mengukur jalan itu favoritmu
membuatku belajar, kadang bergerak itu harus sekalipun lelah mendera
jarang sekali kau berpetuah, hanya kuingat satu yang sering kauulang,
“jangan pernah menyesal!”,
membuatku belajar: berpikir itu sebelum bertindak
diam sering kutemukan padamu
seakan kau berkata: hati-hati kalau bicara
perlakuanmu pada ibu, pada nenek, adik-adikmu
membuatku tak menyesal jadi perempuan
humor-humormu itu, sadarkan aku hidup memang permainan,
tertawalah padanya
kaubawa aku pada duniamu: pekerjaan, sahabatmu, hingga masa lalu, sampai mimpi-mimpimu
aku jadi tahu siapa ayahku, lantas kubangun duniaku
kau menyapu sebelum memintaku mengepel lantai
pelajaran berharga buatku tentang keteladanan
kau memelukku, saat ku ranking satu dan kalah olimpiade
membuatku tahu kasih sayang tak butuh harga
rengekanku suatu saat, bukan kaujawab dengan mainan baru
tapi kauperlihatkan aku wajah seorang pengemis
jadinya aku tahu, tak semua ingin dipenuhi, walau masih saja aku menangis
kau meminta maaf setelah memarahiku
itulah cara menghargai, karena tak ada manusia sempurna
kau sampaikan firman-firman-Nya,
kau ajarkan aku untuk gelisah, menakar kebenaran
kau sodorkan aku banyak buku,
bukan menyeretku pada khotbah dan belenggu
ah, ayah, banyak yang kulupa dari kenangan kita
tapi, tanpa banyak kata-kata kau mendidikku jadi ksatria
aku ingin bersamamu ribuan tahun lagi
aku, putramu yang baru bisa mengaku cinta…
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H