Mohon tunggu...
Riris Ronauli
Riris Ronauli Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Trunojoyo Madura

Saya adalah mahasiswa ilmu komunikasi yang gemar menyusun kata menjadi cerita. Melalui artikel menarik, saya mengeksplorasi ide, menyampaikan pesan, dan menginspirasi pembaca untuk melihat dunia dari perspektif yang berbeda.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Respresentasi Perempuan Batak Dalam Film Ngeri - Ngeri Sedap : Analisis Peran, Konflik, Dan Tuntutan Sosial Berdasarkan Perspektif Gender Dan Budaya

19 Desember 2024   00:51 Diperbarui: 19 Desember 2024   00:51 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Makna Denotatif (literal) dari representasi perempuan dalam   Sceneini dapat dilihat dalam peran Mak Domu sebagai seorang ibu rumah tangga yang selama ini mengikuti keinginan suaminya dan berperan dalam tugas-tugas domestik. Dia adalah seorang perempuan yang selama bertahun-tahun berperan sebagai pendukung suaminya, dengan mengikuti setiap keputusan Pak Domu tanpa banyak pertanyaan, bahkan jika itu berarti menjauhkan dirinya dari anak-anaknya atau berbohong kepada mereka. Namun, Makna Konotatif (sosial-budaya) dari representasi perempuan ini mencerminkan konstruksi gender yang lebih luas, yaitu bagaimana peran perempuan dalam keluarga dan masyarakat sering kali dibatasi oleh norma sosial yang membentuk mereka sebagai pengikut dan pendukung dalam kehidupan keluarga. Dalam konteks ini, perempuan diharapkan untuk diam, mendukung, dan tidak melawan otoritas laki-laki (suami). Ketika Mak Domu akhirnya berbicara dan menuntut untuk tidak lagi diam, ini dapat dilihat sebagai representasi dari pemberontakan terhadap peran tradisional yang diberikan kepadanya dalam masyarakat patriarkal. Secara konotatif, tindakan Mak Domu mencerminkan perlawanan terhadap ketidaksetaraan gender yang membatasi kebebasan perempuan.

Representasi perempuan dalam film ini, terutama yang berfokus pada tugas domestik, menunjukkan bagaimana masyarakat menormalkan peran perempuan sebagai pengurus rumah tangga dan ibu yang harus tunduk pada otoritas laki-laki. Namun,   Sceneini menunjukkan bahwa perempuan, meskipun dibentuk oleh konstruksi sosial ini, juga memiliki kemampuan untuk meruntuhkan batas-batas tersebut dan menuntut perubahan dalam cara mereka diperlakukan, sesuai dengan teori feminisme Simone de Beauvoir yang menekankan pembebasan perempuan dari peran yang terkungkung oleh norma-norma sosial tersebut.

Terakhir, pada   Scene 3 (menit 1:26:56) Sarma menyatakan bahwa perempuan dalam keluarganya tidak boleh melawan dan harus selalu tunduk, sebuah nilai yang telah tertanam kuat dalam keluarga Pak Domu. Namun, ketika melihat Mak Domu akhirnya berani menyuarakan perasaan dan pendapatnya, Sarma pun mulai menemukan keberanian untuk melawan norma yang selama ini mengekangnya. Hal ini mencerminkan bagaimana, meskipun keluarga Pak Domu mengajarkan bahwa perempuan harus selalu menurut dan tidak boleh menentang, perubahan terjadi ketika seorang perempuan dalam keluarga, yakni Mak Domu, mulai berani melawan ketidakadilan.

Di setiap   Sceneyang membahas permasalahan dalam keluarga Pak Domu, suara yang lebih dominan datang dari para laki-laki—Domu, Sahat, dan Gabe. Sampai pada menit 1.27.32, ketika terjadi konflik antara saudara laki-lakinya dengan ayahnya, Sarma merasa terjebak dalam peran yang sudah ditentukan untuknya sebagai seorang perempuan, yang dituntut untuk selalu taat kepada orang tua. Sebagai contoh, Sarma memilih untuk membatalkan pernikahannya dengan Nuel, kekasih yang berasal dari suku Jawa, demi menghormati keputusan ayahnya dan mengalah untuk kepentingan kakak laki-lakinya yang memilih menikah dengan seorang wanita Sunda.

Sarma juga dengan ikhlas menanggalkan cita-citanya untuk bersekolah memasak, hanya karena ayahnya menginginkan agar ia memiliki pekerjaan yang "lebih jelas," sebuah pandangan yang berbeda dengan jalan hidup Gabe. Bahkan, ketika ditawarkan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan di Bali, Sarma memilih untuk mengalah demi Sahat, adik laki-lakinya, yang selama tiga tahun tidak pulang dan meninggalkan tanggung jawab untuk merawat orang tua sesuai adat Batak. Sarma, dalam setiap langkahnya, terus memilih untuk mengalah demi keluarganya, bahkan menggantikan peran yang seharusnya diemban oleh saudara laki-lakinya. Keputusannya ini tidak hanya untuk mengurangi ketegangan dengan ayahnya, tetapi juga untuk menjaga keharmonisan keluarga. Sarma hampir tidak pernah memikirkan dirinya sendiri, karena ia memandang dirinya sebagai perempuan yang harus selalu tunduk dan mengutamakan kepentingan orang tuanya, bahkan jika itu berarti mengorbankan impian dan kebahagiaannya.

