Mohon tunggu...
Ripan
Ripan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa di Universitas Pendidikan Indonesia

Di tengah dunia yang berputar cepat, saya adalah penjelajah kata dan perasaan. Saya menulis untuk menghidupkan kembali kenangan indah dan menciptakan pelangi dari kata-kata. Bergabunglah dengan saya dalam perjalanan menemukan keindahan dalam setiap detik dan momen kehidupan. 📖✍️

Selanjutnya

Tutup

Worklife

Pengorbanan yang Tak Terlihat: Perjalanan Seorang Pahlawan di Balik Layar

4 November 2024   23:54 Diperbarui: 5 November 2024   01:13 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Di tengah lelah yang membunuh, senyuman pasien sembuh menjadi cahaya yang terus menguatkan. (pixabay.com/sasint)

“Apakah kamu masih percaya bahwa manusia selalu ada untuk satu sama lain?” tanya dokter muda bernama Rizky sambil menatap bayangan dirinya di cermin ruang ganti. Wajahnya penuh guratan lelah, kantung matanya menghitam seperti jejak kegelapan yang terus mengikutinya. Pekerjaan ini, pikirnya, tidak pernah hanya tentang menyelamatkan nyawa, tetapi juga tentang merelakan nyawanya sendiri, sedikit demi sedikit, terkikis tanpa pernah ada yang tahu.

Rizky, yang berusia 32 tahun, adalah seorang dokter yang baru saja menyelesaikan shift malamnya di ruang gawat darurat. Pikirannya terpecah antara kenangan masa kecil bersama keluarganya dan realitas saat ini, di mana ia lebih sering berbicara dengan pasien daripada dengan ibunya sendiri. Sejak kecil, Rizky ingin menjadi pahlawan. Dia membayangkan mengenakan jubah merah, bukan jas putih, tetapi ternyata nasibnya menuntunnya untuk berdiri di ruangan dingin penuh bau antiseptik dan bukan di atas panggung kemenangan. Dunia Rizky adalah dunia yang berputar begitu cepat, seolah-olah detik tidak pernah menunggu. Bayangkan saja, saat alarm berbunyi dan sebuah kasus darurat datang, waktu seperti musuh yang terus mengejar. Tangannya tidak pernah berhenti bergerak, merawat, menyelamatkan, dan berjuang. Tapi di balik semua itu, siapa yang peduli tentang hatinya yang semakin letih? Malam-malam panjang tanpa tidur telah menjadi teman setia Rizky, seolah-olah kelelahan adalah satu-satunya bahasa yang ia tahu.

Saat hari berganti malam, Rizky kembali mengingat hari di mana pandemi pertama kali mengguncang negeri ini. Waktu itu, berita virus yang menyebar cepat seperti kabut gelap yang menutupi kota. Orang-orang mulai mengenakan masker, menjaga jarak, dan dunia seperti melambat. Namun bagi Rizky dan rekan-rekannya, dunia justru semakin bergerak cepat, penuh dengan keputusasaan yang tiada habisnya. "Waktu itu seperti mimpi buruk yang tak pernah berakhir," kenangnya, tatapan matanya menembus dinding kamar istirahat yang sunyi.

Rizky bercerita tentang bagaimana dia harus tinggal jauh dari orang tuanya yang sudah tua. "Ibu sering bertanya, kapan aku pulang. Tapi apa yang bisa kukatakan padanya?" tanyanya dengan getir. Ia sadar, membawa pulang virus yang berbahaya bisa menjadi ancaman bagi mereka yang paling ia cintai. Jadi, dia memilih kesepian sebagai sahabat, merelakan hangatnya keluarga demi melindungi nyawa banyak orang. Panggilan jiwa, begitu ia menyebut profesinya. Namun, panggilan itu datang dengan harga yang begitu mahal. Di saat orang-orang mulai bosan karena harus berdiam diri di rumah, Rizky justru sibuk berlari dari satu pasien ke pasien lainnya, mencoba menahan detik-detik yang terasa begitu cepat. Tangisan, jeritan, dan perpisahan menjadi musik yang selalu mengiringi langkahnya. Pernah, suatu malam, ia harus menjadi orang terakhir yang menyaksikan seorang pria tua menghembuskan napas terakhirnya. "Tidak ada yang lebih menyakitkan daripada melihat seseorang pergi tanpa ada yang menggenggam tangannya," katanya, suara yang berat dan rapuh. Tapi di dunia Rizky, perpisahan seperti itu telah menjadi hal yang biasa.

Mungkin Anda bertanya-tanya, mengapa Rizky tetap bertahan? Bukankah ada saat-saat di mana ia ingin menyerah, membuang jas putihnya, dan mencari kehidupan yang lebih tenang? “Tentu saja, ada saat seperti itu,” ujarnya sambil menatap jendela rumah sakit yang penuh embun. Namun, di setiap kelelahan, Rizky selalu mengingat momen-momen kecil yang membuatnya merasa hidup. Seperti ketika seorang anak kecil, yang sembuh dari penyakit parah, memeluknya erat dan berkata, “Terima kasih, Om Dokter.” Atau saat seorang ibu berbisik penuh haru, “Anda telah memberi saya keajaiban.”

Di tengah lelah yang membunuh, senyuman pasien sembuh menjadi cahaya yang terus menguatkan. (pixabay.com/sasint)
Di tengah lelah yang membunuh, senyuman pasien sembuh menjadi cahaya yang terus menguatkan. (pixabay.com/sasint)
Kisah Rizky hanyalah satu dari ribuan kisah tenaga medis yang setiap harinya berperang melawan ketidakpastian. Mereka adalah lilin yang terus menyala, meski harus membakar diri sendiri demi memberi cahaya pada dunia. Perawat, dokter, dan petugas medis lainnya selalu berdiri tegak, tak peduli seberapa berat beban yang harus mereka pikul. Namun, pernahkah kita bertanya, apa yang harus mereka korbankan untuk tetap berdiri? Di balik seragam putih mereka, ada cerita yang tak pernah terungkap. Seorang perawat bernama Maya, misalnya, sering kali melewatkan momen-momen berharga bersama putranya. "Aku masih ingat betapa sedihnya saat anakku menelepon dan bertanya kapan aku pulang," cerita Maya dengan suara bergetar. Anak kecil itu, yang seharusnya bermain dan tertawa riang, harus tumbuh tanpa kehadiran ibunya yang sibuk menyelamatkan nyawa orang lain. Kadang-kadang, Maya hanya bisa memandangi foto keluarganya di layar ponsel, berusaha menahan tangis yang hampir pecah. Tapi dia tahu, pekerjaan ini bukan sekadar tentang dirinya. "Kami adalah penghubung antara kehidupan dan kematian," ujarnya, dan kalimat itu terngiang seperti mantra yang ia ulang setiap hari.

Seiring berjalannya waktu, pengorbanan mereka semakin terasa berat. Banyak dari mereka yang harus berhadapan dengan kelelahan fisik yang luar biasa. Menurut data dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), lebih dari 70% tenaga medis di dunia mengalami kelelahan mental yang parah. Di Indonesia, situasinya semakin memprihatinkan. Beban kerja yang tinggi, minimnya waktu istirahat, dan tekanan emosional yang tak pernah mereda menjadi racun yang pelan-pelan menggerogoti mereka. Rizky mengaku bahwa ada malam-malam di mana ia tidak bisa tidur karena terus memikirkan pasien yang tidak bisa ia selamatkan. "Itu seperti beban yang terus menghantui," katanya dengan wajah muram.

Namun, apa yang membuat cerita mereka begitu menyentuh bukan hanya tentang pengorbanan yang mereka berikan, tetapi juga tentang keindahan kecil yang mereka temukan dalam setiap perjuangan. Seperti ketika Maya, di tengah kelelahan yang membunuh, menemukan kekuatan dalam senyuman seorang pasien yang sembuh. "Aku belajar bahwa hidup ini penuh dengan keajaiban, meski terkadang kita harus melewati kegelapan untuk menemukannya," ujar Maya, dan suaranya dipenuhi oleh harapan yang tak pernah padam.

Di dunia yang terus bergerak ini, kita sering lupa untuk memberi apresiasi yang pantas bagi mereka. Ucapan terima kasih, meski berarti, tidak cukup untuk menggantikan momen-momen berharga yang mereka korbankan. Kita harus mulai berpikir tentang cara yang lebih konkret untuk mendukung mereka. Pemerintah, misalnya, bisa membangun kebijakan yang lebih ramah bagi tenaga medis. Cut-off jam kerja yang manusiawi, cuti yang lebih fleksibel, dan pelatihan pengelolaan stres bisa menjadi langkah awal yang sangat berarti. Rizky berharap, suatu hari nanti, ia bisa mengambil cuti untuk menghadiri pernikahan adiknya, sebuah acara yang telah lama ia rindukan. "Aku hanya ingin merasa seperti manusia biasa, walaupun hanya sehari," katanya dengan senyum kecil. Tentu saja, apresiasi tidak hanya datang dari pemerintah. Kita, sebagai masyarakat, juga harus berperan. Penghargaan tidak harus berbentuk besar. Terkadang, sebuah senyuman hangat, atau ucapan "Terima kasih" dengan penuh ketulusan, bisa memberi mereka kekuatan untuk terus melangkah. "Kami tidak butuh panggung besar atau penghargaan," ujar Rizky dengan rendah hati. "Cukup tahu bahwa apa yang kami lakukan berarti bagi seseorang, itu sudah cukup."

Dan di tengah semua cerita ini, satu hal yang selalu menginspirasi Rizky untuk terus melangkah adalah janji yang ia buat kepada dirinya sendiri. Janji bahwa ia akan terus menjadi jembatan antara kehidupan dan kematian, tidak peduli seberapa berat jalannya. Mungkin, di suatu tempat di dunia ini, ada seseorang yang bisa terus hidup karena pengorbanannya. Itu, baginya, adalah alasan untuk terus maju.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun