Oleh Ririn Erviana
Menulis sebagai kegiatan intelektual memiliki kekuatan yang luar biasa. Hanya dengan tulisan seseorang bisa termotivasi, bersemangat, sedih, marah, dan terhibur. Begitu hebatnya sebuah tulisan yang seringkali dianalogikan dengan pedang yang bisa menyakiti atau sebagai senjata. Pergerakan pena bukan hanya sekedar milik kaum cendekiawan saja, karena siapapun boleh mengungkapkan gagasannya melalui tulisan. Kepuasan seorang penulis saat melihat tulisannya telah dibaca banyak orang atau tulisan itu bisa memiliki pengaruh bagi orang lain.
Para cendekiawan yang mengaku memiliki keterampilan bahasa termasuk menulis ternyata tidak selalu benar. Nyatanya banyak diantara mereka yang menggunakan jasa ghostwritter untuk berbagai kepentingan seperti kenaikan jabatan atau sebuah penelitian. Ghostwritter adalah seorang penulis yang tidak bisa menuliskan nama pada karyanya. Namun sebagai imbalannya seorang ghostwrittermendapat fee dari kliennya. Jenis tulisannya pun berbeda-beda, baik karya ilmiah maupun karya sastra.
Semakin berkembangnya teknologi sistem kehidupan manusia semakin instan. Teknologi mengubah banyak hal. Tak terkecuali pula bidang pendidikan. Intelektualitas di zaman yang serba digital sekarang ini sudah marak dikomersilkan. Di dalam dunia akademik ternyata ada kejahatan yang beratnya sama dengan pembunuhan.Â
Kejahatan plagiasi adalah pencurian hak cipta milik seseorang atas intelektulitasnya. Adapula kasus plagiasi bukan dikarenakan seseorang terjebak tindak plagiarisme karena tidak tau batas-batas pengutipan sehingga seseorang dilabeli plagiat padahal sesungguhnya tidak ada niat seperti itu. Oleh karena itu sebagai civitas akademika sudah semestinya tata cara pengutipan diperhatikan betul. Supaya terhindar dari tindak plagiarisme yang tidak disengaja.
Kasus yang sesungguhnya adalah ketika seseorang dengan sengaja mencuri karya orang lain dan mengatasnamakan karya itu pada dirinya. Tindak plagiarisme tidak melulu identik dengan mahasiswa yang pemalas sehingga asal copy paste dari internet ketika membuat tugas. Tindak plagiarisme juga mulai meracuni kalangan cendekiawan seperti dosen dan guru besar. seperti yang terjadi tahun Hukuman yang diterima tentu pencabutan gelar jika orang itu sudah bergelar. Jika seorang mahasiswa yang terbukti skripsinya plagiat maka hukumannya langsung ditolak skripsinya. Bahkan guru besar saja bisa jadi terlibat tindak plagiarisme.
Namun disamping tindak plagiarisme yang hukumnya sudah jelas ternyata banyak juga budaya akademik yang serupa dengan plagiarisme namun masih simpang siur hukumnya. Civitas akademika biasa menyebutnya dengan ghostwriter. Â Secara bahasa berarti penulis hantu. Namun yang dimaksud bukanlah hantu secara mistis melainkan penulis yang tidak bisa atau rela tidak mencantumkan namanya di dalam karyanya sendiri karena suatu hal.Â
Misalnya kasus-kasus yang marak terjadi dikalangan mahasiswa versus mas-mas photocopy-an. Mahasiswa biasanya dilatih menulis karya ilmiah berupa makalah supaya terlatih menulis skripsi saat akan mendapatkan gelar. Tapi dikarenakan berbagai hal memicu mereka mengambil jalan pintas supaya utusan kemahasiswaannya beres.
Jika yang dilakukan mahasiswa meng-copy paste makalah dari internet langsung kemudian dikumpul ke dosen maka itu jelas. Jelas apanya? Jelas bahwa itu tindak kejahatan atas hak intelektualitas yang diambilnya dari internet (entah milik siapa). Namun berbeda halnya jika seseorang meminta orang lain agar mengerjakan tugasnya dengan imbalan materi.Â
Misalnya minta tolong mas-mas photocopy-an, temannya sendiri, kakak tingkatnya, atau tukang gorengan sekalipun. Jika karya yang dibeli dari orang lain tersebut hasil dari copy paste maka semakin kompleks masalahnya. Sudah membeli membeli karya orang lain, ternyata karya itu hasil pencurian. Sama saja membeli motor dari hasil begal.