Kemusu (13/02). Kecamatan Kemusu berbatasan dan berbagi lahan secara langsung dengan Waduk Kedungombo. Waduk Kedungombo merupakan hasil dari pembangunan massal yang dilakukan oleh pemerintah orde baru. Waduk dibangun tahun 1985 dengan berbagai kontroversi yang mengelilinginya dan hingga saat ini menjadi kenangan kelam yang tidak bisa dilepaskan dari masyarakat Kemusu.
Sejak pertama dibangun, masyarakat terpaksa hidup berdampingan dengan aliran air Waduk Kedungombo. Berbagai protes dilayangkan oleh kolektif masyarakat kepada pemerintah namun hasilnya terkadang nihil. Tanah kelahiran menjadi dalih tidak mau berpindah dari lokasi terdampak. Namun bagaimanapun juga, mereka harus pergi dari tempat kelahirannya ke tempat yang telah disediakan pemerintah agar tidak terkena akibatnya.
Berjudi dengan waktu menjadi hal yang lumrah bagi petani jagung di Desa Genengsari, Kemusu. Mungkin ketika penulis datang ke desa, rata-rata penduduk yang bertani sudah melakukan panen. Beruntungnya mereka, pada bulan Januari 2023 air sedang surut dan ladang pun masih bisa digarap dengan baik.
Beberapa kali penulis mengunjungi daerah pinggiran Sungai Serang dan Danau Kedungombo, terlihat gradien air yang semakin hari semakin meninggi. Rata-rata petani menempatkan kebun dan sawahnya dipinggiran sungai. Tanah yang kering tidak memungkinkan masyarakat untuk bercocok tanam di tanah yang jauh dari sumber air.Â
Musim hujan yang menerpa Indonesia menjadikan air secara alami naik, walaupun begitu warga tetap waspada akan kenaikan air akibat pintu waduk dibuka. Bom waktu adalah hal yang paling tepat untuk menggambarkan Waduk Kedungombo. Menurut warga sekitar, waduk dibuka setahun sekali saat kemarau. Tanpa adanya peringatan, lahan pertanian warga bisa ludes dalam sekejap mata.
Penulis pun merasakan keresahan warga tentang Waduk Kedungombo ini. Beberapa warga yang penulis temui merasakan jika air sungai tiba-tiba naik akibat dibukanya pintu air waduk maka hasil tani mereka akan sia-sia. Seorang petani bahkan akan merugi sekitar 1 juta rupiah jika tanaman jagungnya terendam oleh air. Beliau mengatakan bahwa dana 1 juta yang dikeluarkan hanya untuk pupuknya saja.
Jagung telah menjadi bahan pangan pokok di Indonesia selama bertahun-tahun. Lahan yang subur tak luput menjadi faktor banyaknya perkebunan jagung di Indonesia. Kecamatan Kemusu dan Desa Genengsari menjadi salah satu dari sekian penghasil jagung yang ada di Indonesia, terutama di Kabupaten Boyolali Jawa Tengah.
Dalam jurnal Analisis Efsiensi Teknis Penggunaan Faktor Produksi, Pendapatan Tunai Usaha Tani Jagung Hibrida Dan Jagung Lokal Di Kecamatan Kemusu, Kabupaten Boyolali oleh Ari Wahyuningsih, Bambang Mulyatno Setiawan, dan Budi Adi Kristanto (2018), Kecamatan Kemusu merupakan kecamatan sentra produksi jagung di Kabupaten Boyolali, pada tahun 2015 telah memasok jagung sebanyak 17,80 persen dari total produksi di Kabupaten Boyolali Tahun 2015. Rata-rata produktivitas jagung sebesar 41,59 kuintal per hektar atau masih jauh dibawah produktivitas jagung di Jawa Tengah.
Bertani jagung di Desa Genengsari merupakan pekerjaan sebagian masyarakat. Tercatat menurut Rekapitulasi Jumlah Penduduk Berdasarkan Pekerjaan Desa Genengsari tahun 2023 ada 535 jiwa yang bekerja sebagai petani. Berarti dengan jumlah penduduk Genengsari sebesar 4.418 jiwa, pekerjaan petani memenuhi sekitar 12.10% dari jumlah total penduduk.
Petani di Kecamatan Kemusu masih melakukan usahatani jagung secara tradisional, dan sebagian petani masih menanaman jagung varietas lokal. Karakteristik petani dan permodalan juga menjadi salah satu penyebab sulitnya pengembangan dan adopsi teknologi baru di tingkat petani.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H