Sementara itu, di Bali, jewawut yang hampir punah kini kembali dihidangkan di meja makan. Luh Made, seorang ibu rumah tangga di Gianyar, mengajarkan anak-anaknya untuk mencintai makanan tradisional. “Rasanya enak, kaya serat, dan lebih mengenyangkan,” katanya sambil tersenyum. Kini, olahan jewawut yang dijualnya di pasar lokal mendapat sambutan hangat. Ia bahkan mulai menerima pesanan dari restoran-restoran besar yang ingin menampilkan menu khas Bali. Bukan hanya di tingkat komunitas, pelestarian pangan lokal juga memanfaatkan media sosial. Generasi muda mulai membagikan resep tradisional dengan tampilan modern. Dari Instagram hingga TikTok, konten kreatif seperti video memasak atau vlog pertanian menjadi salah satu cara efektif untuk menarik perhatian. Salah satu tren populer adalah “tantangan memasak lokal”, di mana pengguna media sosial berlomba-lomba menciptakan hidangan dari bahan-bahan tradisional dengan sentuhan kontemporer.
Peran pemerintah juga krusial. Program Diversifikasi Pangan Nasional adalah langkah awal, meskipun implementasinya masih perlu ditingkatkan. “Edukasi harus dimulai dari sekolah dasar,” kata Bu Ningsih. “Jika tidak, kita akan kehilangan generasi yang menghargai keanekaragaman hayati.” Beberapa pemerintah daerah telah mengambil langkah konkret. Di Nusa Tenggara Timur, misalnya, pemerintah mulai memasukkan pangan lokal dalam program bantuan sosial. Langkah ini diharapkan mendorong masyarakat untuk lebih mengandalkan tanaman lokal yang tahan terhadap cuaca ekstrem. Di Sulawesi Selatan, kebijakan serupa juga diterapkan dengan mendorong penggunaan sagu sebagai bahan utama makanan dalam kegiatan resmi pemerintah.
Namun, kebijakan saja tidak cukup. Diperlukan sinergi antara pemerintah, komunitas, dan sektor swasta. Misalnya, kolaborasi antara petani lokal dengan perusahaan makanan dapat membuka pasar baru untuk produk berbasis pangan lokal. Salah satu contoh adalah inisiatif yang dilakukan di Jawa Tengah, di mana petani sorgum bekerja sama dengan produsen makanan ringan untuk menciptakan camilan berbasis sorgum yang ramah anak-anak. Produk ini kini mulai memasuki pasar swalayan besar di Indonesia.
Langit mulai memerah ketika Pak Nando pulang ke rumah. Di meja makan, istrinya sudah menyiapkan nasi sorgum dengan lauk ikan asin dan sambal matah. “Ini makanan sederhana, tapi penuh arti,” katanya. “Kami tidak lagi tergantung pada beras mahal.” Pak Nando memandang sorgum sebagai lebih dari sekadar tanaman. Ia adalah simbol kemandirian. “Suatu hari, saya berharap sorgum bisa menjadi makanan utama di Indonesia,” harapnya. Dengan tekad seperti itu, ia percaya bahwa masa depan bisa lebih cerah, tidak hanya untuk keluarganya, tetapi juga untuk generasi berikutnya.
Malam itu, di bawah langit berbintang, Pak Nando merenungkan perjalanan panjang yang masih harus ditempuh. “Kalau kita bisa melestarikan pangan lokal, kita bukan hanya menjaga tanah ini,” gumamnya pelan. “Kita menjaga cerita, menjaga kehidupan.” Optimisme Pak Nando mewakili harapan ribuan petani di seluruh Nusantara yang bekerja keras untuk menjaga warisan pangan lokal. Dari Sabang hingga Merauke, dari Flores hingga Bali, semangat untuk melestarikan kekayaan alam Indonesia terus tumbuh. Dengan dukungan dari berbagai pihak, mimpi tentang kedaulatan pangan berbasis keanekaragaman hayati mungkin suatu hari akan menjadi kenyataan.
Setiap langkah kecil yang diambil untuk melestarikan pangan lokal adalah bagian dari perjalanan panjang menuju masa depan yang lebih mandiri. Dari desa-desa kecil di pelosok hingga gedung-gedung perkantoran di kota besar, semangat ini mulai menjalar, menggerakkan hati dan pikiran banyak orang. Bukan hanya soal mempertahankan tradisi, melainkan soal memastikan bahwa bumi ini tetap subur, seimbang, dan berkelanjutan bagi generasi yang akan datang. Kekayaan alam Indonesia adalah anugerah, dan menjaganya adalah tanggung jawab bersama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H