Setiap rentetan kehidupan selalu memberi makna kepada siapa saja. Sekira tiga tahun aku berkelana di jalan menggunakan sepeda motor pemberian ibuku. Banyak makna kehidupan yang kudapatkan. Salah satunya ialah jalanan sebagai arena kehidupan sosial. Seperti kehidupan di rumah, sekolah, kantor dan sebagainya. Terjalin interaksi dan nilai sosial.
Kala itu mentari mulai beranjak dari peranduannya. Dari kampus, aku menuju rumah, pulang. Aku tinggal di BTP. Jaraknya tak jauh. Sekira 10 meter. Pemandangan di jalan tak ada yang berubah. Pelanggaran disana-sini.
Tepat di depan gerbang BTP, lampu lalu lintas silih berganti menampakkan lampu merah. Ada tiga jalur. Silih berganti kendaraan melintas sesuai jalurnya. Namun sayang, sangat sulitmendapatkan kondisi yang ideal. Sebagian dari mereka lebih senang menyerobot jalan.
Beberapa orang dengan geramnya berebut melintasi jalan meski melawan arah. Tak jarang di antaranya harus main ‘sikut-sikutan’.Aku baru bisa melihat barisan kendaraan dapat tertib jika polisi diantara jalan protokol. Melihatnya, tidak jarang aku cekikikan dalam hati.
Mereka mestinya malu dengan segerombolan semut yang berbaris rapi nan tertib. Barisan yang sungguh elok tuk dipandang. Keakuran semut-semut itu memberiku ketentraman. Sangat jauh berbeda dengan kondisi mereka yang katanya berakal.
Aku pun teringat pidato sang gubernur. Katanya, perekonomian warga Makassar terus mengalami peningkatan. Hal ini ditandai dengan kemacetan di beberapa titik jalan di Makassar. Namun, bagiku kemacetan hanya sebuah masalah yang harus diselesaikan pemerintah. Lalu, bagaimana jika kemacetan itu menyebabkan kecelakaan yang merenggut nyawa seseorang?
Seperti kisah teman ibuku. Ia tergilas truk besar yang sedang melaju dengan ugal-ugalan. Sambil meneteskan air mata, sang suami menggopoh tubuh istrinya dengan tangan bergetar. Beberapa bagian tubuh istrinya sudah tergilas dan menyatu dengan aspal. Perilaku yang biasa bagi beberapa orang, namun sangat ironi.
Terhenyuk aku saat melintasi sebuah jalan yang padat merayap.Mengingatkanku akan nilai tenggang rasa. Salah satu nilai kemanusiaan yang telah diajarkan kitasejak duduk di bangku SD. Perilaku yang egois muncul bilamana seorang atau sekelompok orang cenderung kurang bertenggang rasa terhadap lingkungannya.
Para pengemudi selalu saja berlomba-lomba melintasi batas hingga terkadang lupa dengan orang disekelilinganya. Mereka tidak mempertimbangkan apakah perilakunya merugikan orang lain atau tidak. Maka benar jika kejadian-kejadian anarkis dijalan menjadi salah satu akibat dari kurangnya nilai tenggang rasa.
Betapa tidak, fasilitas yang ada tidak mampu memenuhi rasa ego seseorang. Rasa ego itulah yang terkadang membuat segelintir orang merebut hak orang lain. Akankah kebutuhan dan keinginan satu sama lain saling dapat saling bertemu? Ataukah malah saling bertabrakan? Maka nilai tenggang rasa menjadi jawaban dari semua itu. Sebab setiap manusia saling membutuhkan satu sama lain.
Seyogyanya tenggang rasa menjadi cerminan bagi setiap kehidupan manusia. Setiap bentuk kehidupan membutuhkan nilai tenggang rasa. Selain lingkungan keluarga, sekolah, kerja dan sebagainya, jalanan pun menjadi sebuah arena kehidupan sosial. Oleh karena itu, perlu ada nilai tenggang rasa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H