelas menuntun pendapat masyarakat bahwa Jessica sudah pasti pelakunya. Selanjutnya, apakah opini publik akan mempengaruhi keputusan hakim? Kalau ini saya tidak tahu karena saya bukan stafnya pak hakim. Tapi jika pertanyaannya apakah Jessica dirugikan dengan penayangan sidang dan opini publik? Pastinya iya. Padahal, yang perlu diingat adalah Jessica belum tentu bersalah. Bisa salah bisa tidak.
Ingat bahwa vonis belum dijatuhkan (sudah dijatuhkan saja bisa banding). Namun mengapa masyarakat sudah mengetok palu mereka sendiri? Jika penonton tidak tahu kebenaran yang sesungguhnya, bagaimana seorang bisa berteriak di depan layar TV “dia pembunuhnya”? Inilah yang saya sebut dengan Sidang di Luar Sidang. Dosa media massa, dosa penghujat.
Terakhir dari saya, Jessica adalah komoditi, sidang Jessica adalah komoditi, setiap pernyataan bapaknya Mirna adalah komoditi, anda dan saya-para pemirsa adalah komoditi. Komoditi adalah segala sesuatu yang bisa diberi nilai tambah agar menjadi nilai tukar. Mulailah melihat setiap fenomena dengan pertanyaan “siapa yang diuntungkan?”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H