Tahun 2013, begitu lulus SMA, aku memutuskan untuk mendaftarkan diri mengikuti USM STAN. Berhubung aku tidak begitu pandai dalam ilmu alam maupun ilmu sosial, aku jadi sangat gembira ketika melihat soal-soal USM STAN hanyalah seputar logika, matematika dasar, dan bahasa. Pada waktu itu aku memilih lokasi ujian di Malang dan pilihan pertamaku adalah spesialisasi D-III Kebendaharaan Negara.
Tes tahap I kulewati tanpa banyak peristiwa. Tahu-tahu ketika sedang enak-enaknya tidur di suatu pagi bulan ramadan, temanku mengirimiku SMS yang mengabarkan bahwa aku lolos USM STAN Tahap I. Pengumuman yang mestinya masih beberapa hari lagi dimajukan menjadi hari itu. Aku begitu gembira, dan kegembiraan itu menular pada orang-orang terdekatku (orang tua, kerabat, teman-teman). Semuanya yakin bahwa aku akan lolos juga dalam USM STAN Tahap II yang akan diadakan nanti setelah lebaran, yang berisi tes wawancara dan kebugaran.
Sayangnya, aku tidak lolos.
Bisa dibayangkan bagaimana perasaanku ketika itu. Sedih? Iya. Kecewa? Sangat. Padahal sudah sedekat itu. Tapi mau bagaimana lagi. Aku pun kemudian berkuliah di D-III Teknik Informatika UNS sambil terus bertanya-tanya kenapa aku bisa gagal. Bidang kuliah yang kutekuni sebenarnya sudah sesuai dengan hobiku mengotak-atik komputer dan keinginanku menjadi programmer. Aku pun mencoba ikhlas dengan kegagalanku dalam USM STAN 2013.
Sampai kemudian muncul kabar dibukanya pendaftaran USM STAN 2014. Tapi aku tidak berniat mendaftar karena sudah nyaman dengan kuliahku di UNS. Kubiarkan saja berita pendaftaran itu tenggelam di beranda Facebook. Meskipun begitu, aku tetap pulang ke rumahku di Nganjuk untuk meminta saran ibuku. Dan ibuku berkata, “Daftarlah, Yo.”
Pikiranku kacau, tapi aku langsung memilih menuruti ibuku. Setibanya di Solo aku langsung melakukan pendaftaran online USM STAN 2014 beberapa saat sebelum pendaftaran ditutup. Kupilih lokasi tes di Yogyakarta. Untuk jurusan (atau di STAN adanya “spesialisasi), aku sempat akan memilih yang sama seperti tahun lalu, tapi kupikir-pikir lebih baik aku mengambil jenjang D-I karena sudah menghabiskan waktu setahun di UNS. Jadilah pilihan pertamaku jatuh pada D-I Kebendaharaan Negara, yang pada tahun 2013 dulu belum dibuka.
Pada waktu verifikasi berkas, aku nekat berangkat ke Yogyakarta seorang diri dengan menaiki bus padahal aku tidak tahu apa-apa soal kota itu. Syukurlah selama di jalan aku selalu bertemu orang baik-baik yang bisa ditanyai. Tes tertulis pun lewat begitu saja, dan kemudian tibalah aku di depan ruang wawancara pada tes Tahap II.
Aku sepenuhnya yakin bahwa kegagalanku pada USM STAN 2013 disebabkan karena tes wawancara, bukan pada tes kebugaran. Dulu aku begitu gugup sehingga perkataanku tidak lancar, salah memilih apakah harus jujur atau berbohong ketika ditanyai, dan terjebak oleh pertanyaan bertele-tele. Pada USM STAN 2014 ini, aku takut akan mengulangi kesalahan yang sama, Tapi ajaibnya, aku justru tenang.
Sampai kemudian pewawancara menanyai keyakinanku soal kebaikan hati orang lain, dan kuceritakan apa yang kualami setelah kegagalanku pada USM STAN 2013. (Percakapan wawancara ini akan kuceritakan lain waktu karena pasti akan panjang)
Dan pada malam hari di tanggal 3 September 2014, aku melihat namaku lolos USM STAN dan diterima di spesialisasi D-I Kebendaharaan Negara. Persis seperti pilihan pertamaku. Ada sekitar tiga ribu orang yang lolos di antara seratus ribu pendaftar.
Kukira perjuangan telah selesai, tapi ternyata justru berlanjut lebih berat lagi. Di STAN, UTS dan UAS terasa seperti ujian nasional. Harapan, harga diri, dan keberlangsungan hidup dipertaruhkan di sana. Untunglah aku hanya memilih sampai D-I, dan untunglah di Kebendaharaan Negara tidak banyak mata kuliah yang menyusahkanku. Meski tiap kuliah aku dan teman-teman sekelas selalu ditakut-takuti.