Wacana Pelabelan BPA dari BPOM masih menimbulkan polemik di masyarakat. Padahal wacana pelabelan BPA pada galon berbahan polikarbonat ini mendapat penolakan banyak pakar dan ahli dari berbagai bidang. Salah satu pakar yang keras menolak pelabelan BPA ini adalah pakar polimer dari Institut Teknologi Bandung (ITB) DR Ir Akhmad Zainal Abidin yang menyampaikan pandangan bahwa dirinya merasa wacana pelabelan BPA ini tidak diperlukan, karena BPOM sudah memiliki peraturan yang mengatur kandungan zat kimia untuk kemasan pangan pada peraturan BPOM no 20 tahun tahun 2019 tentang kemasan pangan. Menurut Zainal peraturan tersebut sudah lebih cukup dan sangat komprehensif mengatur ambang batas dari pengunaan zat kima untuk kemasan pangan sekaligus menjadi standar kelayakan kemasan pangan itu sendiri.
Akhmad Zainal menambahkan bahwa sejatinya semua zat kimia itu berbahaya dan berpotensi menimbulkan bahaya jika digunakan melebihi ambang batasnya. Tidak hanya BPA, zat kimia yang digunakan sebagai prekusor untuk membuat botol atau galon plastik PET yang sekali pakai itu pun berpotensi membahayakan karena prekusor yang dipakai salah satunya adalah zat kimia etilen glikol yang disebut beracun serta bdapat menyerang system saraf pusat, jantung dan menyebabkan gagal ginjal.
Senada dengan Akhmad Zainal, peneliti Senior SEAFAST IPB Prof Purwiyanto Hariyadi melihat upaya wacana pelabelan BPA pada galon polikarbonat ini masih belum jelas tujuannya, karena Peraturan BPOM No 20 Tahun 2019 tentang pelabelan sudah sangat jelas. Pun jika memang sudah melewati ambang batas dan berbahaya maka sebenarnya menurut Prof Purwiyanto seharusnya produk tersebut langsung ditarik saja tiak perlu dilabeli.
Dr. Hermawan Saputra, SKM, MARS., CICS pakar Kesehatan masyarakat Universitas Muhammdiyah Prof. Dr. HAMKA (UHAMKA) yang juga termasuk dalam Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat pun bersuara mengenai wacana Pelabelan BPA ini. Ia menjelaskan bahwa jika pelabelan BPA menjadi suatu keharusan dan memiliki urgensi untuk diterapkan maka suatu keharusan pula kebijakan ini berlandaskan dan atau sudah ada evidence based-nya atau bukti bahwa AMDK galon guna ulang berbahan polikarbonat itu sudah menganggu aspek Kesehatan. Ia juga mengatakan jika belum ada maka tidak perlu BPOM membuat masyarakat panik dan memaksakan kebijakan yang menimbulkan pro dan kontra serta menganggu iklim persaingan usaha.
Ditengah maraknya penolakan para pakar terhadap pelabelan BPA dan kesan dipaksakannya wacana pelabelan ini oleh BPOM, ternyata media pemberitaan juga menyumbang peran terhadap perpanjangan polemik ini. Bagaimana tidak, semenjak keluarnya wacana ini pemberitaan di media massa baik media mainstream, nasional maupun local seakan serampangan dalam memberikan pemberitaan baik dari segi substansi isu maupun mengutip narasumber atau berita yang dibuat. Contoh paling jelas adalah berita terbaru yang ditayangkan oleh tempo.co berjudul "Bisnis AMDK Kemasan Galon Unregulated Industry" pada Senin 5 Desember 2022, pada tulisan tersebut ada satu kutipan penelitian A Guart dkk dari Department of Environmental Chemistry, Institute of Environmental Assessment and Water Research, Barcelona, Spanyol yang dilakukan pada tahun 2011 mengenai potensi migrasi plasticizer yang salah satunya adalah BPA. Pada kutipan tersebut Tempo hanya menjelaskan bahwa BPA satu-satunya jenis zat kimia yang signifikan mengalami migrasi tanpa menjelaskan lebih mendetil daripada hasil penelitian tersebut.
Hal yang dilakukan oleh Tempo dalam melakukan kutipan terhadap beritanya jelas berpotensi menyebabkan penggiringan opini kepada hal yang tidak lengkap atau utuh. Selain itu juga berpotensi menyebabkan kesalahpahaman terhadap topik penelitian dan isu serta jika dikontekskan kedalam wacana pelabelan tentu dapat memperkeruh polemik. Penulis melakukan cek ulang terhadap kutipan hasil penelitian yang disebut Tempo.co dalam beritanya dengan menelusuri sumber informasi penelitian A Guart dkk. Hasilnya sama sekali berbeda dengan apa yang coba digambarkan dalam tulisan.Â
Penelitian ini mengambil sampel botol AMDK (bukan galon) dan botol bayi. Metode pengujian adalah dengan memanaskan obyek penelitian dibawah sinar matahari 40 C selama 10 hari (suhu rata2 di Indonesia adalah 28 - 36 C terpanas, jarang sekali sampai 40 ) jadi tentu saja reaksi kimia akan keluar dalam kondisi atau treatmen khusus dalam rangka penelitian. Hal lainnya adalah obyek penelitiannya adalah binatang (sebutkan) bukan pada manusia. Hal ini penting disampaikan agar masyarakat tau bahwa dampak BPA pada manusia masih belum dapat disimpulkan karena banyak peneliti di berbagai negara mengalami kesulitan mendapatkan obyek penelitian manusia (bayi-bayi).
Temuan lain dari penelitian ini yang tidak hanya melihat kandungan BPA adalah sebagai berikut :
- Secara umum penelitian ini mengatakan bahwa cemaran pada plastic terhadap makanannya dapat terjadi Ketika kemasan tersebut dijemur selama 10 hari dibawah 40 derajat celcius
- Kemasan plastic dengan kandungan lemak lebih berpotensi mengalami migrasi dan kontaminasi ketimbang air minum
- Â Dari semua polimer termasuk BPA tidak ada satupun yang melewati ambang batas aman dari otoritas internasional terkait penggunaan bahan dan migrasinya dengan kontak pangan.
- BPA dan NP terbukti baik dalam meningkatkan kualitas plastic selama dibawah ambang batas
- Penggunaan BPA pada kemasan dan ambang batasnya selama tahun 2002 - 2007 menurun drastis selaras dengan tren positif terhadap informasi bahaya BPA
- Â Terdapat perbedaan TDI pada BPA dilihat dari factor tempat atau wilayah serta Waktu konsumsinya
- BPA tidak mengaktifkan reseptor estrogen dan tidak menimbulkan efek estrogenic
- Kesimpulan penelitian ini adalah dari penelitian ditemukan bahwa tingkat toksisitas BPA tergolong rendah dan aman
- Penelitian ini berkesimpulan perlu adanya penelitian lebih lanjut dan komprehensif karena kekhawatiran BPA lebih kepada adanya BPA pada seluruh kandungan Plastik (kebanyakan plastic juga menggunakan PC) walaupun Tidak pernah melewati TDI nya
Mengingat bahwa media memiliki fungsi sosial untuk memberikan informasi yang benar kepada masyarakat, maka diharapkan ketelitian dan kejujuran dalam mengutip isi dan sumber berita menjadi sangat penting. Khususnya hasil penelitian ilmiah. Jangan sampai media justru menjadi alat dari kepentingan tententu yang dapat mencederai kepetingan publik.
Selain itu juga agar tidak menciderai etika serta prinsip-prinsip jurnalistik yang sehat dan benar. Sehingga masyarakat terutamanya dapat melihat berita pelabelan ini lebih objektif dan tidak melulu khawatir terlebih dengan isu-isu mengenai Kesehatan dan keamanan pangan yang senantiasa membersamai wacana pelabelan BPA ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H