Peter L. Berger dan Thomas Luckmann dalam The Social Construction of Reality (1966) menyatakan bahwa realitas sosial dibentuk melalui interaksi individu dalam masyarakat dan melalui proses sosialisasi yang berlangsung secara terus-menerus. Dalam konteks film Ngeri-Ngeri Sedap, keluarga Pak Domu, terutama dalam pola hubungan antara ayah, anak laki-laki, dan anak perempuan, menggambarkan proses pembentukan realitas sosial yang berlaku dalam keluarga tersebut. Di dalam keluarga Pak Domu, nilai bahwa perempuan harus tunduk dan tidak melawan adalah hasil dari sosialisasi sosial yang sudah tertanam dalam masyarakat Batak, yang juga diperankan oleh karakter seperti Mak Domu dan Sarma. Sarma, yang awalnya menurut dan mengikuti kehendak ayahnya, menjadi bagian dari konstruksi sosial yang membatasi perempuan untuk mengutamakan kepentingan keluarga tanpa memikirkan hak pribadi mereka. Namun, ketika Mak Domu akhirnya mulai bersuara dan menentang, ia memulai proses konstruksi ulang realitas sosial dalam keluarganya. Ini adalah contoh bagaimana individu (Mak Domu) dan kelompok (keluarga) dapat mengubah konstruksi sosial yang sudah ada. Sarma, yang awalnya pasif dalam mengikuti peran tradisional perempuan, mulai menemukan keberanian untuk mempertanyakan peran tersebut. Meskipun proses perubahan ini tidak cepat dan penuh perlawanan internal, ini menunjukkan dinamika bagaimana konstruksi sosial yang membentuk peran perempuan di dalam keluarga dapat berubah seiring waktu.

Kaitan dengan Teori Feminisme Simone de Beauvoir yaitu Simone de Beauvoir dalam bukunya yang berjudul The Second Sex (1949) berargumen bahwa perempuan dalam masyarakat patriarkal sering kali ditempatkan dalam posisi yang lebih rendah dan dianggap sebagai “Yang Lain” (the Other), yang terjebak dalam konstruksi sosial yang membatasi kebebasan mereka. Dalam film ini, Sarma adalah contoh yang sangat jelas dari kondisi tersebut. Selama ini, ia hidup di bawah bayang-bayang norma sosial yang menyatakan bahwa perempuan harus selalu taat, mengutamakan keluarga, dan menahan diri untuk tidak mengejar cita-cita pribadi jika hal itu bertentangan dengan kehendak orang tua atau kakak laki-laki.

Keputusan Sarma untuk mengorbankan pernikahannya dengan Nuel, menanggalkan cita-citanya untuk bersekolah memasak, dan menolak kesempatan melanjutkan pendidikan di Bali semuanya merupakan contoh bagaimana konstruksi gender dalam masyarakat menuntut perempuan untuk tidak mengejar keinginan pribadi demi memenuhi harapan keluarga dan masyarakat. Dalam hal ini, Sarma bertindak sesuai dengan apa yang diinginkan oleh orang tua dan masyarakat, meskipun itu berarti menekan keinginan dan hak-haknya sebagai individu. Tindakan Sarma ini sejalan dengan kritik de Beauvoir terhadap peran-peran yang telah ditentukan untuk perempuan dalam masyarakat patriarkal, di mana perempuan sering kali ditempatkan dalam posisi subordinasi dan pengorbanan tanpa mempertimbangkan keinginan atau kebahagiaan mereka sendiri.

Mak Domu, yang pada akhirnya berani berbicara, mewakili perlawanan terhadap ketidakadilan gender. Dalam hal ini, Mak Domu mencoba untuk merebut kembali peran dan suaranya, meskipun prosesnya penuh dengan konflik internal dan eksternal. Perubahan ini menunjukkan bahwa perempuan, meskipun sering terjebak dalam peran yang telah dibentuk oleh konstruksi sosial dan budaya, tetap memiliki potensi untuk melepaskan diri dan menuntut hak untuk menentukan pilihan hidup mereka sendiri, sesuai dengan gagasan de Beauvoir tentang pembebasan perempuan.

Makna Denotatif dan Konotatif dari Representasi Perempuan   Scenetersebut. Makna Denotatif (literal) dari representasi perempuan dalam film ini adalah peran Sarma sebagai anak perempuan yang harus tunduk pada keputusan orang tua, terutama ayahnya. Ia digambarkan sebagai seorang perempuan yang hampir selalu memilih untuk mengorbankan keinginan dan cita-citanya demi kepentingan keluarga, baik itu dalam urusan pernikahan, pendidikan, atau pekerjaan. Sarma terlihat mengikuti norma-norma tradisional keluarga Batak, yang menempatkan perempuan dalam posisi pendukung dan pengorban.

Namun, makna konotatif (sosial-budaya) yang lebih dalam menggambarkan bagaimana peran perempuan dalam keluarga dan masyarakat sering kali dibatasi oleh konstruksi sosial yang memaksakan mereka untuk tunduk pada otoritas laki-laki (baik itu ayah, kakak laki-laki, atau suami). Sarma tidak hanya digambarkan sebagai individu yang patuh, tetapi sebagai representasi dari konstruksi gender yang membatasi peran perempuan dalam masyarakat. Peranannya yang hampir selalu mengalah demi kepentingan orang lain—baik itu ayah atau saudara laki-lakinya—menunjukkan bagaimana masyarakat Batak (dan lebih luas lagi, masyarakat patriarkal) sering menuntut perempuan untuk mengorbankan kebahagiaan pribadi demi kepentingan kolektif.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun