Mohon tunggu...
Nurmarinda Dewi Hartono
Nurmarinda Dewi Hartono Mohon Tunggu... Freelancer - Ririn Marinda

Pendiam di dunia nyata, Menghanyutkan dalam tulisan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Duta Baca Dompu: Sepercik Pelita yang Dirindukan Anak Pelosok

12 Oktober 2019   18:37 Diperbarui: 12 Oktober 2019   19:06 14
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Dokumentasi Pribadi (2016)

Anak-Anak itu berlarian menuju mobil putih bergambar pelangi yang bergerak masuk dari mulut gang menuju lapangan bola. Kaki kecil mereka terasa amat ringan dengan senyuman yang tersungging lebar disertai mata yang berbinar. Tawa mereka terdengar merdu saat kami membuka pintu mobil. Tak berpikir panjang aku segera merangkul tubuh-tubuh mungil itu dengan rasa cinta yang teramat dalam kepada generasi harapan bangsa ini. Demikian lah perasaan yang selalu terlintas dalam benakku setiap kali bertatapan muka dengan anak-anak di desa. Mereka terlalu polos dan lugu seakan tidak pernah tahu bahwa dunia di luar sana sudah berkembang sedemikian rupa. Zaman terus meninggalkan mereka tanpa warisan (ilmu), sebab warisan itu masih terkubur dalam tanah dan belum ditemukan petanya. 

Beberapa hari lalu saya membaca berbagai artikel mengenai kedangkalan angka literasi di Indonesia yang sangat rendah. Hal ini bukan menjadi sesuatu yang baru untuk didengar. Kualitas pendidikan saja masih tertinggal, bagaimana lagi dengan budaya literasinya. Sebagaimana data di tahun 2015 dari sebuah survei yang dilakukan oleh PISA (Programme for International Student Assessment) bahwa skor literasi Indonesia peringkat ke-62 dari 72 negara. Hal ini juga salah satunya disebabkan oleh rendahnya minat dan keterbatasan akses. Adapun berdasarkan hasil survei World Culture Index Score 2018 Indonesia menempati peringkat 60 dari 61 negara dalam hal literasi dan membaca.

Jika data tersebut menggambarkan keadaan literasi pada umumnya di masyarakat Indonesia, maka bayangkanlah keadaan di sebuah daerah terpencil dimana sekolah-sekolah masih belum bisa  memberikan pendidikan yang tuntas. Oleh karena itu, saya ingin menuliskan pengalaman berharga di daerah kepada para pembaca.  Semoga menjadi penambah wawasan dan sumber inspirasi bagi semua. 

Sebuah kesempatan yang hingga saat ini saya syukuri adalah pernah menjadi bagian dari titik-titik cahaya penerang di antara anak-anak desa. Walaupun langkah saya masih amat jauh dari kata banyak dan besar, namun sejengkal pun sudah dikatakan bergerak;tidak diam. Setidaknya lebih baik bergerak sedikit daripada tidak pernah melakukan apa-apa. 

Sebelumnya perkenalkanlah kami sebagai Duta Baca Dompu (saat itu). Foto di atas diambil pada bulan Juni tahun 2016. Saat itu merupakan kedua kalinya kami pergi ke Desa Bara Kabupaten Dompu. Kami yang beranggotakan tujuh orang tersebut tengah mengadakan kegiatan perpustakaan keliling bersama dengan Dinas Perpustakaan dan Arsip Daerah Dompu.

Kami adalah duta yang mengemban tugas untuk mengenalkan budaya literasi di tengah kebutaan masyarakat tentang membaca dan menulis. Kami adalah siswa-siswi pilihan yang berasal dari SMP dan SMA se-Kabupaten. Mengapa pilihan ? karena kami telah melalui tahapan seleksi sebelumnya. 

Pertama-tama kami direkomendasikan oleh sekolah untuk mengikuti kontes pemilihan duta baca tersebut, tentunya karena kami adalah pengunjung perpustakaan sekolah yang (bisa dikatakan) ter-rajin. Sebagian dari kami  juga merupakan siswa yang aktif di KIR (Karya Ilmiah Remaja) di sekolah ataupun yang berkecimpung dalam OSIS. Kemudian kami melakukan berbagai tes mulai dari kemampuan menulis dan berbicara. Hingga pada akhirnya kami yang telah masuk babak penyisihan mengikuti serangkaian wawancara dengan pihak Perpustakaan Daerah. Ya, disanalah perjalanan kami dimulai. 

Menjadi duta baca bukanlah hal yang mudah karena kami berhadapan dengan masyarakat yang masih tertinggal jauh dibandingkan keadaan di kota. Sasaran utama kami pada saat itu adalah anak-anak di desa karena mereka memiliki antusiasme yang tinggi dibandingkan orang dewasa. Kami bersepakat untuk menyusun tiga program utama, yaitu melakukan pelatihan Pandai Membaca, Pandai Menulis, dan Pandai Berbicara bagi siswa SMP dan SMA. 

Program Pandai Membaca inilah yang direalisasikan dengan Perpustakaan Keliling. Program ini adalah yang paling saya sukai karena bisa secara langsung melihat antusias anak-anak membaca. Siapa yang tidak terharu ketika melihat anak-anak berebutan dengan sangat tidak sabar untuk memilih buku-buku yang kami bawa.

Sumber: Dokumentasi Pribadi (2016)
Sumber: Dokumentasi Pribadi (2016)

Ada yang berteriak, "kak, saya mau buku cerita!",  "saya mau baca komik kak!", "kak mau yang ada gambarnya". Itulah request yang mereka sampaikan kepada kami. Seusai memilih buku merekapun duduk dengan rapi di lapangan sambil menikmati buku bacaannya masing-masing. Pemandangan ini begitu mengharukan.

Sumber: Dokumentasi Pribadi (2016)
Sumber: Dokumentasi Pribadi (2016)

Tidak hanya ingin membaca buku, mereka meminta kami untuk diajarkan menulis dan membaca. Ada juga yang meminta untuk dibacakan buku dongeng. "kalau diajarin bu guru kami tidak paham.", sahut seorang anak dengan lugunya. Kami benar-benar tidak bisa mendeskripsikannya dengan kata. Kami merasa sangat berguna mendengar keluh kesah mereka yang sangat ingin belajar namun tidak menemukan lingkungan pendidikan yang mendukung. 

Sumber: Dokumentasi Pribadi (2016)
Sumber: Dokumentasi Pribadi (2016)

Sumber: Dokumentasi Pribadi (2016)
Sumber: Dokumentasi Pribadi (2016)

Kami memang dipersiapkan untuk menghadapi situasi seperti itu -menjadi guru dadakan. Hanya bermodal inisiatif dan alat seadanya kami berupaya menghilangkan kehausan mereka terhadap ilmu. Disana kami justru ikut belajar dari mereka, belajar untuk memahami semangat mereka dan belajar menjelmakan diri menjadi sosok guru yang menyenangkan dan mudah dipahami. 

Saya rasa bahwa metode pembelajaran seperti ini adalah yang paling efektif karena anak belajar didasari oleh minat dan rasa ingin tahunya. Minat belajar anak muncul ketika melihat sosok yang fresh dan menarik perhatian. Apakah ini berarti penampilan 'guru' di kelas adalah momok bagi mereka ? namun faktanya begitulah  yang mereka sampaikan. 

Hingga di akhir kegiatan anak-anak tidak kunjung bosan. Namun, waktu kami terbatas untuk bisa menemani mereka hingga tibalah episode yang paling menyedihkan, pulang. Rasanya tidak tega untuk berkata sampai disini dulu. Melihat mereka melambaikan tangan sambil mengiringi mobil kami yang hendak keluar dari desa menambah kerinduan kami untuk segera datang lagi. Kami pun yakin, sejak hari itu mereka menantikan kami yang entah kapan akan datang lagi. 

Harus diakui bahwa kami adalah Duta Baca pertama dan terakhir di Dompu sejauh ini. Karena kami hanya berjalan selama setengah tahun disebabkan  berbagai hal yang menghambat. Namun, seperti yang saya utarakan sebelumnya bahwa sejengkal melangkah lebih baik  daripada tidak pernah melangkah sama sekali. Saya dan kawan-kawan sangat berharap jika Perpusda kembali mengadakan pemilihan Duta Baca untuk melanjutkan perpustakaan keliling di pelosok desa. Anak-anak sangat membutuhkan sosok yang dapat mereka 'percaya' sebagai kakak sekaligus guru bagi mereka. Mereka membutuhkan tangan-tangan yang ikhlas tanpa mengharap imbalan gaji. Mereka butuh sosok-sosok ceria yang dapat bermain dengan mereka, bukan pencipta  ketegangan di ruang kelas.

Hadirnya duta baca tidak hanya membangkitkan semangat membaca dan menulis, tetapi jauh lebih besar daripada itu. Mereka menjadi agen perubahan pendidikan. Mereka membantu keterbatasan pendidikan. Mereka sebagai secercah pelita bagi anak-anak di pelosok negeri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun