Mohon tunggu...
Rio WibiS
Rio WibiS Mohon Tunggu... Guru - Mahasiswa

Lulus kuliah dari Unnes Semarang

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Gedung Pakuwon: Saksi Bisu Perjanjian Salatiga

18 Oktober 2022   23:20 Diperbarui: 18 Oktober 2022   23:29 1205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Salatiga merupakan sebuah kota kecil yang memiliki letak yang sangat strategis. Kota ini menghubungkan jalur yang menghubungkan antara Semarang dan Solo yang merupakan dua kota penting di Jawa Tengah. Di kota inilah dahulu terjadi sebuah peristiwa penting yang mengiringi sejarah perjalanan kerajaan Mataram. 

Peristiwa tersebut adalah peristiwa perjanjian Salatiga dimana pihak-pihak yang terlibat didalam perjanjian tersebut adalah Raden Mas Said atau yang dikenal juga dengan nama Pangeran Sambernyawa, Sunan Pakubuwono III, Sultan Hamengkubuwono I, dan VOC.

Lahirnya perjanjian Salatiga tidak bisa dipisahkan dari situasi dan kondisi Kerajaan Mataram yang saat itu bergejolak sepeninggal Sultan Agung. Gejolak tersebut berawal dari perselisihan yang terjadi antara Pangeran Mangkubumi dengan Raden Mas Said. 

Saat itu Pangeran Mangkubumi di bujuk oleh Sunan Pakubuwono III dan VOC untuk menghentikan perang. Akhirnya dilaksanakanlah perjanjian Giyanti pada tanggal 13 Februari 1755 dengan melibatkan Pangeran Mangkubumi, VOC, dan Sunan Pakubuwono II dengan tanpa melibatkan Raden Mas Said. Isi dari perjanjian Giyanti tersebut adalah pengakuan Sunan Pakubuwono III, VOC, dan Pangeran Mangkubumi yang memerintah separuh wilayah dari Kerajaan Mataram.

 Berdasarkan perjanjian tersebut Pangeran Mangkubumi diangkat menjadi Sultan dengan gelarnya Sultan Hamengkubuwono I yang memerintah wilayah Ngayogyakarta Hadiningrat. Raden Mas Said menganggap bahwa perjanjian tersebut adalah usaha VOC untuk memecah belah Mataram menjadi dua yaitu Surakarta dan Yogyakarta.

Raden Mas Said berjuang sendirian memimpin pasukanya untuk melawan dua kerajaan yakni Kerajaan Pakubuwono III dan Hamengkubuwono I serta VOC. Raden Mas Said dikenal sebagai seorang panglima yang tangguh dengan strategi perangnya yakni jejemblungan, dedemitan, dan weweludan. 

Ketangguhan pasukan Raden Mas Said dapat dilihat ketika terjadi pertempuran di Desa Ksatriyan. Menurut jurnal yang berjudul "Strategi Kebudayaan Pahlawan Nasional Pangeran Sambernyawa" karya dari Eko Punto Hendro menyebutkan bahwa dalam momen pertempuran di Desa Ksatriyan pasukan tewas dari pihak musuh mencapai 600 orang. 

Sedangkan dari pasukan Raden Mas Said jumlah pasukan yang tewas hanya 3 orang saja dan sebanyak 29 orang mengalami luka-luka. Pasukan Raden Mas Said memperoleh kemenangan walaupun bertempur hanya dengan pasukan yang terbatas.

VOC sangat kewalahan menghadapi pasukan Raden Mas Said. Untuk meredam perlawanan yang dilakukan oleh Raden Mas Said akhirnya VOC menawarkan sebuah perjanjian perdamaian yang melahirkan perjanjian Salatiga. 

Menurut Edi Supangkat dalam bukunya yang berjudul "Salatiga Sketsa Kota Lama" mengatakan bahwa dipilihnya Salatiga sebagai kota perdamaian tidak lepas dari peran Gubernur Hartingh yang berperan sebagai mediator. Gubernur Hartingh merupakan seorang yang pakar dalam kerajaan-kerajaan di Jawa. Sebagai seorang pakar, dia tahu persis kota mana yang dalam wilayah kekuasaanya yang paling aman yaitu Salatiga.

Perjanjian Salatiga dilaksanakan pada tanggal 17 Maret 1757 di Gedung Pakuwon. Gedung Pakuwon yang menjadi saksi dilaksanakanya perjanjian Salatiga saat ini terletak di sebelah selatan alun-alun Salatiga yang bersebelahan dengan gedung papak yang saat ini menjadi Kantor Walikota Salatiga. Adapun isi dari perjanjian Salatiga tersebut adalah :

  • Raden Mas Said ditetapkan menjadi Pangeran Miji (pangeran yang memiliki status setingkat dengan raja-raja Jawa).
  • Pangeran Miji tidak diperkenankan duduk di Singgasana (dampar kencana).
  • Pangeran Miji berhak untuk menyelenggarakan upacara kerajaan dan berhak memakai perlengakapan raja.
  • Tidak boleh memiliki Balai Witana.
  • Tidak diperbolehkan memiliki alun-alun dan sepasang ringin kembar.
  • Tidak diperbolehkan melaksanakan hukuman mati.
  • Pemberian tanah seluas 4000 karya yang meliputi wilayah Kaduwang, Nglaroh, Matesih, Wiroko, Haribaya, Honggobayan, Sembuyan, Gunung Kidul, Kedu, Pajang sebelah utara dan selatan.

Setelah mengakui pernyataan diatas maka VOC dan Kesultanan Ngayogyakarta secara resmi mengakui keberadaan Praja atau Pura Mangkunegaran yang memiliki pusat pemerintahan di sepanjang Kali Pepe. Pura Mangkunegaran ini dipimpin oleh seorang pangeran dengan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegaran. 

Sejak saat itu pemerintahan Mangkunegaran dimulai dan Raden Mas Said dinobatkan menjadi Kanjeng Pangeran Adipati Arya Mangkunegaran I oleh Sunan Pakubuwono III.

Sumber :

Hastuti, D. L. (2020). INDIS STYLE SEBAGAI REPRESENTASI KEKUASAAN. Gestalt, 147-156.

Hendro, E. P. (2020). Strategi Kebudayaan Perjuangan Pahlawan. Jurnal Ilmiah Kajian Antropologi, 42-54.

Supangkat, E. (2012). Salatiga Sketsa Kota Lama. Salatiga: Griya Media.

Tjahjono, B. D. (2011). Mencari Identitas Kota Salatiga : Nuansa Kolonial Diantara Bangunan Modern. Balai Arkeologi Medan, 197-211.

Widiarto, T. (2021). HUBUNGAN PERJANJIAN SALATIGA 17 MARET 1757. NIRWASITA, 157-168.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun