Mohon tunggu...
Dwi Rini Endra Sari
Dwi Rini Endra Sari Mohon Tunggu... -

Lahir di Jakarta...smp-kuliah di Jogja kembali lagi ke Jakarta untuk mengabdi kepda negara di Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Hujan Datang, Jakarta Banjir

16 Februari 2015   23:04 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:05 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hobi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Ketika musim kemarau, sebagian masyarakat mengeluh kepanasan dan beberapa wilayah mengalami kekeringan. Saat kondisiini melanda, masyarakat menuangkan asanya agar ada butiran air yang turun dari langit. Tapi, saat musim hujan datang, masyarakat dilanda dilema, ada perasaan senang, tapi ada juga yang resah dan khawatir jika hujan yang mereka harapkan datang menjadi bencana. Apakah kita patut menyalahkan alam? Sadarkah kita akan selama ini yang selalu “Menjajah”alam dan lingkungan?Sadarkah kita, kondisi banjir yang menjadi tamu tahunan ini merupakan teguran bagi kita?

Lagi-lagi, kata yang sering dilontarkan masyarakat jika terjadi banjir di beberapa wilayah Indonesia, khususnya di wilayah Ibu Kota. Dapatkah kata lagi-lagi diubah menjadi tumben, tapi itu sangat kecil kemungkinan untuk dilontarkan apabila budaya masyarakat tidak diubah. Terkadang mereka sulit mengontrol keinginan dan keserakahanyangmenjadikan alam untuk kepentingan mereka, seperti yang selalu kita lihat saat ini, banyak gedung dan pusat perbisnisan yang didirikan tanpa memikirkan akibat atau imbasnyakedepan.

Seperti biasanya dan sudah tidak menjadi sesuatu yang asing kota Jakarta dilanda banjir. Bulan Februari 2015 tepatnya tanggal 9, air hujan yang mengguyur kota Jakarta dan sekitarnya dengan durasi yang lama dan lebat, membuat Kota Jakarta dan sekitarnya dilanda banjir, terutama di Wilayah Jakarta bagian utara dan Jakarta bagian selatan.

Seperti yang diutarkan oleh Kepala Bidang Peringata Dini Cuaca, Kukuh Ribudiyanto bahwa curah hujan pada tanggal 9 tercatat sekitar 300-an mm selama dua hari. Kondisi ini dikategorikan curah hujan lebat.

Banyak warga ibukota yang kala itu pulang kerjakejebak banjir, mereka rela menerjang banjir demi segera sampai ke tempat tinggal mereka. Tak jarang dari mereka yang mengeluh akan kondisi yang terjadi. Mereka pun juga mengeluarkan kritikan terhadap petinggi negara dan para pemangku kepentingan . Sadarkah mereka apakah masalah ini selesai dengan sikap saling menyalahkan dan mengkritik? Kemana sikap ramah lingkungan mereka selama ini?

Jakarta Banjir, Bukan Hal Biasa

Senin tepatnya tanggal 9 Februari 2015, wilayah Jakarta dilanda banjir, hampir lebih dari 49 titik banjir di Ibu Kota. Semakin siang dan sore titik banjir meluas. Bahkan, wilayah yang tidak pernah banjirpun tak luput dari terjangan banjir, termasuk istana negara kepresidenan.

Seperti yang dikutip di media Suara Pembaruan bahwa masalah banjir berasal dari belum selesainya pembenahan Jakarta Utara sebagai wilayah paling rendah dan dekat dengan laut. Menurtnya, seluruhair yang turun akanbermuara ke utara karena di wilayah Jakarta Utara dekat dengan laut. Oleh karena itu, perlu adanya pembenahan pompa di waduk Pluit dan Pasar Ikan.

Banjir sesuatu yang langka, seakan-akan banjir sudah menjadi kebiasaan tiap tahun yang datang dan melanda. Telahbanyak program yang dijalankan pemrintah untuk menanggulangi banjir. Salah satunya melalui Teknik Modifikasi Cuaca yang merupakan suatu teknologi daam mengurangi potensi banjir di sekitarnya dengan mendistribusikan awan-awan cumulus (Cu) yang berpotensi tumbuh menjadi awan cumulonimbus sehingga terjadi hujan dengan garam.

Semua langkah akan sia-sia dan tidak efektif jika tidak didukung dengan sikap yang arif terhadap lingkungan dan kondisi lingkungan yang kondusif. Manusai terkadang serakah dengan menyulap lahan ruang terbuka hijau menjadi gdung-gedung pecakar langit dan area permukiman liar disepanjang pinggiran sungai tanpa mengantongi izin resmi dari pemerintah.

Pernah terbayangkan di benak kita, jika alam ini telah “marah”kepada kita?Maukah kita meminta “maaf”kepada alam?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun