Mohon tunggu...
Riri Santy
Riri Santy Mohon Tunggu... Seniman - penulis yang ingin menulis. tidak ada kata terlambat untuk menulis. jika kalian menulis berarti memberi makna dalam pengetahuan, keterampilan, dan sikap

Magister S2 Penulis Pengampu di SMK Negeri 2 Palembang

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Bianglala Mimpilah

6 April 2019   21:05 Diperbarui: 6 April 2019   21:23 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Dalam tidurku dalam lamunanku sambil menyaksikanku tidak ada di situ. Apapun yang terjadi di tidur dalam mimpiku. Aku menceritakan dia sendiri.

Dalam tidurku aku melihat muka cemberut menatap bibir yang menutup merengut. Dalam tidurku aku juga melihatmu kusut tidak berubah selalu semeraut,

Dalam tidur tidak berselimut angin meniup debu menerpa lepaskan redup hatimu dalam mimpi-mimpiku kalut.

Dalam tidurku kau melihat aku menjadi sangat mampu, membahas dan membabas segala maksiat dalam sekali tebas, lalu kau hanya merapat belum juga insaf.

Di tidurku aku melihat bidadari di pinggir-pinggir sawah, ibuku tersenyum manis padaku, senyum menarik lebih manis dari senyuman bidadari pematang sawah, anak-mertuamu yang kau rebut paksa dan tak dapat juga. Menarik sekali senyum ibuku dalam mimpiku itu sabarlah ibu.

Dalam tidurku aku melihat kendaraan pacu kuda besi banyak sekali berganti-ganti antri dan siap kau beli. Saling berebut-menfitnah sana sini ingin eksis sendiri. bertindak untuk diri sendiri masih hasut sana sini demi kuda besi yang selalu berganti. Cara mencurangi teman dan saudara sendiri demi sesuap nasi.

Kekayaan duniawi menjadi nomor satu tanpa memilah saudara atau teman sejati babas bingkas sudah biasa kini, walaupun kau tak mau mengakui. Tapi pasti dicatat sudah kini. Menampik terzolimi padahal diri sendiri penzolimi abadi. Mata dan hati mati suri sudah tertutup tak dapat diintip lagi.

Dalam tidurku kumelihat bocah-bocah kecil yang nanti akan menari di panggung punggung hiburan, menjadikan semarak dunia mimpi berlarut dalam nada cemberut. Ingkar terhadap keragaman anak yang sejati.

Adanya generasi caci maki dan bully karena didikan amatir, provokatoris, liberal, dan sentimentis berdalih paling baik. Tidak sadar menyadarkan diri karena menganggap paling mengerti, paling baik, paling murni, bebas bablas, iri hati, tidak senang, dendam, dan culas semua prilaku tak terpuji tercium kini. Tapi berlagak sok suci.

Dalam tidurku melihat orang-orang jatuh tersungkur babak belur lalu tidur tak bangun lagi mereka pergi mengumpat karena tak pernah kaya harta duniawi. Cemooh pada sekeliling dan

tak pernah membenahi diri. Tak ada senyum di situ hampa lautpun tak bergelombang tanda hidup teruskan saja mimpiku, melihatmu tersedu meratapi orang-orang tak tahu malu melihat mereka jatuh dalam perahu-perahu yang diciptakan sendiri tanpa kemudi di sana juga banyak harta mati tertimbun tak bertuan lagi, sehingga duri-duri tidur tak nyenyak kini.

Seketika mereka dibangunkan mencarilah harta yang telah memporak-porandakan jiwa cemas nafasnya dalam tidur yang panjang gelisah. Merana sendiri karena salah membekali diri, menghindar dari isteri-isteri, menjatuhkan harga diri sendiri

Dalam tidurku yang cemberut masih juga aku melihat saudara-saudara yang penuh manfaat maksiat, penuh tipu daya, penuh kecurangan, penuh adu domba, gelisah, dan iri hati. Di tidurku pun mendengar teriakan maling teriak maling, terus menerus penzolim teriak terzolimi. Celah tidurku melihat munafik berteriak dibohongi lalu luluh lantahkan oleh tidur tidur gelisah sepanjang waktu dan tidak penuh makna.

Dalam tidurku pun masih cemberut melihat pengakuan dewasa tapi tak dewasa . Pengakuan tua tapi tidak menua pengakuan anak tidak diakui anak pengakuan ibu tidak diakui ibu, pengakuan bapak tidak diakui bapak.

Terbaliklah mimpiku dunia pun membentuk ketidakadilan dalam dunia kecil penuh makna Mencari makna dalam dunia ini kita sendiripun kita tak mampu, apalagi mencari dunia akhirmu, dunia sesungguhnya. Berteriaklah kita hidup cuma sementara tapi tak diguna dengan manfaat mulia.

Kita hanyalah meriam yang mampu mengelegarkan saja tanpa korban jiwa. Ketika kita diteriakan pakai rok saja percuma kelelakianmu kau marah dan curiga. Berteriak tingkatkan kinerja tapi dirimu seperti anak kecil menunding yang lain tidak bekerja. Maling teriak maling sudah biasa dan membudaya.

Dalam tidurku pun aku tetap cemburu melihat tetangga-tetanggaku. Mereka pergi ke surau-surau yang tidak berisi. Memberi penghormatan yang tak berbalas karena surau pun punya manusia angkuh dan dengki. Surau dengan nama-nama jati diri. Karena sudah biasa mendirikan yang lebih.

Manusia paling benar melihat kepada saudara tetangganya selalu berubah-ubah maka tak bisa diputus dengan satu kata, duabelas kata karena kita yang tahu sendiri hati-hatimu itu.

Dalam tidurku pun tersenyumlah sendiri seperti hilang cemberut itu, kumelihat segelas air kopi, kudapan, dan amplop yang sepertinya berisi. Kebahagian kita berbeda tapi pahamilah kita perlu penghargaan seperti selembar amplop yang berisi. Membawanya sampai ke hati mencari kabar didalamnya dan menghitung isi. Walau hanya cukup untuk mimpi sehari-hari.

160618121c 4

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun