Di abad 21 ini, kita mulai melihat pengambilalihan pekerjaan oleh robot, mesin, dan kecerdasan buatan. Kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI) merupakan cabang ilmu komputer yang mengembangkan intelijensi mesin namun dengan pola berpikir dan bekerja seperti manusia.
Saat ini, AI sangat populer dan banyak dibahas di seluruh sektor/area kehidupan, mulai dari bisnis, kesehatan, pendidikan, dan tidak terkecuali pemerintahan. Meluasnya penggunaan AI ini menjadi sebuah perubahan besar yang menimbulkan tantangan bagi seluruh lini kehidupan untuk bergerak cepat dalam rangka menganalisis kemungkinan timbulnya dampak negatif.
Pada awal bulan Mei 2023 lalu, Kantor Imigrasi Bandara Soekarno Hatta yang dibawahi oleh Kementerian Hukum dan HAM memperkenalkan empat Petugas Imigrasi berbasis AI pertama di Indonesia yang akan bertugas sebagai asisten komunikasi pelayanan publik. AI tersebut bahkan diciptakan dengan nama dan wajah yang sangat Indonesia. Adapun alasan Imigrasi Bandara Soekarno Hatta ikut menerapkan tren penggunaan AI ini adalah untuk membantu jalannya operasional kebutuhan imigrasi, khususnya terkait informasi dan kehumasan.
Contoh lain yang lebih dahulu diterapkan adalah Kepolisian RI yang mengembangkan sistem tilang elektronik atau Electronic Traffic Law Enforcement (E- Tilang). Tilang secara elektronik dilakukan sebagai upaya peningkatan pelayan, keamanan, dan kepatuhan aturan lalu lintas dengan menggunakan alat baca yang dipasang pada kamera CCTV jalanan, alat tersebut akan mendeteksi wajah dan kendaraan. Penerapan E-Tilang diharapkan mampu meningkatkan kedisiplinan berlalu lintas, serta menurunkan stigma negatif keberadaan petugas lapangan.
Sebagai organisasi sektor publik, Pemerintah dituntut untuk terus berubah mengikuti dinamika global dan kebutuhan masyarakat selaku penerima layanan. Pemerintah juga terus dituntut untuk menciptakan efektifitas dan efisiensi dalam pemanfaatan sumber daya publik, dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan kebijakan publik. Beberapa contoh di atas menunjukkan bahwa AI bisa dimanfaatkan dalam mempercepat pelayanan publik yang diselenggarakan Pemerintah, dan memenuhi tuntutan-tuntutan perubahan.
Namun layaknya dua sisi mata pisau, keuntungan penggunaan AI ini juga diiringi kemungkinan munculnya serangkaian dampak negatif. Jika di kemudian hari birokrasi terlalu bergantung pada teknologi, AI dapat mengantikan peran tenaga kerja manusia, dalam hal ini Aparatur Sipil Negara (ASN), selain mengurangi kesempatan kerja, ASN juga mungkin kehilangan kesempatan mengembangkan keterampilan. Adanya ancaman keamanan privasi dan penyalahgunaan data, juga menjadi kekhawatiran atas penggunaan AI.
Perubahan yang terjadi di lingkungan eksternal organisasi akan memberikan pengaruh pada proses yang terjadi di internal organisasi, begitu juga sebaliknya. Penolakan dan kritikan terhadap perubahan inovatif serta terdampaknya sistem kerja internal di birokrasi merupakan tantangan yang harus dihadapi sekaligus risiko yang harus diselesaikan. Inilah pentingnya pemimpin yang menguasai manajemen perubahan di sektor publik.
Sebagaimana dibahas pada bagian sebelumnya, perubahan merupakan hal yang wajar dan tidak dapat dihindari, dan perubahan yang terjadi di luar organisasi (eksternal) akan memberikan dorongan bagi terjadinya perubahan di dalam organisasi (internal).
Upaya besar Pemerintah dalam menghadapi perubahan adalah dengan pelaksanaan Reformasi Birokrasi (RB) yang salah satu program prioritasnya adalah penyederhanaan birokrasi, di mana penyederhanaan birokrasi meliputi penyederhanaan struktur organisasi, penyetaraan jabatan dan penyesuaian sistem kerja. Penyederhaan birokrasi diatur dalam peraturan Menteri pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 7 tahun 2022 tentang Sistem Kerja pada Instansi Pemerintah untuk Penyederhaan Birokasi.
Presiden RI, Joko Widodo, pada pembukaan Musrenbangnas RPJMN 2020-2024, menyinggung bahwa langkah penyederhanaan birokrasi salah satunya melalui penggantian tenaga kerja birokrasi alias ASN dengan tenaga AI, pergantian tersebut dapat memudahkan pelayanan mulai tingkat daerah hingga nasional.
AI tersebut akan menggantikan fungsi Eselon III dan Eselon IV terkait tugas pelayanan dan pengolahan data yang sebelumnya dilakukan secara manual dan lambat, menjadi lebih cepat dengan bantuan teknologi. Presiden ingin Indonesia tak ketinggalan dari negara lain dan mampu beradaptasi terhadap dinamika teknologi yang terjadi di dunia.
Saat ini ada hampir 4 juta penduduk Indonesia bekerja sebagai ASN dan tersebar di berbagai sektor pelayanan. Lalu, apakah ini berarti ASN akan tergantikan dengan robot? Sehingga akan memangkas jumlah eksisting ASN? Tentu saja tidak sesederhana itu.
Jika melihat sektor lain secara global yang lebih dahulu memanfaatkan AI, seperti sektor bisnis dan industri, adanya pergeseran pola kerja serta kemajuan teknologi informasi, nyatanya tidak mengurangi secara keseluruhan peran dari manusia dalam setiap proses tersebut. Demikian halnya yang terjadi dalam sektor Pemerintahan.
Kita harus memandang AI ini sebagai alat bantu Pemerintah guna memberi nilai tambah dalam melayani masyarakat. Proses otomatisasi nantinya justru akan membuat ASN mengerjakan pekerjaan lain yang lebih kompleks, seperti merumuskan regulasi, mengembangkan produk kebijakan, dan tentu saja mengelola dan mengawasi AI itu sendiri.
Pekerjaan-pekerjaan yang sifatnya membutuhkan sense of human akan tetap membutuhkan ASN. Sumber Daya Manusia (SDM) merupakan faktor kunci dari keberhasilan sebuah organisasi. Secanggih apapun sebuah inovasi dirancang, sejatinya SDM lah yang memegang peranan penting di dalamnya.
Sehingga, yang perlu juga menjadi perhatian atas adanya perubahan sektor publik tersebut, adalah bagaimana Pemerintah mempersiapkan ASN untuk memiliki bekal keterampilan yang lebih tinggi, karena ASN nantinya dituntut untuk selalu aktif mengembangkan diri, aktif mempelajari hal-hal baru, dan tidak terpaku pada pekerjaan clerical saja.
Tentunya, dalam menanggapi perubahan tersebut, kita tidak hanya perlu melihat dari sisi SDM, namun juga dari kesiapan infrastruktur digital, mengingat data survei yang dilakukan PBB tentang peringkat EGDI (E-Government Development Index) atau Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE) tahun 2022 mencatat bahwa Indonesia baru berada di peringkat 77 dari 193 negara di dunia. Peringkat ini masih kalah jauh di bawah beberapa negara ASEAN lainnya seperti Singapura dengan peringkat 12 dan Malaysia yang menduduki peringkat 53.
Perlu diketahui, yang juga tidak kalah penting adalah perspektif kesiapan regulasi dan perubahan mindset kepemimpinan. AI merupakan teknologi yang wajib diawasi, salah satunya dari segi etika pemanfaatannya. Sehingga Pemerintah perlu menyiapkan regulasi untuk memberi rambu dan batasan penggunaannya. Inilah pentingnya sebuah birokrasi memiliki pemimpin yang menguasai proses manajemen perubahan mulai dari proses merencanakan perubahan, menerapkan perubahan, hingga menyempurnakan perubahan.
Kementerian Desa, PDT, dan Transmigrasi selaku instansi yang membawahi program pemberdayaan Perdesaan, juga telah mengimplementasikan penggunaan teknologi dalam pelaksanaan program-program kerja Kementerian, salah satunya adalah Program Smart Village (Desa Cerdas), sebuah kegiatan pengembangan ekosistem digital desa untuk mendorong pembangunan desa yang inovatif, di mana program dilaksanakan di 1.650 desa yang tersebar di 33 Provinsi. Kegiatan ini juga didukung dengan menghadirkan SDM sebagai pendamping masyarakat desa dalam pemanfaatan teknologi dengan sebutan “Duta Digital”.
-Rio Pongpadati-
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI