Mohon tunggu...
Rio WibiS
Rio WibiS Mohon Tunggu... Guru - Mahasiswa

Lulus kuliah dari Unnes Semarang

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Istana Djoen Eng: Bangunan Termegah di Salatiga pada Masa Kolonial Belanda

16 Oktober 2022   16:00 Diperbarui: 17 Oktober 2022   05:05 897
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika kita menuju Salatiga dari arah Tuntang, setelah gapura yang bertuliskan “Selamat Datang Di Kota Salatiga” kita akan menemukan banyak sekali bangunan-bangunan peninggalan Belanda yang berarsitektur Eropa. Hal ini dikarenakan dahulunya kawasan ini adalah tempat tinggal khusus orang-orang Eropa yang dulunya dikenal dengan kawasan Toentangscheweg. 

Selain warga keturunan Eropa, beberapa warga keturunan Tionghoa juga tinggal di kawasan ini. Diantara banyaknya bangunan-bangunan peninggalan Belanda di kawasan tersebut salah satunya adalah Istana Djoen Eng. Bangunan Istana Djoen Eng ini berada di pinggir jalan raya yang menghubungkan anatara Semarang dan Solo.

Istana Djoen Eng merupakan bangunan megah yang memiliki ciri khas artsitektur bergaya Tionghoa. Dahulunya, bangunan ini dimiliki oleh seorang pengusaha keturunan Tionghoa yang sangat kaya raya yang bernama Kwik Djoen Eng. 

Kwik Djoen Eng membangun istana tersebut mulai tahun 1921 dan selesai empat tahun kemudian. Lamanya waktu pembangunan istana tersebut disebabkan karena besarnya ukuran bangunan itu sendiri. 

Selain itu, Kwik Djoen Eng selaku pemilik bangunan tersebut sering melakukan perubahan dan penambahan di bagian-bagian bangunan yang lain dari desain awal. Hal ini dilakukan agar bangunan ini terlihat sempurna dimatanya.

Ketika kompleks istana Djoen Eng dibangun, luas totalnya mencapai 12 ha. Sekitar separuh dari total luas kompleks istana tersebut berada di dalam pagar (termasuk didalamnya adalah bangunan istana). 

Sedangkan sisanya berada di luar pagar. Pada mulanya, kompleks istana Djoen Eng terdiri dari bangunan gedung, kebun tanaman hias, kolam besar, kebun binatang mini, lapangan tennis, dan kebun kopi.

Djoen Eng merupakan sosok ayah yang sangat mencintai keempat orang putranya. Djoen Eng menggambarkan dirinya beserta keempat orang putranya kedalam bentuk kubah yang ada pada bangunan tersebut. 

Kubah yang besar, tinggi dan berada di tengah menggambarkan Djoen Eng Sendiri. Sedangkan empat kubah yang mengelilinginya menggambarkan keempat putranya.

Biaya yang dihabiskan untuk membangun kompleks istana Djoen Eng ini mencapai 3 juta gulden. Merupakan angka yang sangat fantastis dimasa itu. Oleh karena itulah tidak mengherankan kalau pada tahun 1925, upacara peresmian dilakukan sangat mewah dan meriah.

Nampaknya uang bukanlah sebuah masalah bagi Djoen Eng dimasa itu. Djoen Eng adalah seorang pengusaha yang sukses. Pada tahun 1877, Djoen Eng mendirikan Kwik Hoo Tong Handelmaatschappij di Semarang. 

Pada tahun 1920, perusahaan yang bergerak di bidang ekspor-impor tersebut telah berkembang menjadi sebuah firma Hindia-Belanda yang besar. Cabang-cabangnya terdapat di Taiwan, Cina, Eropa, Amerika dan hampir di seluruh Indonesia.

Ketika krisis ekonomi yang melanda dunia pada tahun 1930-an, perusahaan yang didirikan oleh Djoen Eng yang pada mulanya jaya ini tak luput dari kebangkrutan. Karena tidak dapat melunasi seluruh hutangnya, maka seluruh kompleks istana Djoen Eng disita oleh De Javasche Bank. Sejak saat itulah, bangunan megah dengan lima buah kubah tersebut tak lagi berpenghuni.

Pada tahun 1940, De Javasche Bank menawarkan bangunan tersebut kepada kongregasi FIC dengan harga yang sangat rendah. Karena harga yang ditawarkan sangat rendah maka FIC berminat untuk membelinya, walaupun saat itu belum ada rencana sama sekali tentang rencana penggunaan gedung megah tersebut.

Pada masa pendudukan Jepang, kompleks bangunan megah tersebut berubah fungsi menjadi kamp interniran. Pada masa revolusi, bangunan megah tersebut sempat dijadikan sebagai markas polisi dan tentara Indonesia. 

Kemudian antara tahun 1946 sampai dengan tahun 1949, bangunan tersebut dijadikan tangsi militer oleh Belanda. Barulah pada tahun 1949 bruder-bruder FIC mulai menempatinya. Gedung utama dimanfaatkan sebagai bruderan dan asrama anak-anak SMP (Hingga tahun 1966). Sedangkan di bagian belakang gedung dimanfaatkan sebagai SMP Pangudi Luhur (Hingga tahun 1974).

Pada tanggal 12 Mei 1968, kompleks bangunan megah istana Djoen Eng direnovasi secara menyeluruh. Atap bangunan dengan menara dan keempat kubahnya yang sangat unik tersebut dipotong total. Perubahan secara radikal juga terjadi pada lantai dua. Hasil dari perombakan bangunan tersebut bisa kita lihat seperti saat ini.

Bersamaan dengan runtuhnya keempat kubah yang unik tersebut sebutan “Djoen Eng” diganti dengan sebutan “Roncalli”. Nama “Roncalli” diambil dari nama Paus Yohanes XIII 1958-1963, dengan nama aslinya adalah Angelo Guiseppe Roncali.

Dulu ketika kompleks istana ini dibangun luasnya mencapai 12 ha, maka sekarang luasnya hanya tinggal 3,5 ha saja. Pada tahun 1975, areal kebun di bagian selatan didirikan SMP Pangudi Luhur. 

Setahun setelahnya, tanah yang berada di luar pagar dengan luas 6 ha diambil alih oleh pemerintah. Pada tahun 1992, sebagian kebun kopi dibagian utara dibeli oleh kongregasi MSF untuk didirikan Noviat. Pada tahun 1995, sebagian dari tanah tersebut dibangun untuk gedung baru Bruderan.

Memang bahwa Istana Djoen Eng yang masih tegak berdiri hingga saat ini bukanlah Istana Djoen Eng yang dulu. Sudah banyak perubahan yang terjadi pada gedung ini, termasuk kubah yang menjadi ciri khasnya. 

Akan tetapi, oleh pemiliknya sekarang beberapa bagian gedung dibiarkan masih seperti aslinya. Bagian-bagian tersebut adalah ruang makan, ruang rekreasis, interior gedung, tiang-tiang pergola di taman, serta gardu yang berwarna merah menyala yang merupakan corak khas Tionghoa yang semuanya masih berupa wujud aslinya. Kondisi dari kompleks Istana Djoen Eng masih terawat dengan baik hingga saat ini.

Sumber :

Supangkat, E. (2012). Salatiga Sketsa Kota Lama. Salatiga: Griya Media.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun