Serta menerapkan kemasan galon lain dengan label tidak berpotensi mengandung BPA. Hal ini sudah jelas salah paham. Jelas sudah galon non polikarbonat tidak akan mendapat label berpotensi BPA karena memang zat pembentuk bahan plastiknya memang bukan BPA melainkan zat kimia lain. Semisal galon PET dengan zat pembentuknya adalah etilen glikol dan antimon. Jelas tentu tidak akan berlaku label tersebut.
Cacat logika selanjutnya yang jauh lebih substantif dari kebijakan ini adalah alasan BPOM yang ingin melindungi masyarakat, sehingga ditetapkannya lah pelabelan BPA ini. Tapi, faktanya bahwa tidak hanya galon guna ulang saja yang mengandung zat kimia dalam kemasan pangannya. Kemasan pangan lainya itu juga mayoritas terbentuk dari zat kimia yang sama-sama mempunyai resiko bahaya. Tidak hanya BPA namun non-BPA pun demikian. Â Sebagai contoh yang mirip dan paling dekat dengan AMDK galon guna ulang adalah etilen glikol dan antimon yang menjadi bahan pembuat galon sekali pakai berbahan PET.
Mengulas kebijakan pelabelan BPA ini tentu seperti yang sudah dituliskan yaitu perlu adanya pertimbangan melalui prinsip good regulatory. Prinsip good regulatory sendiri dalam konteks ini telah dipaparkan oleh Prof. Dr. Ir Purwiyatno Hariyadi M.Sc Seorang peneliti senior Seafast Center LPPM IPB. Beliau mengatakan bahwa regulasi keamanan pangan dapat dikatakan diskriminatif jika diberlakukan pada satu produk saja. Bahkan menurutnya, hal tersebut dapat menyebabkan tujuan dari kebijakan yang mau dibuat itu tidak tercapai. Maka jelas apa yang diwacanakan BPOM adalah sebuah hal yang tidak perlu dan tidak dibutuhkan serta diskriminatif.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H