Mohon tunggu...
Nurmarinda Dewi Hartono
Nurmarinda Dewi Hartono Mohon Tunggu... Freelancer - Ririn Marinda

Pendiam di dunia nyata, Menghanyutkan dalam tulisan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Mengejar 128 Tahun Ketertinggalan (2): Antara Ketidakmerataan dan Tidak Tuntasnya Proses Belajar

30 September 2019   04:04 Diperbarui: 30 September 2019   06:17 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: TERASMALUKU.COM

Berbicara mengenai pendidikan yang belum merata, saya jadi teringat dengan pengalaman bersekolah di Kabupaten kecil sejak TK hingga SMA.

Daerah saya merupakan daerah 3T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar) sehingga masih banyak sekolah yang membutuhkan bantuan baik tenaga pengajar maupun sarana dan prasarana.

Tak heran pula apabila sekolah di daerah saya banyak yang berada di tengah sawah, di pinggir kali, atau di pesisir pantai.

Kalaupun ada yang di tengah kota itulah yang disebut sebagai sekolah favorit dan berkelas. Begitupula dengan kesenjangan antara sekolah di tengah kota dengan di pedalaman sangat terlihat kontras.

Yang bersekolah di kota ditandai dengan pakaian mereka yang bersih dan rapi, sementara sekolah di pedalaman menjadi hal yang menyedihkan untuk dilihat.

Selama bersekolah, saya yang (Alhamdulillah) berasal dari keluarga berada memilih sekolah negeri yang terbilang favorit di setiap jenjang. Namun, favorit itu tidak bisa disamakan dengan sekolah favorit yang berada di kota-kota besar.

Sekolah saya terbilang favorit hanya karena bangunan yang lebih tinggi dari sekolah lainnya ataupun karena sekolah itu memiliki nama belakang No.1. Soal fasilitas sarana dan prasarana sangat jauh dari yang ditemukan di kota besar. Laboratorium hanyalah nama di depan pintu sementara isinya hanyalah bangku dan meja serta alat seadanya.

Bahkan jika ada mata pelajaran yang seharusnya praktik di lab namun karena tidak ada alat kami pun hanya mendengarkan cerita guru dari sebuah gambar  di papan tulis.

Lalu, bagaimanakah dengan sekolah di daerah tertinggal lainnya ? Pernahkah kita berpikir bahwa di Negara kita ada yang bisa merasa nyaman duduk di bangku sekolah dan ada yang kekurangan bangku atau bahkan tidak punya ? Pernahkah kita membayangkan bahwa di Negara kita ada yang sudah mengerti materi pelajaran di sekolah tapi ada sahabat-sahabat kita yang bersusah payah untuk mempelajari materi sekolah sebab terbatasnya fasilitas ? 

Dan pernahkah kita bertanya, apakah seluruh pelajar di Indonesia sudah mencapai proses belajar yang tuntas ? Ataukah ketuntasan itu hanya bagi mereka yang bersekolah di kota besar ?

Sebelum menjawab, terlebih dahulu kita ambil contoh satu mata pelajaran yaitu matematika di SMA. Kita semua memakai kurikulum yang sama dengan Standar Kompetensi (SK) maupun Kompetensi Dasar (KD) yang sama pula.

Tetapi, tidak semua di antara kita merasa telah memahami seluruh kompetensi walaupun di dalam raport nilai sudah melampaui batas minimal. Setiap guru di kelas juga tidak mengajar dengan metode yang sama sehingga jika ada sekolah yang diajarkan matematika dengan metode maupun fasilitas yang memudahkan maka proses belajar dirasa berhasil tuntas.

Sedangkan, anak  yang bersekolah di daerah tertinggal belum tentu memiliki kemampuan yang sama sehingga dapat dikatakan proses belajar belum tuntas seperti halnya pada kasus praktikum tadi. 

Adapun menurut hasil tes Programme for International Student Assessment (PISA) 2015, yang menempatkan pelajar Indonesia pada peringkat ke-62 dari 70, bahwa Bangsa Indonesia tidak mengalami kemajuan yang berarti sejak mengikuti tes ini pada 2003.

Betapa tidak, 75% murid Indonesia gagal mencapai kemampuan dasar matematika, meski selama lima belas tahun terakhir alokasi anggaran negara untuk pendidikan meningkat berlipat ganda namun dapat dikatakan double for nothing.

Sedangkan, menurut sebuah hasil penelitian pendidikan pada 2016 yaitu Research on Improving Systems of Education (RISE) mengindikasikan bahwa salah satu penyebab rendahnya kualitas pengajaran di Indonesia berkaitan dengan pembelajaran tuntas.

Yang dimaksud dengan pembelajaran tuntas adalah proses belajar mengajar yang mengisyaratkan murid untuk menguasai secara baik seluruh Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) setiap mata pelajaran.  

Pada kenyataannya, anak yang berhasil menjuarai sebuah olimpiade atau kompetisi di tingkat internasional merupakan anak yang diberi fasilitas 'mewah' sehingga mereka mendapatan pembelajaran tuntas.

Bayangkan saja jika seluruh anak mendapatkan pembelajaran tuntas tidak menutup kemungkinan peringkat Indonesia dalam ketuntasan belajar akan meningkat dan menjadi tolak ukur keberhasilan Indonesia mengejar ketertinggalan. 

Memang banyak faktor yang menjadi penyebab ketidak-merataan dan tidak tuntasnya proses belajar mulai dari kualitas guru, sarana dan prasarana, hingga menyangkut biaya pendidikan.

Pemerintah dalam hal ini telah melakukan berbagai upaya hingga mengeluarkan kebijakan sistem zonasi untuk mendorong pemerataan pendidikan, namun hal tersebut masih menuai pro dan kontra di kalangan masyarakat karena dianggap tidak adil dan membatasi hak untuk menentukan lingkungan sekolah. 

Pendidikn dan pengajaran merupakan penentu utama masa depan kesejahteraan bangsa. Manakalah sebagian besar penduduk mengalami pembelajaran yang tidak tuntas, maka yang perlu dikhawatirkan adalah masa depan bangsa ini. Terjadinya situasi ketimpangan sosial-ekonomi parah yang berkepanjangan. 

Tetapi kembali lagi bahwa memang pendidikan kita tidak semudah itu merata sebab kita memang sangat tertinggal. Kita masih membutuhkan beratus tahun untuk menyamakan diri dengan kualitas pendidikan Negara maju.

Namun, apakah kita hanya bisa meratapi nasib ?

Tentu 'tak ada kusut yang tak dapat terurai'. Pasti ada solusi untuk mengejar ketertinggalan ini. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun