Meskipun hari libur dan berdiam di rumah adalah impian bagi setiap orang sibuk, namun tidak untuk libur di masa pandemi. Sebagian menganggapnya sebagai anugerah karena bisa banyak rebahan. Sebagian lagi mulai berkicau tentang betapa buruknya hari-hari yang dialami selama libur. Bagaimana tidak, libur panjang ini bukanlah karena keberhasilan setelah lulus ujian atau libur akhir tahun yang selalu menghadirkan perayaan meriah. Tidak ada tawa dan suka cita seperti saat cuti lebaran atau natal. Ya, karena libur panjang ini hanyalah meliburkan diri dari kehadiran di sekolah atau tempat kerja, bukan apa yang dikerjakan. Liburan panjang ini hanyalah memutus interaksi skala besar di tempat keramaian, tetapi bukan untuk memutus tugas, justru menambahnya.Â
Siapapun yang saat ini sedang melaksanakan ketertiban untuk tetap di rumah tidak seratus persen membawa kebahagiaan. Termasuk saya pun sebagai seorang mahasiswa yang masih aktif dalam perkuliahan online.Â
Saya sebenarnya senang karena akhirnya bisa pulang kampung setelah lama di perantauan dan bisa berkumpul dengan keluarga. Tetapi karena ini bukanlah liburan yang sesungguhnya (hakiki) saya tentu tidak totalitas menikmati kebersamaan dengan keluarga. Ibaratnya, raga saya ada di rumah tetapi hati dan pikiran tertuju pada tugas-tugas kuliah yang berkembang biak.
Memang awalnya perkuliahan dalam jaringan  terasa menyasyikkan karena yang pertama, merupakan sesuatu yang baru, dan yang kedua, karena bisa sambil makan, rebahan, bahkan bisa sambil nge-game.Â
Seiring bertambahnya jadwal kuliah dan menumpuknya tugas-tugas  ternyata ini menjadi sebuah masalah. Semua jadwal perkuliahan menjadi berantakan  karena diatur sesuai keinginan dosen masing-masing. Begitu juga dengan tugas-tugas tak masuk akal bergantian menjadi informasi yang lebih mengejutkan dari berita kematian.Â
Grup pesan Whatsapp bertambah, semuanya bersahutan dalam waktu yang bersamaan. Ditambah dengan informasi Covid-19 yang tak henti menghujani pemberitahuan sosmed yang menambah kepanikan. Belum lagi ada kejadian dramatis seperti listrik mati, gangguan Wi-Fi, jaringan lambat, kuota habis, gaptek, dan sebagainya.Â
So, wajar jika kita semua stres mengahadapi situasi ini. Bahkan yang tidak punya pekerjaan pun ikut stres melihat kami "para pejuang daring". Orangtua misalnya, mereka tidak sepenuhnya mengerti tentang keadaan anaknya. Mereka bisa ikut khawatir melihat kepanikan anak menghadapi sekolah daring.
Untuk itu kita semua tetap harus stay calm dan tidak terlalu berlebihan dan memperbesar stres. Jika masih kesulitan, kita harus mencari cara untuk mengurangi stres dan berdamai dengan situasi. Salah satunya dalam tulisan ini kita akan mempelajari sedikit mengenai self-management atau kemampuan memanajemen diri sendiri yang juga mencakup manajemen stres.Â
Manajemen diri adalah komponen penting dari pembelajaran sosial emosional. Menurut CASEL, kesadaran diri didefinisikan sebagai kemampuan untuk berhasil mengatur emosi, pikiran, dan perilaku seseorang dalam situasi yang berbeda.Â
Manajemen ini dicapai dengan mengelola stres secara efektif, mengendalikan impuls, dan memotivasi diri sendiri.Untuk memiliki manajemen diri, seseorang harus mengembangkan keterampilan dan kemampuan berikut: