Ketidaksetaraan antara pencari kerja dan posisi yang tersedia bukanlah satu-satunya faktor yang menyebabkan terjadinya pengangguran di Indonesia. Menurut (Iswanto 2021), ketidakcocokan atau ketidaksesuaian ketrampilan tenaga kerja dengan kebutuhan industri merupakan masalah struktual yang lebih serius. Fenomena bonus demografi yang seharusnya menjadi peluang, namun jika tidak ditangani dengan baik dapat berubah menjadi bencana demografi, yaitu memperparah keadaan.
Menurut (Tambunan 2022), pertumbuhan ekonomi Indonesia selama ini bersifat padat karya dan tidak sepenuhnya inklusif dalam kerangka ekonomi makro. Sementara, bisnis padat karya seperti manufaktur ringan dan pertanian mengalami pertumbuhan yang lebih lambat, investasi yang masuk sebagian besar terfokus pada industri pasar modal dan berteknologi tinggi. Pada tahun 2019 awal munculnya pandemi COVID-19 merupakan salah satu faktor yang mempercepat transformasi digital, yang menghasilkan fenomena yang disebut “percepatan disrupsi”. Sementara profesi baru yang membutuhkan ketrampilan digital terus berkembang, sehingga para pekerja konvensional banyak yang sekarat. Berdasarkan data, tingkat penganggurana di Indonesia selama pandemi mencapai 7,07% pada agustus 2020, yang merupakan tingkat pengangguran terburuk sejak krisis keuangan pada tahun 1998. Pasar tenaga kerja mengalami dilema sebagai akibat dari transisi digital ini. Banyak perusahaan kesulitan mencari karyawan yang memiliki keterampilan digital. Di sisi lain, banyak pencari kerja tidak bisa mendapatkan pekerjaan karena mereka tidak memiliki keterampilan digital yang dibutuhkan.
Pengangguran jangka panjang dapat menyababkan “jebakan kemiskinan” dimana orang sulit keluar dari kemiskinan karena mereka tidak memiliki akses ke pendidikan dan pelatihan yang akan meningkatkan peluang mereka untuk mendapatkan pekerjaan yang baik. Kelompok pengangguran muda merupakan contoh nyata dari permasalahan ini. Menurut data BPS, tingkat pengangguran untuk kelompok usia 15-24 tahun secara konsisten berada diatas 15%, jauh lebih tinggi dari rata-rata nasional. Produktivitas ekonomi jangka panjang dapat terpengaruh oleh resiko “generasi yang hilang” ini. Indonesia harus melakukan peerubahan signifikan pada sistem pendidikan dan pelatihan kejuruannya. Dengan fokus terhadap keterampilan digital dan soft-skill yang menjadi semakin penting di era ekonomi digital, kurikulum harus lebih responsif terhadap kebutuhan industri. Kebijakan untuk industri yang inklusif pemerintah harus mendukung perubahan digital sembari mendorong investasi di industri padat karya. Menurut (Nasution 2022), strategi “industrialisasi hibrida” direkomendasikan, di mana pertumbuhan bisnis teknologi tinggi diimbangi dengan penguatan industri padat karya yang mempertahankan daya saing mereka dengan menerapkan teknologi yang tepat.
Program padat karya yang produktif pengalaman dari negara lain menunjukkan bahwa program padat karya yang produktif dapat menjadi solusi sementara yang baik. Proyek padat karya di Thailand yang berkonsetrasi pada pembangunan infrastruktur perdesaan dan perkotaan telah berhasil menurunkan tingkat pengangguran, menurut (Warr,2022). Penugembangan UMKM dan Ekonomi Digital Strategi untuk menciptakan lapangan kerja harus memprioritaskan UMKM. Pentingnya digitalisasi UMKM untuk meningkatkan daya saing dan menghasilkan lapangan kerja yang berkualitas. Implementasi inisiatif seperti UMKM Go Digital perlu ditingkatkan dan diperbanyak. Transformasi digital UMKM harus dilihat sebagai gerakan nasional yang memerlukan kerja sama berbagai pemangku kepentingan. Meskipun program UMKM Go Digital telah dicanangkan, namun implementasi di sektor ini masih menghadapi berbagai tantangan. Salah satu kendala utama adalah kesenjangan keterampilan digital yang masih menjadi kesenjangan besar di kalangan pelaku UMKM, terutama di daerah yang jauh dari pusat perekonomian.
Mengembangkan ekosistem UMKM digital memerlukan pendekatan yang lebih holistik. Pertama, infrastruktur digital yang tepat perlu menjangkau daerah-daerah terpencil. Tanpa konektivitas internet yang stabil dan terjangkau, digitalisasi bagi UMKM hanya tinggal wacana. Pemerintah perlu bekerja sama dengan sektor swasta untuk mempercepat pembangunan infrastruktur digital, termasuk pengembangan jaringan 5G yang dapat mendukung adopsi teknologi canggih seperti Internet of Things (IoT) dan cloud computing untuk UMKM. Kedua, program pelatihan digital harus dirancang dengan mempertimbangkan karakteristik unik dan kebutuhan pemangku kepentingan UMKM. Pendekatan pelatihan digital yang bersifat universal sering kali tidak efektif karena UMKM memiliki tingkat literasi digital yang berbeda-beda. Program pelatihan harus disusun secara bertahap, dimulai dengan pengenalan dasar teknologi digital dan berlanjut hingga penerapan strategi e-commerce yang lebih kompleks. Kolaborasi dengan platform digital lokal juga penting untuk memberikan pengalaman praktis kepada pemangku kepentingan UMKM. Ketiga, kita perlu memperluas akses terhadap keuangan digital. Fintech dan perbankan digital dapat menjadi solusi bagi UMKM yang selama ini kesulitan mengakses kredit tradisional. Namun regulasi yang mendukung juga diperlukan untuk melindungi kepentingan UMKM dalam transaksi digital. Pemerintah harus mempertimbangkan untuk menciptakan insentif khusus bagi lembaga keuangan yang secara aktif mendukung digitalisasi UMKM.
Aspek penting lainnya adalah pengembangan pasar lokal untuk mendukung UMKM. Dominasi platform e-commerce besar seringkali menyulitkan UMKM untuk bersaing karena biaya yang mahal dan persaingan yang tidak seimbang. Pasar khusus UMKM yang dikelola dengan baik dapat menjadi alternatif yang lebih menguntungkan bagi usaha kecil dan menengah. Dalam konteks yang lebih luas, digitalisasi UMKM juga wajib dipandang menjadi bagian berdasarkan taktik pemberdayaan ekonomi masyarakat. Program pendampingan tidak hanya penekanan dalam aspek teknologi, namun juga meliputi pengembangan kapasitas manajemen usaha, branding, dan taktik pemasaran digital. UMKM yang berhasil bertransformasi digital bisa sebagai motor penggerak ekonomi lokal dan membentuk lapangan kerja berkualitas. Inovasi pada contoh usaha UMKM juga perlu didorong melalui digitalisasi. Penggunaan teknologi digital memungkinkan UMKM untuk mengoptimalkan operasional mereka, mulai dari manajemen inventori sampai analisis data pelanggan. Hal ini dapat mempertinggi efisiensi dan daya saing UMKM pada pasar yang semakin kompetitif.
Kolaborasi antara UMKM menggunakan startup teknologi lokal juga perlu difasilitasi. Startup bisa menyediakan solusi teknologi yang sinkron menggunakan kebutuhan UMKM, sementara UMKM bisa sebagai pengguna loyal yang menaruh masukan berharga untukpengembangan produk. Ekosistem kolaboratif ini dapat mendorong penemuan dan membentuk sinergi positif pada ekonomi digital. Tantangan lain yang perlu diatasi merupakan kesenjangan gender pada adopsi teknologi digital. Program pemberdayaan spesifik perlu didesain untuk mendorong partisipasi wanita pada ekonomi digital, mengingat UMKM dijalankan wanita. Pelatihan dan pendampingan yang mempertimbangkan kebutuhan khusus pelaku UMKM wanita bisa membantu mengatasi kendala sosial dan kultural pada adopsi teknologi. Pada akhirnya, keberhasilan digitalisasi UMKM akan bergantung dalam komitmen seluruh pihak untuk membentuk ekosistem digital yang inklusif dan berkelanjutan. Pemerintah perlu memainkan peran menjadi fasilitator dan regulator yang efektif, sementara sektor partikelir bisa berkontribusi melalui transfer teknologi dan pengembangan solusi digital yang terjangkau. Masyarakat sipil juga bisa berperan untuk mendorong awareness & adopsi teknologi digital pada taraf grassroots.
Strategi komprehensif yang memadukan kebijakan makro ekonomi dengan program-program mikro yang tepat sasaran diperlukan untuk mengatasi pengangguran di Indonesia. Manajemen transformasi digital yang efektif diperlukan untuk mencegah terciptanya kesenjangan pasar tenaga kerja yang baru. Pemerintah, bisnis, dan masyarakat harus bekerja sama untuk membangun lingkungan yang mendorong terciptanya lapangan kerja berkualitas tinggi. Memastikan bahwa pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan inklusif juga sama pentingnya. Menurut Stiglitz (2022), "pertumbuhan ekonomi tanpa penciptaan lapangan kerja adalah resep untuk ketidakstabilan sosial." Dengan menyediakan lapangan kerja yang baik dan berjangka panjang, Indonesia harus memastikan bahwa manfaat dari ekspansi ekonomi dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H