[caption id="" align="aligncenter" width="425" caption="http://glutendude.com/wp-content/uploads/2012/09/arrogant-doctor.jpg"][/caption] Tanpa mengecilkan profesi kesehatan lain, di lingkungan layanan kesehatan primer secara umum dokter, perawat, dan apoteker lah yang paling banyak berhadapan dengan pasien. Di antara 3 profesi ini, perawat dan apoteker menempati ragking pertama dan kedua dalam survey tahunan gallup mengenai kejujuran/standar etik profesi Dokter menempati urutan ketiga (survey ini mengecualikan dokter gigi dan psikiatris yang berada di urutan lebih bawah). Survey ini memberikan hasil yang sama seperti tahun sebelumnya yang juga menempatkan perawat dan apoteker di urutan teratas. Sayangnya, kedua profesi ini pula yang sering menjadi korban arogansi/intimidasi dari rekan profesi sejawatnya, dokter (opini pribadi). [caption id="attachment_219137" align="aligncenter" width="559" caption="Honesty/Ethical standard in Profession (2012) Â - Â http://www.gallup.com/poll/1654/honesty-ethics-professions.aspx"]
[/caption]
Arogansi Dokter Arogansi di lingkungan dokter bukanlah hal yang luar biasa dan merusak kualitas layanan kesehatan. Menurut Allan S Berger, seorang profesor klinis bidang psikiatri sekolah kedokteran Universitas Georgetown, arogansi muncul karena tekanan sosiologis dan psikologis. Survey lainnya mengungkap 40% staf rumah sakit melaporkan adanya intimidasi dari dokter
arogan yang tidak mau mendengar terhadap pandangan mereka mengenai instruksi pengobatan yang salah, sehingga mengakibatkan 7% dari mereka mengaku berkontribusi terhadap medication error akibat intimidasi tersebut. Masih pada survey yang sama, menurut responden, dokter menggunakan bahasa yang condescend (menganggap diri superior) atau tidak sabar dengan pertanyaan dua kali lebih sering dibandingkan profesi kesehatan lain. Menurut 69% responden, setidaknya sekali dalam setahun seorang dokter menanggapi pertanyaan dengan: 'lakukan saja apa yang saya minta' sedangkan 34% responden juga mengalami perlakuan demikian dari profesi kesehatan lain.
Apoteker, selain dari para dokter, juga melaporkan sering menerima perlakuan intimidatif dari profesi kesehatan lain terutama intimidasi verbal. Di bandingkan perawat, apoteker menerima dampak intimidasi yang lebih besar serta mengalami intimidasi dengan frekuensi lebih besar.
Dampaknya bagi pasien? Survey pada pekerja kesehatan di 102 rumah sakit (2004-2007) memperkirakan 67% responden percaya bahwa ada hubungan antara kelakuan yang disruptif dan kesalahan
medis, dan 18% responden mengatakan mereka tahu kesalahan medis yang muncul akibat kelakuan dokter arogan. Arogansi dokter (dan sebenarnya arogansi pekerja kesehatan lain juga, hanya memang dokter ada diranking pertama) menyebabkan munculnya kejadian tidak diinginkan, kesalahan, Â kompromi keamanan dan kualitas, kematian pasien yang kesemuanya berpotensial dapat dicegah. Artinya, keselamatan pasienlah yang menjadi korban. Sekitar 100 ribu pasien meninggak karena infeksi terkait layanan kesehatan, 44-98 ribu pasien meninggal karena error yang bisa dicegah, dan puluhan ribu lebih pasien meninggal karena kesalahan diagnosis atau tidak mendapatkan terapi yang memadai. Dokter terlalu percaya diri terhadap kualitas layanan yang mereka sediakan, percaya bahwa segalanya akan berjalan baik dan yakin telah memberikan layanan yang berkualitas tinggi, serta berpikir bahwa mereka sendiri memiliki cukup ilmu dan kemampuan untuk memberikan layanan kesehatan. Syukurnya, trend berkurangnya arogansi dokter di lingkungan rumah sakit menunjukkan tanda penurunan. Komunikasi dan kepemimpinan kini diajarkan di sekolah2 kedokteran dan residensi, semakin banyak perawat yang berani 'melawan' arogansi dokter, dan semakin sedikit rumah sakit yang menoleransi arogansi dokter. Akan tetapi, seorang dokter bila masih saja berpikir superior (karena memang menjadi dokter tidak mudah dan seolah dikondisikan demikian), maka sebaiknya mulai merubah cara pandang bahwa dokter lebih superior dibandingkan profesi lain dan respek terhadap kompetensi profesional masing2 profesi. Dengan demikian, relasi akan semakin baik, kerja sama tim juga akan lebih baik, intimidasi dan arogansi berkurang yang jelas kesemuanya akan memberikan keuntungan untuk pasien.
Catatan: 1. Tulisan ini terinspirasi dari judul Â
artikel saya sebelumnya. Sejujurnya tidak ada hubungannya dengan sosok yang menjadi subjek di tulisan saya tersebut dan tidak pula artikel ini adalah kelanjutan dari tulisan tersebut. Serta merta hanya ingin menyampaikan hal2 menarik dan unik terkait kesehatan. 2. Tulisan di atas bukan opini saya pribadi (kecuali bagian yg saya miringkan dan saya tandai), tetapi hasil rangkuman dari penelitian/survey/komentar para dokter sendiri yang 2 diantara dipublikasikan di jurnal yang diindex di PubMed jadi bukan referensi abal2 atau referensi yang tidak diakui. 3. Survey yang menjadi dasar penelitian di atas memang bukan di Indonesia, tetapi silakan sesuaikan konteksnya. Khusus survey Gallup terhadap apoteker, saya pikir jelas itu tidak berlaku di Indonesia karena bagaimana pun apoteker di Indonesia masih jauh dari penilaian
(very) high honesty/ethical standard karena memang belum tampak perannya bagi masyarakat. 4. Semoga tulisan ini tidak menyinggung dokter manapun, tetapi hanya sebagai informasi bahwa ternyata isu dokter arogan itu tidak hanya santer di kalangan non-dokter, tetapi memang ada dan demikian faktanya. Pengakuan dan penerimaan adalah pintu gerbang menuju perbaikan. Salam, ris, seorang apoteker
Referensi: Jt Comm J Qual Patient Saf. 2008 Aug;34(8):464-71. JAMA. 2010;304(2):204-205. www.ismp.org/pressroom/pr20040331.pdf www.gallup.com/poll/1654/honesty-ethics-professions.aspx#1 (sumber gambar)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI
Lihat Healthy Selengkapnya