Dia sungguh berbeda
Tindak apalagi kata
Ujarannya menggilas dusta, terselip pongah
Tangannya besi, memukul pencoleng negeri, rata hingga ke tanah
Dia purnama
Terang apa adanya
Tak surut melangkah, walau harus berkelahi dengan amarah
Murni, mengisi negeri, bukan untuk harta, apalagi nama
Ah…andai dia adalah bagian yang jamak
Nista ini apakah akan tampak?
Akankah ada kompak melonjak, mengutuk, meluluh, melantak?
Memukul wajah pertiwi, membakar hati dengan tamak?
Bumi ini, negeri ini
Tidak siap diri
Bumi ini, negeri ini
Masih melihat dia dengan benci
Wahai Semesta
Aku titipkan kata-kata tidak bersuara
Mengetuk hati-hati lugu, membisik pada jiwa-jiwa tanpa daya
Bahwa dia ini, hanyalah seorang pekerja semesta
Tapi bumi ini, negeri ini
Belum siap diri
Namun bumi ini, negeri ini
Tetap menatapnya dengan benci dan dengki
Berjuta kala putih merayap mengadili
Dengan sengat racun hati
Menusuk, mencabik agar cahaya mati
Berkas itu berdiam diri, tidak akan pernah lari
Wahai Alam Raya
Aku bisikan bunyi sumbang dari pena
Menggores ragu pasir samudera
Akankah berguna?
Jakarta, 7 Desember 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H