Mohon tunggu...
Riri Satria
Riri Satria Mohon Tunggu... profesional -

Meminati topik manajemen strategis, ekonomi digital dan kreatif, serta teknologi informasi | penyuka puisi dan sastra pada umumnya | Admin pada komunitas Dapur Sastra Jakarta | Founder and CEO pada Value Alignment Group, sebuah lembaga konsultan dan riset bidang manajemen dan organisasi | Dosen Program Magister Teknologi Informasi Universitas Indonesia dan Magister Manajemen PPM | sedang menempuh pendidikan Doctor of Business Administration (DBA) pada Paris School of Business di Paris, Perancis | lahir di Padang - Sumatera Barat tanggal 14 Mei 1970

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Office Politics ala Mafia

9 Juli 2017   12:38 Diperbarui: 12 Juli 2017   22:51 243
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Disclaimer : tulisan ini mengandung ajaran sesat lagi menyesatkan, jika terus membaca maka risiko ditanggung sendiri .. hehehe ..

---

Dalam suatu kesempatan nongkrong sambil ngopi sore di sebuah cafe dengan beberapa mahasiswa saya, kami membahas tentang office politics.

Pertanyaan seorang mahasiswa sangat menggelitik diskusi kami, "Apakah trik-trik kotor di dalam organisasi juga bagian dari office politics?"

Nah, itu juga bagian dari praktik office politics. Bahkan dalam sebuah buku yang membahas office politics juga dibahas satu topik yang menarik yaitu office politics ala mafia.

Apakah office politics ala mafia? Satu hal yang jelas, ini semuanya trik-trik negatif dan salah tentunya. Tetapi walaupun demikian, dalam praktik sehari-hari, ini ditemukan.

Secara etika dan moral sudah pasti salah. Tetapi ya itu, mungkin karena menguntungkan, maka banyak yang menggunakan.

Saya pernah mendengar dalam sebuah forum konferensi bisnis seorang bule eksekutif top sebuah perusahaan bilang, business is business, ethics is another story.

Ya begitulah, terlepas dari setuju tidak setuju, ini dilakukan orang juga.

Nah, saya coba uraikan di sini, tetapi saya adaptasi dengan konteks Indonesia. Tentu saja saya menuliskan ini bukan untuk menganjurkan, melainkan untuk mengajak kita untuk waspada dengan praktik-praktik seperti ini. Kita jangan melakukannya, tetapi kita juga jangan sampai jadi korban!

So, don't do these things in the office!

Pertama, lempar batu, sembunyi tangan, tuding orang. Ini kita sangat paham maknanya. Intinya, memfitnah orang lain. Kita membuat kesalahan lalu bagaimana tanggung jawab atas kesalahan ditimpakan kepada orang lain. Ini biasanya dilakukan untuk strategi pembunuhan karakter atau character assasination. Dalam dunia politik praktis, kelihatannya ini banyak dilakukan, apalagi menjelang pemilu atau pilkada.

Kedua, menggunting dalam lipatan. Ini adalah strategi untuk menggerogoti dari dalam. Ini hampir mirip dengan strategi kuda troya yang legendaris. Intinya menyusupkan orang kita ke dalam organisasi lain untuk melakukan perusakan dari dalam secara perlahan-lahan sampai akhirnya organisasi itu menjadi lemah. Setelah itu dengan mudah bisa ditaklukkan. Proses perusakan dan pembusukan dari dalam itu dilakukan secara diam-diam, penuh kamuflase, sampai akhirnya semua jadi tercerai-berai, rusak dan lemah.

Ketiga, ayam punya telor, sapi yang mendapat nama. Ini adalah strategi untuk mempercudangi pihak lain yang sudah capek bekerja, tetapi kita yang mendapat nama. Orang lain sudah menghabiskan waktu untuk mengerjakan sesuatu, tetapi dengan sigap di menit-menit akhir kita menelikung dan mengumumkan kepada dunia bahwa ini adalah hasil karya kita. Kita bertindak sebagai first-moverwalaupun bukan kita yang mengerjakannya. Maka kita akan mendapatkan first-mover advantages seperti menjadi terkenal.

Keempat, mencari kambing hitam. Bagaimana menyelamatkan diri dari sebuah kesalahan yang dilakukan. Di samping strategi yang pertama di atas yaitu lempar batu, sembunyi tangan, tuding orang, maka ada strategi lain, yaitu mencari kambing hitam. Biasanya yang menjadi kambing hitam adalah faktor eksternal yang memang susah ditebak, seperti cuaca, kondisi ekonomi, tindakan organisasi atau negara lain, dan sebagainya. Strategi ini biasanya dilakukan untuk menyelamatkan muka supaya tidak malu karena sudah berbuat kesalahan.

Kelima, melakukan penyanderaan. Penyanderaan di sini bukanlah penyanderaan secara fisik, melainkan memegang "kartu utama" orang atau pihak lain, sehingga dia tidak berani melawan kita, atau bahkan menyuarakan kepentingan kita walaupun itu tidak sejalan dengan ide orang itu. Misalnya, kita potret si A lagi berdua dengan temannya di sebuah cafe, lalu kita sampaikan bahwa foto ini akan beredar di internet dengan tuduhan selingkuh jika dia tak mau mengikuti apa yang kita perintahkan.

Keenam, melucuti senjata. Maksudnya secara perlahan-lahan kita melucuti atau mempreteli kekuatan orang atau organisasi lain. Misalnya dengan memisahkan dia dengan tim ahlinya, mengurangi anggaran, mengurangi peran strategis, dan sebagainya. Misalnya dengan memangkas anggaran operasional Polri atau melemahkan peran KPK.

Ketujuh, melempar lumpur ke wajah orang lain. Secara sistematis, terstruktur dan masif (meminjam istilah politik juga) kita merusak nama baik seseorang atau organisasi tertentu dengan berbagai cara, baik above the line maupun dengan strategi undergoundatau below the line. Tujuannya untuk menggiring opini publik sehingga nama baik orang atau organisasi itu redup dan berganti menjadi public enemy. Ini mirip dengan strategi nomor satu di atas, tujuannya sama-sama pembunuhan karakter.

Kedelapan, strategi bertahan terbaik adalah dengan menyerang secara masif. Jika punya kelemahan, maka segera tutupi, jangan sampai diketahui orang. Cara terbaik menutupi kelemahan kita adalah dengan menyerang kelemahan orang lain secara sistematis, terstruktur dan masif, kalau perlu dibumbui fitnah.

Kesembilan, pura-pura bodoh atau belagak pilon. Nggak tahu, nggak jelas, nggak punya info dan sebagainya ternyata juga bisa menyelamatkan kita berkelit dari kesalahan yang dibuat. Begitu saja terus sampai akhirnya lawan bicara jadi capek sendiri. Percaya atau tidak, gaya seperti ini juga diterapkan dalam diplomasi. Jadi, sok tahu terkadang justru tidak baik.

Kesepuluh, melakukan penyuapan, gratifikasi dan sejenisnya. Kalau yang ini tidak usahlah diterangkan. Pasti sudah paham semua.

Nah bagaimana? Serem bukan? Hehehe. Well itulah office politics ala mafia.

Sekali lagi, don't do these things in the office!

Salam
Riri

Juga ditayangkan pada blog pribadi saya di sini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun