Kontrol impuls
Kontrol impuls adalah kemampuan untuk tidak bertindak berdasarkan impuls langsung, melainkan menunda tindakan itu untuk jangka waktu tertentu.Â
Dapat dikatakan bahwa mengontrol impuls berarti juga mengontrol diri dari keinginan yang timbul disebabkan merespon sesuatu.  Kontrol diri berpusat pada korteks prefrontal, yaitu pusat perencanaan, penyelesaian masalah, dan pengambilan keputusan di otak  yang secara signifikan lebih besar pada manusia daripada mamalia lain.Â
Kemampuan untuk melakukan kontrol diri sering disebut sebagai kemauan keras. Hal ini memungkinkan orang untuk mengarahkan perhatian mereka meskipun ada rangsangan yang lain, dan itu mempengaruhi semua jenis prestasi dari sekolah hingga tempat kerja.Â
Saat di rumah tentunya kita memiliki banyak rangsangan untuk melakukan banyak hal. Seperti menonton film, makan yang banyak, bermain, dan sebagainya. Atau bila diartikan lebih luas lagi, dorongan itu bisa berupa emosi yang meluap-luap, salah satunya karena stres dengan tugas. Mengontrol impuls atau rangsangan adalah kemampuan penting yang harus dimiliki untuk memanajemen diri.Â
Bisa jadi, selama sekolah daring ini kita sedang dilatih untuk terus mengontrol diri kita agar melakukan hal-hal yang bermakna. Kita bisa memanajemen waktu untuk menahan diri dari melakukan hal yang membuang waktu begitu saja. Kita bisa menentukan pekerjaan positif dengan tingkatan prioritas yang berbeda. Ya, dengan membuat prioritas pekerjaan kita bisa mengontrol keinginan dengan lebih baik.
Manajemen stres
Sebelum memulai latihan menajemen stres, kita harus mempelajari kompetensi SEL (Social Emotional Learning ) yang lain yaitu Self-awareness. Kesadaran diri akan membuat kita memahami tentang emosi dan kadarnya dalam diri kita. Kita juga bisa mengetahui kapan dan hal apa yang dapat membuat kita stres.Â
Setelah mengaktifkan kesadaraan diri, SEL mengajarkan kita untuk mengubah ancaman atau situasi yang penuh tekanan menjadi tantangan. Menilai penyebab stres sebagai tantangan adalah strategi  untuk mengurangi stres.Â
Menurut Christina Cipriano, Ph.D. dalam blognya rethinked.com, kita harus mengubah cara otak memproses peristiwa. Ketika kita menyebut ancaman sebagai tantangan, penilaian ulang ini membuka jalur untuk meningkatkan konektivitas saraf dan pengiriman pesan untuk mempromosikan pemecahan masalah yang efektif untuk memenuhi tantangan.
Kemudian Chritina juga menjelaskan bahwa stres adalah cara tubuh kita merespons peristiwa yang mengancam atau menantang kita. Ketika kita menghadapi stres, tubuh kita bereaksi dengan mengarahkan aliran darah ke otot kita, meningkatkan tekanan darah dan detak jantung kita, dan meningkatkan sirkulasi adrenalin dan kadar kortisol kita.Â