Mohon tunggu...
Dimas
Dimas Mohon Tunggu... Perencana Keuangan - Pegawai Negeri

Seorang Pegawai Kementerian Keuangan yang berusaha memberikan usulan atau alternatif kebijakan terbaik untuk negeri

Selanjutnya

Tutup

Financial

Menyejahterakan Bumi Langit Indonesia melalui UMKM Bebas Bunga

28 Mei 2024   08:37 Diperbarui: 28 Mei 2024   09:21 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

               Dewasa ini, memiliki sebuah usaha bukanlah suatu hal yang mustahil bagi masyarakat Indonesia, lantaran mendapatkan modal awal untuk merintis usaha tidaklah sulit. Banyak lembaga keuangan maupun lembaga keuangan bukan bank yang siap untuk memberikan pinjaman kepada calon pelaku usaha seperti perbankan, koperasi simpan pinjam, peer to peer lending, platform investasi bagi hasil, dan lembaga crowdfunding lainnya. Ditambah lagi, pemerintah sejak tahun 2017 telah meluncurkan Program Prioritas Nasional terkait pendanaan khusus kepada pelaku usaha Ultra Mikro(UMi). Mengingat peran pelaku usaha Ultra Mikro dalam meningkatkan produk domestik bruto(PDB) dan penyerapan tenaga kerja yang signifikan, BLU Pusat Investasi Pemerintah(PIP) merasa perlu untuk memberikan alternatif kepada pelaku usaha Ultra Mikro yang terkendala terkait pendanaan dikarenakan belum memenuhi syarat untuk mendapatkan pinjaman modal melalui lembaga keuangan perbankan. Selain itu, program ini diharapkan dapat meningkatkan tingkat kesejahteraan para pelaku usaha Ultra Mikro agar dapat naik kelas menjadi UMKM(Usaha Mikro, Kecil, Menengah) sehingga mampu untuk mendapatkan pendanaan yang lebih besar melalui lembaga perbankan. BLU PIP selaku coordinated fund Pembiayaan UMi menerima alokasi dana dari APBN sebagai dana bergulir yang disalurkan kepada debitur melalui lembaga keuangan bukan bank yang memiliki kapasitas dalam mengenali calon debitur sehingga menghindari adanya ­pinjaman tidak produktif atau non-performing loan.

               Menjalankan sebuah usaha secara independen dan menghasilkan keuntungan melimpah mungkin merupakan mimpi indah bagi kebanayakan dari kita. Namun seringkali mimpi tersebut tak kunjung menjadi kenyataan dikarenakan terbentur faktor ekonomi. Hal tersebut memicu para calon pelaku usaha untuk mencari pendanaan secara instan dengan berhubungan dengan lembaga keuangan ribawi, tak menutup kemungkinan meliputi Program Pendanaan Ultra Mikro(UMi) dari Pemerintah. Tidak diragukan lagi Program UMi memiliki tujuan yang sangat mulia yaitu memberikan pinjaman dengan bunga rendah dan pelatihan pemberdayaan UMKM dalam rangka membantu para pelaku usaha mengembangkan usahanya. Hal yang sangat disayangkan adalah keberadaan bunga pinjaman yang menyebabkan transaksi tersebut tergolong sebagai akad riba walaupun jumlahnya sedikit. Hal ini sangat perlu untuk dilakukan pertimbangan antara kebaikan dan keburukan yang akan ditimbulkan akibat program ini.

               Sejatinya, penulis menilai bahwa perkembangan pendanaan UMi ini menuju ke arah non-ribawi, hal tersebut dibuktikan dengan beberapa dukungan dari internal maupun eksternal terkait pendanaan UMi. Pada tanggal 21 November 2023 di Semarang, dalam Acara Festival UMi 2023, salah satu pembicara PIP mencanangkan sebuah inovasi baru yaitu untuk kedepannya, Pembiayaan UMi dimungkinkan akan disalurkan tanpa melalui perantara penyalur, dengan memanfaatkan ekosistem tertutup (closed-loop ecosystem) atau dengan bantuan lembaga keuangan bukan bank hanya sebagai pendamping. Hal ini tentu satu langkah yang sangat bagus untuk meminimalisir timbunya bunga pinjaman dari dana UMi dan tentunya akan semakin meningkatkan permintaan akan pendanaan oleh para debitur yang akan “didongkrak” usahanya. Berdasarkan statistik debitur UMi sejak tahun 2017 hingga tahun 2023, didapati bahwa debitur sejumlah kurang lebih 9,46 juta jiwa yang lebih dari 50 persen pembiayaannya dengan prinsip syariah. Hal ini tentu menunjukkan bahwa permintaan pembiayaan bebas riba di masyarakat Indonesia sangat tinggi terlepas dari latar belakang agama debitur. Selain itu Dewan Fatwa MUI pada tanggal 22 Februari 2018 juga telah menetapkan fatwa DSN MUI Nomor 119/DSN-MUI/II/2018 tentang Pembiayaan Ultra Mikro berdasarkan Prinsip Syariah. Di dalamnya terkandung segudang alternatif akad yang dapat dilakukan penyalur atau PIP secara langsung untuk menghindari timbulnya riba dalam akad pendanaan tersebut. Hal ini sangat menguatkan bahwa keinginan masyarakat Indonesia dari berbagai lini telah menunjukkan kecondongan pada akad non-ribawi dibuktikan dengan dukungan pemikiran, masukan, ide, dan ketetapan yang telah disuarakan hingga saat ini.            

               Sekilas opini ini seperti tendensius kepada suatu agama atau kepercayaan saja, namun bila ditinjau dari sudut pandang lain, opini ini sangat selaras dengan pengimplementasian Nilai Pancasila sila pertama. Belakangan ini kebanyakan pembahasan yang mengarah pada suatu hal pada ajaran agama tertentu seolah dianggap hanya sekedar masalah personal dan tidak ada kaitannya dengan kemaslahatan negara.  Namun kita perlu merenungi kembali apa makna dipilihnya Sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagi sila yang pertama dalam Pancasila. Hanya karena terdapat pelabelan agama tertentu pada sebuah sistem ekonomi, tidak menjadikan sistem tersebut harus ditolak mentah-mentah. Sebagai manusia yang menginginkan kebaikan, tidak masalah mengkaji dan menerapkan sebuah sistem ekonomi dengan label apapun secara inklusif selama tidak bertentangan dengan Nilai-Nilai Dasar Pancasila. Tanpa membicarakan konsekuensi spiritual seperti dosa pun, telah banyak penelitian dan studi terkait bahaya sistem riba bagi ekonomi secara global dimana salah satu pendapat yang dikemukakan oleh Moussaoui di dalam tesisnya yang berjudul “The Islamic Prohibition on Interest” di Universitas Oregon State University, Amerika Serikat, memberikan pemahaman bahwa riba sejatinya merupakan sarana eksploitasi bagi orang yang memiliki kesejahteraan kepada orang yang membutuhkan kesejahteraan. Banyak pula tulisan dan penjelasan oleh ahli ekonom yang bersepakat bahwa penyebab terjadinya economic bubble yang sangat disepelekan adalah hadirnya sistem perbankan ribawi saat ini. Dengan tulisan ini, penulis akan sangat mendukung program-program pemerintah dan segala macam perbaikan yang dilakukan secara terus menerus demi menggapai Indonesia sejahtera melalui usaha kita sebagai manusia “di bumi” dan campur tangan Tuhan “di langit”.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun