Nyontek umumnya berkonotasi negatif. Padalah mata uang ada 2 sisi, nyontek juga ada yang positif. Sejak kecil kita dididik dan dibesarkan dalam lingkungan nyontek. Mungkinkah budaya nyontek yang sejak kecil ini dibudayakan di dunia pendidikan khususnya perguruan tinggi terkait teknologi, misalnya menghadirkan mata kuliah “Teknologi Nyontek” atau “Ekonomi Nyontek”? Jangan terjebak di nama, lihatlah pada dampaknya yang luar biasa, yang telah berhasil memajukan banyak negara di dunia. [caption id="attachment_66083" align="alignleft" width="307" caption="Foto"][/caption] Kita terbiasa ditakut-takuti nyontek itu buruk, ilegal, kriminal, “Cara cepat DO (drop out): menyontek”. Lihat gambar. Nanti dulu, pandangan itu keliru, nyontek itu bagus! Tunjukkan kita sebagai pendidik, kisah sukses nyontek sebanyak-banyaknya, perlihatkan manfaat positif yang bisa dipetik dengan memanfaatkan hasil menguasai apa yang dicontek itu. Perbaiki, sempurnakan, jual, dan nikmati hasilnya. Kenyataannya, eeh disuruh nyontek malah tidak mau, tidak bisa. Menghindar saja ah, soalnya ...pasti susah! Ini tantangan kita untuk bisa memotivasi semangat 'nyontek' pada anak didik. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi terjadi berkat akumulasi saling contek. Perlombaan untuk saling mengungguli dengan “lebih baik lagi” atau “lebih unggul”. Di luar pendidikan formal proses nyontek sudah berlangsung lama di masyarakat kita. Satu kendalanya, belum “lebih baik” atau “lebih unggul”. Ini disadari betul oleh sekelompok teknolog muda kita. Motivasi kuat untuk bisa mengungguli negara maju, mendorong mereka untuk otodidak, belajar sendiri menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi produk ‘hi-tech’ yang masuk ke negeri ini. Alat peraganya adalah produk sungguhan, yang dibeli tetapi kemudian dirusak! Maksudnya, dibedah. Ini adalah proses otodidak yang mahal mengingat investasi bisa mencapai puluhan juta rupiah. Ada bedah telepon seluler, instrumen kedokteran USG (ultra sonografi, alat pendeteksi jenis kelamin janin), perangkat pengendali mobil mewah yang kini mulai memakai komputer, instrumen ukur, dan lain-lainnya. Pengalaman adalah guru terbaik; nyontek adalah kunci pemercepat proses menghindari kesalahan terulang karena upaya “menemukan roda kembali”. Jangan dimulai dari awal, roda itu sudah ditemukan, tinggal kita menyempurnakannya. Kerja keras itu ternyata tidak sia-sia, dan menghasilkan sebuah kesimpulan sangat penting, “di dalam produk tidak ada apa-apanya”. Maksudnya, iptek yang dipakai produk sudah mereka kenal dan ketahui sejak di bangku sekolah. Programnya bisa ditiru dan disempurnakan, komponen yang dihapus identitasnya bisa dilacak dan kalau rusak bisa diganti komponen setara lain. Sangat kreatif, dua jempol! Kelompok kalau ditanya, apa yang bisa diperbuat dengan merusak produk ‘hi-tech’ mahal tersebut, dijawab ringan membuat produk baru yang membuat kehidupan lebih baik. Apa contohnya? Kami membuat modul kecil untuk membantu bengkel "jalanan" agar sanggup melayani mobil mewah yang berkomputer, yang bisa dilakukan hanya di bengkel berkelas di kota besar. Bengkel jadi lebih pintar, tidak sekedar trampil menggunakan tang, solder, obeng, dan kunci-kunci lagi, tetapi juga mengoperasikan notebook dan program aplikasi diagnosa kerusakan mobil. Buatan kita juga. Kalau mau beli, mahal sekali, tidak dijual bebas, tidak tahu cara mengoperasikan karena berbahasa asing, dan tidak ada training. Kehidupan bengkel pun jadi lebih baik. Horee, maju gara-gara nyontek! Masih banyak lagi produk mahakarya hasil kerja keras kelompok ini. Sebagian sudah 'OKB', orang kaya belia (sekitar 30 tahun). Sayang kecerdasan hasil nyontek, sebuah aset tak ternilai, diabaikan begitu saja. Harus dipertimbangkan masuk dan ditampung ke sistem pendidikan kita kalau perlu sejak dini. Kalau itu bisa, tentu indah sekali. Nyontek itu ternyata bagus! Update: Tulisan serupa dari tinjauan teknologi ada di butir Teknologi. Komentar hari ini dari mas Markus Budiraharjo merujuk ke satu artikel "Communities of practice" yang sudah saya buatkan format [ .pdf ]-nya. Contekan kecil seperti ini,
Communities of practice .... Communities of practice are groups of people who share a concern or a passion for something they do and learn how to do it better as they interact regularly. (Wenger circa 2007)
(Terimakasih mas Bud.)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H