Mohon tunggu...
Ririn Chatisyah
Ririn Chatisyah Mohon Tunggu... Guru - Mahasiswa

Hobi saya healing

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Memahami Tahapan Perkembangan Psikososial Menurut Teori Erik Erikson: Dari Bayi Hingga Dewasa

25 Oktober 2024   23:03 Diperbarui: 25 Oktober 2024   23:08 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Teori Psikososial Erik Erikson

Teori psikososial Erik Erikson merupakan salah satu teori penting dalam psikologi perkembangan yang menggambarkan bagaimana manusia berkembang melalui serangkaian tahap kehidupan, mulai dari bayi hingga dewasa lanjut. Erikson, seorang psikolog Jerman-Amerika, mengembangkan teorinya sebagai perkembangan dari teori psikoseksual Sigmund Freud. Sementara Freud berfokus pada aspek biologis dan dorongan dasar, Erikson menitikberatkan pada peran sosial, budaya, dan lingkungan dalam pembentukan identitas individu.

Erikson mengidentifikasi delapan tahap perkembangan psikososial yang harus dilewati individu sepanjang hidupnya. Di setiap tahap, individu dihadapkan pada krisis atau tantangan yang harus diatasi agar dapat berkembang ke tahap berikutnya. Penyelesaian yang berhasil akan menghasilkan kualitas psikososial positif, sementara kegagalan dapat menghambat perkembangan pada tahap-tahap selanjutnya.

Berikut penjelasan kedelapan tahap tersebut:

1. Kepercayaan vs. Ketidakpercayaan (0-1 tahun)

Pada tahap pertama, bayi baru lahir berinteraksi dengan pengasuh atau orang tua untuk pertama kali. Melalui interaksi ini, mereka belajar apakah dunia di sekitarnya aman atau tidak. Jika kebutuhan dasar seperti makanan, kenyamanan, dan perhatian dipenuhi secara konsisten, bayi akan mengembangkan rasa kepercayaan terhadap lingkungan dan orang di sekitarnya. Namun, jika kebutuhan ini tidak terpenuhi, bayi mungkin mengembangkan rasa ketidakpercayaan terhadap orang lain dan dunia luar. Rasa percaya yang berkembang di tahap ini akan menjadi dasar hubungan yang sehat di masa depan.

2. Otonomi vs. Rasa Malu dan Keraguan (1-3 tahun)

Pada usia 1 hingga 3 tahun, anak-anak mulai mencoba melakukan berbagai hal secara mandiri, seperti berjalan, berbicara, dan makan sendiri. Pada tahap ini, mereka belajar mengembangkan otonomi atau kemandirian. Jika orang tua mendukung upaya anak-anak untuk mencoba hal-hal baru, anak akan merasa percaya diri dan otonom. Namun, jika anak terlalu banyak dikritik, dipermalukan, atau dihambat, mereka akan mengalami rasa malu dan keraguan akan kemampuan mereka. Tahap ini penting bagi anak untuk mengembangkan rasa percaya diri dan kemampuan mengambil keputusan.

3. Inisiatif vs. Rasa Bersalah (3-6 tahun)

Pada masa pra-sekolah, anak-anak menjadi lebih aktif dalam mengeksplorasi lingkungan sekitar dan mulai mengambil inisiatif dalam berinteraksi. Di tahap ini, mereka belajar membuat keputusan sendiri dan mencoba peran yang berbeda. Dukungan dari lingkungan, terutama orang tua, sangat penting agar anak tidak merasa bersalah atas inisiatif atau keputusan yang mereka ambil. Jika dorongan anak untuk bereksplorasi terus dihambat atau dikritik, mereka akan merasa bersalah, yang dapat mempengaruhi rasa percaya diri dan motivasi mereka untuk mencoba hal-hal baru di masa depan.

4. Kerajinan vs. Inferioritas (6-12 tahun)

Tahap ini bertepatan dengan usia sekolah, di mana anak mulai fokus pada kegiatan belajar dan mengembangkan keterampilan tertentu. Mereka mulai mengukur pencapaian mereka melalui standar sosial, seperti prestasi akademik dan keterampilan dalam berinteraksi dengan teman sebaya. Jika anak merasa berhasil dan didukung oleh lingkungan, mereka akan mengembangkan rasa kerajinan dan kompetensi. Namun, jika mereka sering mengalami kegagalan atau kurang apresiasi, mereka akan merasa inferior atau kurang percaya diri. Perasaan inferior dapat menghambat motivasi belajar dan kemampuan anak dalam menyelesaikan tugas-tugas.

5. Identitas vs. Kebingungan Peran (12-18 tahun)

Pada masa remaja, individu mulai membentuk identitas diri yang lebih kuat. Mereka mencoba berbagai peran, nilai, dan ideologi untuk menemukan siapa mereka sebenarnya. Pencarian identitas ini merupakan tugas yang kompleks, karena mereka harus menyesuaikan diri dengan harapan sosial dan menemukan jati diri mereka di tengah berbagai perubahan biologis dan sosial. Ketika remaja mampu membangun identitas yang kokoh, mereka akan memiliki kepercayaan diri yang lebih tinggi. Jika tidak berhasil, mereka mungkin mengalami kebingungan peran atau krisis identitas, yang dapat berdampak negatif pada hubungan dan tujuan hidup mereka di masa depan.

6. Intimasi vs. Isolasi (18-40 tahun)

Setelah membentuk identitas yang solid, individu dewasa muda mulai berfokus pada hubungan interpersonal yang lebih dalam, baik dalam bentuk persahabatan maupun hubungan romantis. Pada tahap ini, mereka menghadapi tantangan untuk membangun hubungan yang intim dan penuh kasih sayang. Jika mereka berhasil membangun hubungan yang sehat, mereka akan merasa terhubung dengan orang lain. Sebaliknya, individu yang gagal mencapai intimasi ini mungkin akan merasa kesepian atau terisolasi, dan mengalami kesulitan dalam membangun hubungan yang bermakna.

7. Generativitas vs. Stagnasi (40-65 tahun)

Di tahap dewasa menengah, perhatian individu beralih pada kontribusi mereka terhadap masyarakat, terutama melalui pekerjaan, keluarga, atau kegiatan sosial. Mereka yang merasa produktif dan terlibat dalam berbagai kegiatan akan merasakan generativitas atau kepedulian terhadap generasi berikutnya. Namun, jika mereka merasa tidak berguna atau stagnan, mereka mungkin merasa tidak memiliki tujuan hidup yang jelas. Generativitas adalah aspek penting untuk memberikan makna hidup bagi individu di usia paruh baya.

8. Integritas vs. Keputusasaan (65 tahun ke atas)

Pada tahap terakhir dalam hidup, individu memandang kembali perjalanan hidup mereka dan menilai pencapaian serta kegagalan yang mereka alami. Mereka yang merasa puas akan merasa damai dan memiliki integritas atas perjalanan hidup mereka. Namun, mereka yang merasa tidak puas atau menyesali keputusan masa lalu mungkin mengalami keputusasaan dan ketidakpuasan, yang bisa menyebabkan rasa takut akan kematian.

Pentingnya Teori Psikososial Erikson

Teori Erikson memberikan pemahaman yang mendalam mengenai bagaimana setiap tahap kehidupan saling terkait dan membentuk kepribadian seseorang. Erikson menekankan bahwa perkembangan manusia tidak berhenti pada masa anak-anak tetapi berlanjut sepanjang hidup. Dengan memahami teori ini, kita dapat lebih memahami cara seseorang merespons tantangan hidup dan membangun hubungan sosial yang sehat.

Selain itu, teori ini sering digunakan sebagai landasan dalam psikoterapi, konseling, dan pendidikan untuk membantu individu mengatasi konflik atau tantangan psikososial di setiap tahap hidup.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun