Mohon tunggu...
Puji Irianti
Puji Irianti Mohon Tunggu... -

menulis itu enak

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Hanafi dan Qania

20 Mei 2015   13:00 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:47 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hanafi baru saja memulai membuka Al-Qur’annya dan mulai nderes. Dialah salah satu santri di pondok pesantren ini yang mengikuti program tahfidz. Pun begitu, santri bernama Hanafi juga merupakan santri berprestasi yang sudah mengusung nama pondok pesantren yang ditempatinya pada ajang bahtsul mahsail se Jawa-Madura. Tapi mungkin pondok pesantren ini juga akan bersedih, sebab saat ini adalah minggu-minggu terakhir Hanafi di pondok pesantren. Dia akan boyong setelah menyelesaikan ujian tahfidz 30 juz oleh sang kyai dan menerima ijazah Aliyahnya.
Hanafi menyandarkan tangannya pada tembok gedung yang masih baru dibangun setinggi setengah meter. Dia di lantai dua gedung madrasah baru sekarang. Hanafi berdiri sambil menghadap ke arah dalem kyainya yang hanya berjarak sepuluh meter darinya. Ia memang merasa nyaman jika menghapalkan nadhom atau Al-Quran di tempat sepi seperti ini. Tidak ada yang mengganggu. Ditambah suasana dalem yang begitu tenang menyejukkan mengingatkannya pada wajah sang kyai yang teduh.
Angin bertiup, menerbangkan debu semen dan mengenai wajah Hanafi. Hanafi melepaskan kacamatanya dan membersihkannya. Tapi, ups… Kaca mata Hanafi terlepas dari genggamannya dan meluncur dari ketinggian sepuluh meter. Kaca mata itu terjatuh dengan keras dan tergeletak begitu saja di tengah jalan dalem.
Dalam hati, Hanafi bersyukur karena kacamatanya tidak apa-apa. Tapi bagaimana cara mengambilnya? Jalan setapak di bawah sana adalah jalan yang menghubungkan pondok putri dan dalem kyai. Tentu saja Hanafi tidak bisa ke sana.
Hanafi mendengar suara langkah kaki dari pondok putri. Mulanya Hanafi ingin sembunyi karena takut, namun kemudian seorang gadis berjilbab berjalan di bawahnya, dan gadis itu berhenti saat melihat kaca mata Hanafi. Gadis itu memungutnya.
Ah, aman, pikir Hanafi. Dia bukan keluarga dalem, coba aku minta tolong sama dia.
“Mbak, mbak,” Panggil Hanafi setengah malu.
Gadis itu menoleh ke atas. Tampak wajah ayunya nan manis menggetarkan hati Hanafi.
“Iya kang?”
Suara gadis itu begitu lembut, membuat nyali Hanafi semakin ciut. Astaghfirullah, batin Hanafi. Namun kemudian Hanafi memantapkan hatinya untuk meminta tolong.
“Itu kaca mata saya barusan terjatuh. Bisa tolong kembalikan?”
“Tentu,” gadis itu tersenyum. “Tapia da satu syarat.”
“Apa?”
“Kembalilah lagi setelah dhuhur”
Paman terdiam sebentar. Ia mencoba mencari alasan yang lain. Ia butuh kaca mata itu secepatnya.
“Tolonglah, mbak. Saya baru beli minggu lalu. Itu kaca mata silinder. Mahal”
“Kalau tidak mau ya sudah,” jawab gadis itu sinis.
“Baiklah, aku kembali lagi nanti,” ujar Hanafi sambil berlalu.
Kesal hati Hanafi dikerjai seorang santriwati. Sempat terbesit di hatinya, apakah semua santriwati seperti itu? Ah, tidak. Hanafi segera membuang pikiran buruknya jauh-jauh.
Hanafi kembali lagi satu jam kemudian. Ia tidak menemukan santriwati yang tadi siang. Ia hanya menemukan amplop putih sedikit tebal di tempat ia biasa nderes.
Tanpa pikir panjang, Hanafi segera membuka amplop itu dan mengambil beberapa lembar kertas yang terlipat dan tersimpan rapi. Hanafi membukanya dan membacanya.
Betapa kaget Hanafi melihat isi amplop itu. Beberapa lembar kertas HVS bertuliskan seratus buah pertanyaan pribadi berkaitan dengannya, mulai nama, umur, alamat, nama orang tua, dan sebagainya. Semuanya ditulis tangan rapi, berbahasa arab. Hanafi segera menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan pulpen yang selalu dibawanya kemana-mana.
Sore hari, sehabis asyar, Hanafi kembali ke tempat nderes-nya seperti biasa. Gadis berjilbab itu sepertinya sudah menunggunya di bawah sana sejak tadi.
“Assalamualaikum..,” sapa Hanafi setengah malu-malu.
Santriwati tersebut menoleh ke atas dan tersenyum. “Mana?” Tanya gadis itu tanpa menjawab salam Hanafi.
“Nih,” jawab Hanafi sambil melemparkan amplop yang didapatnya siang tadi. “Mana kaca mata saya?” Tagihnya.
“Mundurlah lima meter ke belakang,” perintah si gadis.
“Oke, awas kalau bohong!”
Tanpa menunggu jawaban si gadis, Hanafi mundur beberapa langkah. Namun kemudian, ia melihat amplop yang baru dilemparnya tadi melayang ke udara dan jatuh di hadapannya. Hanafi mengambilnya dan segera membukanya. Kaca matanya.
Hanafi kembali melihat ke bawah, namun gadis itu sudah hilang!
Tadi dia bisa menulis seratus pertanyaan dalam waktu kurang dari satu jam. Lalu menukar isi amplop dan melemparnya dalam waktu beberapa detik. Lalu menghilang begitu saja. Cepat sekali dia. Pikir Hanafi.
Hanafi geleng-geleng, kemudian mengambil Al-Quran kecil dari saku bajunya dan memakai kacamatanya. Mungkin gadis itu sebenarnya jin. Di pondok pesantren, memang sudah biasa para santri bertemu dengan jin berbagai rupa. Ah, Hanafi, kau selalu berpikiran buruk.
Hanafi membuka Al-Qur’annya dan mulai menggerakkan bibirnya. Dia harus segera menguatkan hapalannya secepat mungkin. Satu minggu lagi, dia akan ujian tiga puluh juz pada kyainya.
Dan dua minggu sudah berlalu. Di dalem kyainya, dia duduk dengan khusyuk bersama beberapa temannya. Dia merasa begitu dimuliakan oleh kyainya. Kyainya membuat acara kecil-kecilan dan mengundang beberapa santri dan keluarga ndalem untuk merayakan keberhasilan Hanafi. Hanafi merasa sedikit tidak enak oleh kyainya.
“Han, banyak yang bilang kamu punya hubungan sama santri putri?” Bisik temannya yang duduk di sebelahnya.
“Hus, ngawur kamu! Dapat gosip dari mana?” Bantah Hanafi.
“Anak-anak bilang begitu. Awas kalau kyai tahu”
“Ngawur! Aku hanya bertemu sekali saja dengan dia. Mudahan saja kyai tidak tahu,” harap Hanafi dengan gigi gemetar. Dia sangat takut sampai menundukkan wajahnya.
“Pak Hanafi,” sapa seseorang kepada Hanafi.
Hanafi mengangkat kepalanya. Di hadapannya sudah bersimpuh seorang santri dalem yang masih sekolah ibtidak.
“Iya, ada apa?”
“Ditimbali (dipanggil) kyai. Kyai di ruang tengah”
Hanafi tidak perlu menjawab pertanyaan itu. Dia bangkit dan meninggalkan temannya, menuju ke ruang tempat kyainya biasa bercengkrama dengan keluarganya.
“Dalem, kyai?” Tanya Hanafi sambil bersumpuh takdhim di hadapan kyainya.
“Kamu punya hubungan dengan anak putri??” Tanya kyai dengan nada tinggi.
“Ti… Tidak kyai. M-maaf, saya kemarin tidak sengaja. Kaca mata saya…”
“Pulang kamu besok! Kemasi barang-barangmu! Tidak ada alasan seorang santri putra bercengkrama dengan santri putri. Di depan rumah saya lagi. Bikin malu saja!” Usir kyainya.
Keesokan harinya, Hanafi kembali ke tempat nderes-nya untuk terakhir kalinya. Entah kenapa tiba-tiba dia bertemu lagi dengan gadis itu.
“Kok bawa tas besar? mau pulang ya kang? Kan liburan masih minggu depan,” sapa gadis itu terlebih dahulu.
“Aku diusir kyai,” jawab Hanafi singkat.
“Pasti karena aku,” sesal gadis itu.
“Sudahlah, aku tidak menyesal sama sekali. Biar saja,”
“Tidak bisakah kita bertemu lagi suatu saat nanti?”
Hanafi memaksakan senyumnya. “Jangan harap. Aku punya sesuatu untukmu.”
Hanafi mengeluarkan amplop yang pernah digunakannya surat-menyurat dengan si gadis. Dia melemparkan amplop itu ke bawah.
Gadis itu berjongkok dan mengambilnya. Gadis itu mengintip isinya sekilas. Sebuah undangan pernikahan.
“Aku membuatnya semalam suntuk. Semoga kamu bisa datang,” lanjut Hanafi. “Aku pergi dulu, assalamu’alaikum.”
Tangis gadis itu semakin menjadi. Dia begitu mencintai Hanafi. Hampir setiap hari dia mengintip Hanafi dari dalam kamarnya, mengagumi suara Hanafi saat dia menyetorkan hapalan ke ayahnya. Dia menyesal tidak pernah memberi tahu Hanafi tentang siapa dirinya sebenarnya.
Gadis itu melangkah kembali ke rumahnya, masuk ke dalam kamar dan mengunci pintunya rapat-rapat. Dia sudah bosan menangis, dan siap untuk membaca undangan pernikahan yang baru saja didapatnya.
“Menikah: Imam Hanafi, anak keluarga Bapak Hafidz, dengan Qania, anak keluarga KH. Asy’ari”
Sesak dada gadis itu, bukan karena sedih. Tapi karena melihat nama mempelai putri, yang tidak lain adalah dirinya sendiri. Sungguh dia begitu bingung bagaimana menunjukkan rasa bahagianya. Baru beberapa detik lalu dia merasa hancur, tapi kemudian dia merasa gembira yang tiada tara.
Qania melihat sepucuk surat yang dilipat rapi. Dia segera membukanya dan membacanya.
“Istriku, ah, aku malu mengakuinya. Gara-gara ulah kita kemarin, ayahmu, maaf, kyai mengangkatku menjadi menantu, bersanding denganmu. Kamu mungkin tidak tahu kalau hari saat aku dimarahi ayah adalah hari dimana aku juga menikahimu. Tanpa persiapan apapun sebelumnya, tapi untungnya aku punya sesuatu untuk maharnya. Mintalah ke ayah, aku menitipkannya ke beliau. Sampai jumpa di hari walimah, sayang.
NB: Aku sengaja mengerjaimu hari ini untuk membalas ayah yang marah-marah padaku kemarin.”
Hanafi berhenti sebentar di depan gerbang pesantren. Dia melepas kacamatanya dan menerawangnya ke arah matahari sebentar. Dia seperti begitu bangga memiliki kacamata yang bisa mengantarnya kepada jodohnya. Seorang anak kyai yang tidak pernah keluar rumah selama dua puluh tahun dan tak dikenal siapapun, resmi menjadi istrinya.
Jodoh di tangan Allah, hai Hanafi, bukan dari kacamata. Kau memang suka berpikiran buruk!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun