Media sosial telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Mulai dari berbagi momen kebahagiaan hingga berbagi opini, media sosial memengaruhi cara manusia memandang dunia, termasuk dalam hal cinta dan hubungan.
Salah satu fenomena yang semakin marak adalah teori relationship, atau kumpulan aturan dan standar hubungan yang populer di media sosial hingga saat ini.
Alih-alih memberikan inspirasi, teori-teori ini justru sering kali menjadi racun yang merusak hubungan. Tekanan untuk selalu terlihat bahagia, perbandingan yang tak berkesudahan, hingga standar cinta yang tak selalu realistis.
Sepertinya saya akan menulis panjang di sini. Selamat datang di era di mana hubungan asmara tak lagi hanya tentang dua hati, tetapi juga algoritma, ekspektasi sosial, dan citra digital.
Mengenal Teori Relationship di Media Sosial
Teori relationship yang saya maksud dalam tulisan ini merujuk pada berbagai pandangan, standar, dan tips hubungan yang viral di media sosial.
Misalnya, video yang menampilkan tentang "jika pasanganmu tidak melakukan X, mereka tidak mencintaimu," atau postingan yang memamerkan "relationship goals" dengan standar tinggi yang sering kali tidak realistis.
Hal-hal ini biasanya dibungkus dalam narasi yang menghibur dan relatable, sehingga mudah diadopsi oleh banyak orang.
Konten tentang teori relatinoship banyak dijumpai di media sosial seperti tik tok, instagram, X (dulunya Twitter), dan beberapa media sosial lainnya.
Menurut sebuah studi dari Pew Research Center, di Amerika penggunaan Instagram, Snapchat, dan TikTok sangat umum dimainkan oleh orang dewasa berusia di bawah 30 tahun.
Ini yang menjadikan media sosial sebagai salah satu sumber utama pandangan mereka tentang hubungan. Sayangnya, pengaruh ini tidak selalu positif. Termasuk juga di Indonesia.