Mohon tunggu...
Ripan
Ripan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa di Universitas Pendidikan Indonesia

Di tengah dunia yang berputar cepat, saya adalah penjelajah kata dan perasaan. Saya menulis untuk menghidupkan kembali kenangan indah dan menciptakan pelangi dari kata-kata. Bergabunglah dengan saya dalam perjalanan menemukan keindahan dalam setiap detik dan momen kehidupan. 📖✍️

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno Pilihan

Sorgum, Keajaiban Tanah Flores yang Menyentuh Masa Depan Pangan Indonesia

15 Desember 2024   23:50 Diperbarui: 17 Desember 2024   15:57 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Di ladang ini, sorgum tumbuh untuk masa depan yang lebih mandiri. (pixabay.com/Schwoaze)

Langit pagi di Nusa Tenggara Timur bagaikan kanvas hidup, dihiasi warna biru keemasan dengan lembutnya sinar mentari yang menari di atas hamparan sorgum. Tanaman ini bukan sekadar tumbuhan bagi Pak Nando, seorang petani dari desa kecil di Flores Timur. Ia melihat sorgum sebagai simbol harapan dan kunci menuju masa depan yang lebih cerah. “Dulu, tanpa beras, kami berpikir akan kelaparan,” ungkapnya sambil memanen butiran sorgum matang. “Tapi ternyata sorgum lebih tangguh dari yang kami bayangkan. Kekeringan yang sering melanda desa ini tidak bisa menghentikan pertumbuhannya.” Senyum penuh kebanggaan terlihat saat ia menunjukkan beragam olahan sorgum: tepung untuk kue, bubur hangat, hingga nasi sorgum yang legit.

Cerita Pak Nando hanyalah secuil dari upaya besar untuk menghidupkan kembali warisan pangan lokal Indonesia. Sorgum, salah satu dari ribuan tanaman lokal, hampir tenggelam di bawah dominasi beras, gandum, dan jagung. Di masa lalu, umbi-umbian seperti gadung, gembili, dan serealia seperti jewawut, jali menjadi tumpuan hidup masyarakat Nusantara. Namun, perlahan tanaman ini terpinggirkan seiring bergesernya selera ke makanan modern.

Di sebuah ruangan sederhana yang diterangi lampu minyak, Bu Sinta, seorang nenek berusia 68 tahun, mengingat masa kecilnya. “Saat musim paceklik, kami sering makan jewawut,” kenangnya. “Dulu, tanah di sini penuh tanaman itu. Tapi sekarang, anak-anak muda lebih suka makanan dari kota.” Ceritanya menjadi pengingat betapa cepatnya perubahan gaya hidup melunturkan tradisi. Bu Sinta kemudian menunjukkan sebuah guci tua yang pernah digunakan keluarganya untuk menyimpan jewawut, seolah menegaskan betapa berharganya tanaman ini di masa lalu.

Keprihatinan inilah yang mendorong berbagai organisasi dan individu untuk bergerak, salah satunya Yayasan KEHATI. Mereka bukan hanya fokus pada pelestarian flora dan fauna, tetapi juga pada pentingnya menjaga keberagaman pangan lokal yang semakin tergerus oleh modernitas. "Keanekaragaman hayati adalah identitas kita," ujar seorang ahli lingkungan yang terlibat aktif dalam berbagai inisiatif konservasi pangan lokal. "Jika kita melupakan pangan lokal, kita kehilangan sebagian dari budaya dan jati diri kita."

Namun, melestarikan pangan lokal bukan hanya soal budaya. Pangan lokal juga memiliki keunggulan dalam hal ketahanan terhadap kondisi lingkungan yang ekstrem, terutama di era perubahan iklim. Dalam berbagai penelitian, tanaman seperti sorgum, jewawut, dan gembili terbukti tahan terhadap perubahan iklim. Sorgum, misalnya, mampu tumbuh di lahan kering dengan sedikit air. Jewawut, dengan akarnya yang kuat, dapat mencegah erosi tanah di daerah berbukit. “Pangan lokal itu punya potensi besar dalam membantu ketahanan pangan di masa depan,” kata seorang peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). “Pangan lokal bukan hanya soal ketahanan pangan, tetapi juga menjaga keseimbangan ekosistem kita.”

FAO, IFAD, UNICEF, WFP, dan WHO. 2019. Keadaan Keamanan Pangan dan Gizi di Dunia 2019. (Sumber: FAO)
FAO, IFAD, UNICEF, WFP, dan WHO. 2019. Keadaan Keamanan Pangan dan Gizi di Dunia 2019. (Sumber: FAO)

Menurut data dari Badan Pangan Dunia (FAO), lebih dari 820 juta orang di dunia masih mengalami kerawanan pangan. Indonesia, dengan segala potensi alamnya, bisa melakukan lebih banyak hal untuk mengatasi masalah ini. Diversifikasi pangan, termasuk dengan mempromosikan tanaman lokal seperti sorgum, tidak hanya dapat mengurangi ketergantungan pada impor pangan, tetapi juga meningkatkan ketahanan pangan lokal. Namun, sayangnya, dengan semakin berkembangnya urbanisasi dan perubahan gaya hidup, banyak masyarakat yang mulai melupakan pentingnya pangan lokal. "Anak-anak sekarang lebih mengenal makanan cepat saji daripada gembili atau beras merah," keluh seorang ibu rumah tangga di salah satu daerah di Jawa Tengah. Ia sangat khawatir jika generasi mendatang semakin jauh dari akar budaya pangan tradisional Indonesia.

Menanggapi hal ini, Yayasan KEHATI yang secara aktif melakukan kampanye untuk melestarikan dan mengenalkan kembali pangan lokal melalui berbagai platform, seperti website kehati.or.id, Instagram, dan media sosial lainnya dengan menggunakan hashtag kampanye #KEHATI dan #RawatBumi. Melalui kampanye ini, Yayasan KEHATI berusaha mengedukasi masyarakat, terutama generasi muda, tentang pentingnya melestarikan pangan lokal sebagai bagian dari keberagaman budaya dan kearifan lokal Indonesia.

Tidak hanya Yayasan KEHATI, banyak komunitas dan organisasi yang juga menggelar kampanye serupa untuk mengenalkan pangan lokal kepada masyarakat. Salah satu upaya yang dilakukan adalah melalui berbagai media, mulai dari kelas memasak tradisional yang mengajarkan cara mengolah pangan lokal, hingga pemanfaatan media sosial yang lebih kreatif dan modern. Para pelaku kampanye ini sadar bahwa untuk menarik perhatian generasi muda, mereka perlu menggunakan pendekatan yang lebih kekinian dan relevan dengan tren saat ini.

Beberapa grup atau komunitas pangan lokal bahkan mulai berkolaborasi dengan pengusaha muda dan desainer untuk memasarkan pangan lokal dalam kemasan yang lebih menarik dan modern. Hal ini bertujuan agar produk pangan lokal tidak hanya diminati oleh masyarakat lokal, tetapi juga dapat menembus pasar yang lebih luas, baik nasional maupun internasional. Kini, produk pangan lokal seperti chips talas, pasta singkong, atau tepung mocaf sudah mulai mendapatkan perhatian dari pasar, bahkan diekspor ke berbagai negara. Inisiatif-inisiatif seperti ini membuktikan bahwa pangan lokal memiliki potensi besar untuk berkembang dan bersaing di pasar global.

Sementara itu, di Bali, jewawut yang hampir punah kini kembali dihidangkan di meja makan. Luh Made, seorang ibu rumah tangga di Gianyar, mengajarkan anak-anaknya untuk mencintai makanan tradisional. “Rasanya enak, kaya serat, dan lebih mengenyangkan,” katanya sambil tersenyum. Kini, olahan jewawut yang dijualnya di pasar lokal mendapat sambutan hangat. Ia bahkan mulai menerima pesanan dari restoran-restoran besar yang ingin menampilkan menu khas Bali. Bukan hanya di tingkat komunitas, pelestarian pangan lokal juga memanfaatkan media sosial. Generasi muda mulai membagikan resep tradisional dengan tampilan modern. Dari Instagram hingga TikTok, konten kreatif seperti video memasak atau vlog pertanian menjadi salah satu cara efektif untuk menarik perhatian. Salah satu tren populer adalah “tantangan memasak lokal”, di mana pengguna media sosial berlomba-lomba menciptakan hidangan dari bahan-bahan tradisional dengan sentuhan kontemporer.

Peran pemerintah juga krusial. Program Diversifikasi Pangan Nasional adalah langkah awal, meskipun implementasinya masih perlu ditingkatkan. “Edukasi harus dimulai dari sekolah dasar,” kata Bu Ningsih. “Jika tidak, kita akan kehilangan generasi yang menghargai keanekaragaman hayati.” Beberapa pemerintah daerah telah mengambil langkah konkret. Di Nusa Tenggara Timur, misalnya, pemerintah mulai memasukkan pangan lokal dalam program bantuan sosial. Langkah ini diharapkan mendorong masyarakat untuk lebih mengandalkan tanaman lokal yang tahan terhadap cuaca ekstrem. Di Sulawesi Selatan, kebijakan serupa juga diterapkan dengan mendorong penggunaan sagu sebagai bahan utama makanan dalam kegiatan resmi pemerintah.

Namun, kebijakan saja tidak cukup. Diperlukan sinergi antara pemerintah, komunitas, dan sektor swasta. Misalnya, kolaborasi antara petani lokal dengan perusahaan makanan dapat membuka pasar baru untuk produk berbasis pangan lokal. Salah satu contoh adalah inisiatif yang dilakukan di Jawa Tengah, di mana petani sorgum bekerja sama dengan produsen makanan ringan untuk menciptakan camilan berbasis sorgum yang ramah anak-anak. Produk ini kini mulai memasuki pasar swalayan besar di Indonesia.

Langit mulai memerah ketika Pak Nando pulang ke rumah. Di meja makan, istrinya sudah menyiapkan nasi sorgum dengan lauk ikan asin dan sambal matah. “Ini makanan sederhana, tapi penuh arti,” katanya. “Kami tidak lagi tergantung pada beras mahal.” Pak Nando memandang sorgum sebagai lebih dari sekadar tanaman. Ia adalah simbol kemandirian. “Suatu hari, saya berharap sorgum bisa menjadi makanan utama di Indonesia,” harapnya. Dengan tekad seperti itu, ia percaya bahwa masa depan bisa lebih cerah, tidak hanya untuk keluarganya, tetapi juga untuk generasi berikutnya.

Malam itu, di bawah langit berbintang, Pak Nando merenungkan perjalanan panjang yang masih harus ditempuh. “Kalau kita bisa melestarikan pangan lokal, kita bukan hanya menjaga tanah ini,” gumamnya pelan. “Kita menjaga cerita, menjaga kehidupan.” Optimisme Pak Nando mewakili harapan ribuan petani di seluruh Nusantara yang bekerja keras untuk menjaga warisan pangan lokal. Dari Sabang hingga Merauke, dari Flores hingga Bali, semangat untuk melestarikan kekayaan alam Indonesia terus tumbuh. Dengan dukungan dari berbagai pihak, mimpi tentang kedaulatan pangan berbasis keanekaragaman hayati mungkin suatu hari akan menjadi kenyataan.

Setiap langkah kecil yang diambil untuk melestarikan pangan lokal adalah bagian dari perjalanan panjang menuju masa depan yang lebih mandiri. Dari desa-desa kecil di pelosok hingga gedung-gedung perkantoran di kota besar, semangat ini mulai menjalar, menggerakkan hati dan pikiran banyak orang. Bukan hanya soal mempertahankan tradisi, melainkan soal memastikan bahwa bumi ini tetap subur, seimbang, dan berkelanjutan bagi generasi yang akan datang. Kekayaan alam Indonesia adalah anugerah, dan menjaganya adalah tanggung jawab bersama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun