Mohon tunggu...
Ripan
Ripan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa di Universitas Pendidikan Indonesia

Di tengah dunia yang berputar cepat, saya adalah penjelajah kata dan perasaan. Saya menulis untuk menghidupkan kembali kenangan indah dan menciptakan pelangi dari kata-kata. Bergabunglah dengan saya dalam perjalanan menemukan keindahan dalam setiap detik dan momen kehidupan. 📖✍️

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Apa yang Tidak Diketahui Banyak Orang Tentang Ketahanan Pangan Indonesia

4 November 2024   00:01 Diperbarui: 4 November 2024   00:29 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bila bicara tentang makanan, apa yang pertama muncul di benakmu? Mungkin aroma nasi hangat dari panci, harum dan menggoda, membangkitkan rasa nyaman seperti pelukan yang kita rindukan di tengah hari yang sibuk. Atau bayangkan mangkuk buah tropis, perpaduan warna-warnanya seperti lukisan alam yang dihidangkan di depan kita, memperdaya semua indera dengan keindahan visual dan rasa manis yang segar. Tetapi, lebih dari sekadar kenikmatan inderawi, makanan adalah cerminan bumi yang menopang kehidupan, jejak kasihnya yang meresap jauh ke dalam akar, menghubungkan manusia dengan alam semesta. Makanan adalah narasi kompleks tentang tanah yang kita pijak, air yang kita minum, dan angin yang membawa aroma subur dari ladang yang makmur.

Sayangnya, masa depan ketahanan dan keanekaragaman pangan di Indonesia sedang menghadapi ancaman serius. Ini bukan isu abstrak yang bisa disingkirkan atau diabaikan; ini adalah kenyataan yang mengintai di depan mata kita, dan kita tidak bisa hanya duduk berpangku tangan. Mari kita bayangkan sebuah desa, dikelilingi ladang hijau yang luasnya bagai permadani, di mana panen seharusnya membawa senyuman. Namun, yang kita temui justru petani dengan wajah gelisah, matanya redup menatap tanah yang kian meranggas. Ini bukan dongeng atau karangan cerita, melainkan potret getir realitas yang harus kita hadapi. Kita hidup dalam paradoks yang membingungkan: negeri yang dikatakan kaya akan anugerah alam, namun masih menyisakan jerit lapar dan air mata anak-anak yang kekurangan gizi.

Di sinilah relevansi “Forum Bumi yang diselenggarakan Yayasan Kehati dan National Geographic Indonesia” muncul seperti seberkas cahaya yang menembus kabut ketidakpastian. Dalam forum ini, para pemikir, pegiat lingkungan, dan mereka yang mencintai bumi berkumpul untuk merancang masa depan yang lebih adil dan berkelanjutan. Ada kesadaran mendalam bahwa ketahanan pangan bukan hanya soal cukup atau tidaknya makanan, melainkan tentang bagaimana kita menghormati dan memanfaatkan sumber daya dengan bijak.

Buah segar dari zambrud khatulistiwa , simbol kekayaan alam yang harus kita lestarikan. (pixabay.com/MakaraEk)
Buah segar dari zambrud khatulistiwa , simbol kekayaan alam yang harus kita lestarikan. (pixabay.com/MakaraEk)

Negeri kita yang luas ini, sering disebut sebagai negeri seribu pulau, tersohor akan keanekaragaman hayatinya yang mengagumkan. Tanah kita menampung lebih dari 5.529 jenis tanaman pangan, sumber daya luar biasa yang seolah menjadi simfoni alam, memainkan irama kehidupan yang tiada henti. Aku ingin kau membayangkan peta Indonesia yang penuh warna: ladang sorgum di Nusa Tenggara, hutan sagu yang menjulang di Papua, kebun sayur segar di dataran tinggi Sumatra yang dihiasi kabut pagi. Semua ini bernafas, menawarkan janji harapan, tetapi sayangnya janji itu kerap terperangkap dalam batas-batas sistem yang kaku, yang memiskinkan keanekaragaman menjadi sekadar pilihan sempit yang mematikan kreativitas.

Ketergantungan kita yang berlebihan pada beras sebagai satu-satunya sumber pangan telah mengubah ketahanan pangan menjadi titik rawan. Mari dengarkan bisikan angin dari petani-petani di Jawa Barat. Mereka berbisik tentang tanah yang merintih akibat input kimia berlebihan, bahan-bahan yang seharusnya menyuburkan tetapi justru mempercepat degradasi. Setiap bulir padi yang tumbuh adalah kisah perjuangan, diceritakan oleh tangan yang lelah namun masih penuh harapan. Ironisnya, lahan-lahan itu kini memasuki status yang dikhawatirkan tidak berkelanjutan. Statistik, seperti biasa, tak pernah berdusta: 89,54% lahan pertanian di Indonesia sedang menunggu keajaiban, dan keajaiban itu tidak bisa diandalkan selamanya.

Kita juga tidak bisa mengabaikan perubahan iklim yang semakin menggila, mengirim badai, banjir, dan kekeringan yang tak terduga, memukul mundur harapan petani. Apa yang terjadi saat bumi marah, saat cuaca berubah menjadi musuh tak terlihat, namun terasa dalam setiap bulir peluh yang menetes dari dahi petani? Perubahan ini bukan hanya angka-angka di laporan ilmiah; ini adalah kenyataan pahit yang harus kita hadapi dengan serius.

Aku teringat satu sore, Puji Sumedi Hanggarawati, seorang ahli dari Yayasan KEHATI, berdiri di depan mikrofon dalam Forum Bumi. Ia berbicara tentang hal-hal yang mungkin terdengar klise bagi telinga kita, seperti pentingnya kembali ke akar, memanfaatkan sumber daya lokal. Tetapi mari kita menggali lebih dalam kalimat itu. Aku ingin kau membayangkan sagu di Papua. Tak hanya sekadar pohon, sagu adalah bagian dari budaya, bahkan identitas yang diwariskan turun-temurun. Tradisi di sana hidup dengan napas yang masih terjaga, di mana setiap marga mengelola hutan sagu dengan cinta, dengan aturan adat yang diwariskan oleh nenek moyang mereka. Tidakkah kita bisa melihat betapa agungnya ini, betapa kayanya warisan yang selama ini kita abaikan?

Sagu bukan sekadar karbohidrat yang dapat mengisi perut kosong. Ia adalah simbol kehidupan yang bersahaja namun tak tergoyahkan, sebuah pelajaran tentang ketahanan dan harmoni. Bayangkan dunia modern yang tiba-tiba memandang sagu dengan penghargaan baru. Bagaimana jika sagu menjadi bagian dari solusi kita menghadapi krisis pangan yang terus mendekat? Namun, perubahan cara konsumsi adalah tugas berat yang harus kita pikul bersama. Kita masih terpaku pada beras, seakan-akan menaruh semua telur dalam satu keranjang rapuh, tanpa benar-benar memahami betapa berbahayanya ini. Ketergantungan ini mengancam ekosistem dan kearifan lokal yang seharusnya menjadi kebanggaan, bukan sekadar catatan sejarah.

Namun, ancaman terhadap ketahanan pangan tidak berhenti pada pilihan makan kita yang monoton. Perubahan iklim, musuh yang tak terlihat, terus menjadi teror yang mengintai. Bayangkan kekacauan yang terjadi saat musim panen menjadi teka-teki, hasil pertanian yang bergantung pada irama alam tiba-tiba terhenti. Ifan Martino dari Bappenas pernah mengingatkan dalam diskusi bahwa kita harus merangkul model pertanian regeneratif, yang mampu menyembuhkan luka tanah yang selama ini terabaikan. Aku ingin kau membayangkan pertanian presisi, di mana data mengatur ladang dengan harmoni seperti maestro mengatur simfoni, setiap unsur alam bekerja sama untuk hasil yang seimbang dan berkelanjutan.

Namun, kita tidak bisa melupakan hati masyarakat yang terlibat. Teknologi canggih tak akan banyak berarti jika kita tidak merangkul para petani, terutama perempuan di desa yang sering kali menjadi pilar ketahanan pangan. Mereka, yang bekerja di dapur dan di kebun kecil, sering kali diabaikan dalam perbincangan besar tentang solusi pertanian. Padahal, mereka adalah pelaku penting yang memastikan keluarga tetap kenyang, meski dengan sumber daya yang terbatas. Tanpa mereka, mimpi besar tentang ketahanan pangan hanya akan menjadi angan-angan kosong.

Ketika membicarakan pola makan kita, yang terlalu terfokus pada nasi, aku teringat laporan dari Badan Pangan Nasional. Diet orang Indonesia terlalu miskin variasi, dominasi nasi yang tak tertandingi. Nasi ada di setiap meja makan, seolah-olah menjadi tanda cinta yang terlalu dalam, tetapi cinta ini bisa menjadi sumber masalah jika tidak diseimbangkan dengan variasi yang lebih sehat. Kita harus membayangkan revolusi, bukan sekadar evolusi, dalam kebiasaan makan kita. Beras tidak akan pernah hilang, tetapi apakah ia harus terus menjadi raja yang tak tergantikan?

Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) adalah secercah harapan di tengah gelap. Ada dorongan untuk diversifikasi pangan dan memperkuat ekoregion. Aku ingin kau membayangkan masa depan di mana setiap wilayah Indonesia mengelola sumber daya sesuai karakter ekosistemnya, menciptakan simfoni harmonis antara manusia dan alam, tanpa ketergantungan pada impor yang menjadi ancaman bagi kedaulatan pangan kita. Model ekoregion ini harus kita lihat sebagai pelengkap, bukan pengganti, yang merangkul kearifan lokal sebagai panglima yang memimpin perubahan.

Tapi aku tak ingin kau membayangkan pemerintah bekerja sendirian. Peran masyarakat, terutama kaum muda, adalah kunci. Lihatlah semangat anak-anak muda di Nusa Tenggara Timur yang memulai rumah produksi sorgum. Ini bukan semata-mata karena nostalgia, tetapi karena mereka tahu sorgum bisa bertahan di iklim kering dan membawa janji keberlanjutan. Sorgum bukan sekadar tanaman, melainkan simbol perlawanan terhadap keterbatasan. Sebuah pernyataan bahwa, meskipun menghadapi tantangan besar, kita masih memiliki pilihan yang dapat menyelamatkan masa depan kita.

Namun, perjalanan menuju ketahanan pangan sejati tidak akan mulus. Konflik lahan dan penggusuran adalah duri dalam daging yang terus menyakiti kita. Lahan pertanian, terutama yang digarap oleh petani kecil, menjadi rebutan dalam pergulatan antara kebutuhan pembangunan dan kelangsungan hidup mereka. Kita sering terjebak dalam argumen klasik antara pertumbuhan ekonomi dan kelestarian lingkungan, seolah-olah keduanya tidak bisa berjalan seiring. Tetapi, bukankah tugas kita adalah mencari jalan tengah yang seimbang?

Petani merupakan garda terdepan dalam menjaga keberlanjutan pangan Indonesia. (unsplash.com/Nandhu Kumar)
Petani merupakan garda terdepan dalam menjaga keberlanjutan pangan Indonesia. (unsplash.com/Nandhu Kumar)
Kita harus mengangkat kisah para pahlawan tak dikenal: petani yang melawan korporasi besar, penjaga hutan adat yang menjaga ekosistem dengan nyawa sebagai taruhannya, dan perempuan-perempuan tangguh yang terus merawat tanah meski keringat mereka tak dihargai. Bayangkan kita sebagai narator cerita besar ini, menyusun babak demi babak yang penuh dengan harapan dan tantangan.

Aku teringat kembali momen dalam Forum Bumi. Sebuah pertanyaan yang terus terngiang: “Apa yang bisa kita lakukan untuk melindungi bumi dan keberlanjutan hidup?” Jawabannya tidak pernah mudah, tetapi aku percaya kita semua punya peran. Mari kita tidak hanya menonton, tetapi bertindak dengan hati dan pikiran yang terbuka. Kita adalah penjaga tanah ini, bukan penguasa, dan makanan kita harus mencerminkan rasa hormat pada bumi yang telah memberkahi kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun