[caption caption="www.theguardian.com"][/caption]
Tanah rusia begitu megah dengan kubah warna-warni yang menaungi kastilnya. Aku berjalan menapaki jalanan penuh salju. Merapatkan mantel tebalku.
“Oh, anda sudah pulang?” tanya seseorang yang berpapasan denganku. Aku hanya tersenyum ringan. “Bagaimana rusia?”
“Aku tidak pergi kemana-mana.”
Pria itu mengangguk-angguk. Tatapannya seperti tidak mengerti.
Apa aku dikira pembohong bila menuliskan tempat yang tidak pernah kukunjungi sebelumnya?
Bibirku membiru. Aku tidak tahan dengan tulangku yang bergemeretak. Aku hampir saja ambruk. Badanku demam.
“Apa anda sudah baik-baik saja?” paman pemilik café berseru ketika aku membuka pintu yang memperdengarkan bunyi gemerincing wind chimes.
“Aku tidak sakit.”
“Baguslah kalau begitu,” jawab paman itu terdengar tidak percaya.
Apa ceritaku akan terlihat tidak nyata jika menuliskan hal yang tidak kurasakan?
Aku ingin segera pulang dan berada di depan perapian. Atau setidaknya meneguk anggur, karena aku benci kopi. Kekentalannya membuatku muak.
Seorang pelayan menemuiku di meja. Menyodorkan sebuah buku menu yang beberapa minumannya sudah kuhapal.
“Apa benar anda memesannya? Bukankah anda tidak suka kopi?” tanyanya setelah mendengarkanku menyebutkan apa yang ingin kupesan. Membuatku menghela nafas sejenak.
“Aku sangat suka kopi,” aku menjawabnya sambil berusaha tersenyum manis.
Pelayan itu ikut tersenyum, senyuman yang datar.
Haruskah aku menuliskan semuanya sesuai dengan diriku?
Namun, yang paling kubenci adalah ketiadaannya di sini. Lelaki itu kabur meninggalkanku. Orang yang biasanya menggengam tangan dingginku.
Seorang wanita melangkah menuju mejaku. Kami saling manyapa. Teman yang kutunggu itu datang tepat waktu. Aku basa-basi menanyakan kabarnya.
“Kamu baik-baik saja kan?” dia ganti bertanya namun, tatapannya kali ini benar khawatir.
“Aku tidak apa-apa.”
“Sudahlah, aku tahu. Apa kamu masih sakit hati?”
Kali ini aku tidak menjawab apapun.
Mari kita berbincang sejenak. Ini antara aku dan kalian para pembacaku. Aku memiliki jarak dengan tulisanku. Kalimat yang kutulis tidak melulu soal aku. Terkadang aku menuliskan ‘aku’ bukan karena tokoh itu adalah diriku sendiri. Perasaan yang tertuang di sana tidak semua adalah apa yang kurasakan. Jika aku hanya menulis tentang siapa aku, bagaimana aku, apa perasaanku, seperti apa tempat yang kulihat. Lalu, siapa yang akan menuliskan cerita kalian?
Bukankah lebih baik aku mati saja? Aku ingin segera menghilang dari dunia ini.
Saat aku menulis ingin mati, apakah aku benar ingin mati? Aku masih ingin tinggal di dunia ini. Aku memiliki batasan dengan para tokohku.
Jika aku menulis tokoh ‘aku’ mati. Apakah kemudian kalian bertanya, “Lho, kamu masih hidup?”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H