Mohon tunggu...
Risa Alfianti
Risa Alfianti Mohon Tunggu... Jurnalis - Mahasiswa

Iain jember

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Hakikat Hidup dasar Pendidikan Islam dan Tujuan Hidup dan Tujuan Pendidikan

6 April 2020   12:16 Diperbarui: 6 April 2020   12:27 1191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Sebagai dasar pendidikan Indonesia membahas Pancasila sebagai dasar pendidikan Indonesia, yang terbukti belum mampu diturunkan secara 100% ke dalam undang-undang tentang sistem pendidikan nasional yang terbaru (UU No.20 Tahun 2003). Temuan ini menjelaskan ada cacat yang cukup serius dalam undang-undang itu.

b.Rasionalisme sebagai dasar pendidkan?

Pendidikan selalu diwarnai pandangan hidup (way of  life). Dari sekian banyak pandangan hidup salah satunya Rasionalisme. Rasionalisme ialah paham yang mengatakan bahwa kebenaran diperoleh melalui akal dan diukur dengan akal. Atau, akal itu sendiri pencari dan pengukur kebenaran.

Tujuan pendidikan itu sendiri adalah mampu meningkatkan derajat manusia. Pendidikan harus mampu mendidik manusia menjadi manusia. Pertanyaanya dengan apa manusia dididik agar menjadi manusia. Manusia dididik agar menjadi manusia dengan kebenaran.
Orang Yunani, kira-kira 600 tahun Sebelum Masehi telah mencari kebenaran dengan akal.

Kata Shopisme berasal dari bahasa Yunani: sophistes yang berarti one who professes to make man wise . penggunaan kata ini- dalam pengertian negatif-berasal dari Plato dan Aristoteles. Tokoh Shophisme yang terkenal ialah Parmanides, Protagoras, dan Georgias. Mereka telah menggunakan akal dalam mencari kebenaran-secara luar biasa sekaligus telah mengindikasikan
keterbatasan akal.

Orang-orang Shophist-dengan akal mereka- dapat membuktikan bahwa anak panah yang sedang meluncur dari busurnya diam dan dapat juga dibuktikan bergerak. Walhasil gerak dan diam bagi mereka bersifat relatif. Intinya: semua berubah, kecuali satu yaitu "semuanya berubah" itu.

Dapatkah anda  membayangkan seandainya pendidikan itu dirancang hanya berdasar karakteristik rasionalisme yang mengatakan bahwa kebenaran itu semuanya relatif begitu? Untunglah tampil socrates, dengan argumen rasional juga, dapat membuktikan bahwa apa yang diajarkan oleh orang sophist itu keliru. Kata Socrates, tidak semua kebenaran relatif; sebagian kebenaran mutlak (benar disemua tempat dan waktu), sebagianya relatif (dapat berubah).

Socrates, mengingatkan bila berpikir logis digunakan seperti itu, itu akan sangat berbahaya. Paham Socrates itu didukung oleh plato dan aristoteles.
Sekalipun demikian, Akal tetaplah alat pencari dan pengukur kebenaran, tetapi akal bukan satu-satunya. Bahwa akal memang alat pencari dan pengukur kebenaran, tentu sudah terbukti perkembangan filsafat, sain dan dseni sampai sekarang adalah bukti yang dimaksud.

Lebih kurang sejak tahun 200 M kebebasan akal sedikit dibatasi oleh orang-orang nasrani. Tetapi pada tahun 1650-an M Rasionalisme itu dihidupkan lagi oleh Rene Descartes.

Pada tahun 1980-an M, jadi satu abad setelah Nietzsche, Fritjof Capra, seorang ahli filsafat fisika, mengatakan bahwa budaya barat telah hancur, penyebabnya karena terlalu mendewakan rasio. Mendewakan rasio artinya menjadikan rasio sebagai satu-satunya sumber dan pengukur kebenaran. Jadi, sejak tahun 600 SM telah ada peringatan agar tidak mendewakan akal (dalam arti rasio).

Sekarang, Masih perlukah pendidikan kita didesain hanya berdasarkan rasio?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun