Namun, kita tidak bisa melupakan hati masyarakat yang terlibat. Teknologi canggih tak akan banyak berarti jika kita tidak merangkul para petani, terutama perempuan di desa yang sering kali menjadi pilar ketahanan pangan. Mereka, yang bekerja di dapur dan di kebun kecil, sering kali diabaikan dalam perbincangan besar tentang solusi pertanian. Padahal, mereka adalah pelaku penting yang memastikan keluarga tetap kenyang, meski dengan sumber daya yang terbatas. Tanpa mereka, mimpi besar tentang ketahanan pangan hanya akan menjadi angan-angan kosong.
Ketika membicarakan pola makan kita, yang terlalu terfokus pada nasi, aku teringat laporan dari Badan Pangan Nasional. Diet orang Indonesia terlalu miskin variasi, dominasi nasi yang tak tertandingi. Nasi ada di setiap meja makan, seolah-olah menjadi tanda cinta yang terlalu dalam, tetapi cinta ini bisa menjadi sumber masalah jika tidak diseimbangkan dengan variasi yang lebih sehat. Kita harus membayangkan revolusi, bukan sekadar evolusi, dalam kebiasaan makan kita. Beras tidak akan pernah hilang, tetapi apakah ia harus terus menjadi raja yang tak tergantikan?
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) adalah secercah harapan di tengah gelap. Ada dorongan untuk diversifikasi pangan dan memperkuat ekoregion. Aku ingin kau membayangkan masa depan di mana setiap wilayah Indonesia mengelola sumber daya sesuai karakter ekosistemnya, menciptakan simfoni harmonis antara manusia dan alam, tanpa ketergantungan pada impor yang menjadi ancaman bagi kedaulatan pangan kita. Model ekoregion ini harus kita lihat sebagai pelengkap, bukan pengganti, yang merangkul kearifan lokal sebagai panglima yang memimpin perubahan.
Tapi aku tak ingin kau membayangkan pemerintah bekerja sendirian. Peran masyarakat, terutama kaum muda, adalah kunci. Lihatlah semangat anak-anak muda di Nusa Tenggara Timur yang memulai rumah produksi sorgum. Ini bukan semata-mata karena nostalgia, tetapi karena mereka tahu sorgum bisa bertahan di iklim kering dan membawa janji keberlanjutan. Sorgum bukan sekadar tanaman, melainkan simbol perlawanan terhadap keterbatasan. Sebuah pernyataan bahwa, meskipun menghadapi tantangan besar, kita masih memiliki pilihan yang dapat menyelamatkan masa depan kita.
Namun, perjalanan menuju ketahanan pangan sejati tidak akan mulus. Konflik lahan dan penggusuran adalah duri dalam daging yang terus menyakiti kita. Lahan pertanian, terutama yang digarap oleh petani kecil, menjadi rebutan dalam pergulatan antara kebutuhan pembangunan dan kelangsungan hidup mereka. Kita sering terjebak dalam argumen klasik antara pertumbuhan ekonomi dan kelestarian lingkungan, seolah-olah keduanya tidak bisa berjalan seiring. Tetapi, bukankah tugas kita adalah mencari jalan tengah yang seimbang?
Kita harus mengangkat kisah para pahlawan tak dikenal: petani yang melawan korporasi besar, penjaga hutan adat yang menjaga ekosistem dengan nyawa sebagai taruhannya, dan perempuan-perempuan tangguh yang terus merawat tanah meski keringat mereka tak dihargai. Bayangkan kita sebagai narator cerita besar ini, menyusun babak demi babak yang penuh dengan harapan dan tantangan.
Aku teringat kembali momen dalam Forum Bumi. Sebuah pertanyaan yang terus terngiang: “Apa yang bisa kita lakukan untuk melindungi bumi dan keberlanjutan hidup?” Jawabannya tidak pernah mudah, tetapi aku percaya kita semua punya peran. Mari kita tidak hanya menonton, tetapi bertindak dengan hati dan pikiran yang terbuka. Kita adalah penjaga tanah ini, bukan penguasa, dan makanan kita harus mencerminkan rasa hormat pada bumi yang telah memberkahi kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H