Mohon tunggu...
Rio Pale
Rio Pale Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Cinta Lahir di Taman Bunga (2017) dan Melukis Sang Nabi (2018)

Halo, assalamu'alaikum. Saya Rio Pale, seorang karyawan swasta lembaga filantropi di bidang copywriting dan content writing. Saya juga menulis karya fiksi.

Selanjutnya

Tutup

Book Artikel Utama

[Resensi Buku] Membaca "Semua Ikan di Langit"

28 Februari 2023   18:23 Diperbarui: 18 Maret 2023   08:45 562
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: Membaca buku di Perpustakaan. (sumber: KOMPAS)

Sejak akhir tahun lalu, saya banyak menyimak ulasan buku ini di twitter. Buku yang judul cukup mengganggu, sampulnya artistik, nama panjang penulisnya juga lumayan susah dieja, hehehe. 

Dari beberapa ulasan yang saya baca, kelihatannya Semua Ikan di Langit bergenre surealis (atau magical realisme, entahlah mana yang tepat).

Bahwa buku ini alegori hamba dengan Tuhan, saya rasa kurang tepat. Menurut saya, membaca Semua Ikan di Langit seperti menonton serial anime hingga tamat. 

Sepanjang cerita saya menerka-nerka apa yang sedang di-alegori-kan oleh Ziggy, penulisnya. Apa benar ia sedang memainkan alegori atau dia sekadar bermain-main dengan imajinasinya. Perasaan serupa sering saya dapat ketika menonton serial anime.

(Paragraf selanjutnya mengandung banyak bocoran. Jika tidak suka dibocorkan, kembalilah setelah selesai membaca.) 

Berbeda dengan kebanyakan buku - atau bahkan cerita - Semua Ikan di Langit dituturkan oleh karakter bus Damri trayek Dipati Ukur-Leuwipanjang. 

Bukan sebuah kelaziman sebuah cerita dituturkan oleh benda mati. Personifikasi yang dilakukan Ziggy cukup menarik karena kebaruan dan keunikan karakter si bus gendut ini.

Saya - bus ini menyebut dirinya - bercerita tentang dirinya yang dibawa oleh Beliau: seorang anak yang mahakuasa. Keajaiban-keajaiban yang diciptakan Beliau mewujud melalui ikan julung-julung terbang. 

Ketimbang sekadar alegori Tuhan dan Hamba, menurut saya novel ini lebih cocok disebut tubrukan ideologi dalam diri penulis. Sebab dalam banyak bagian, berbagai ide dari filsafat dan teologi barat bertemu dengan kisah-kisah dari agama samawi.

Tentu dengan kreativitas dan keleluasaan fiksi, Ziggy menyajikan ide-ide dan kisah-kisah tadi dengan caranya sendiri. Ia merekonstruksi cerita, nilai, dan berbagai hikmah. 

Dengan keterbatasan literasi yang saya miliki, saya membaca ada Teologi Viking, Filsafat Eksistensialisme, kisah penciptaan manusia-dan iblis dalam agama-agama samawi, kisah Ibrahim (as)/Abraham, serta kisah Dajjal/antikris dan akhir jaman. 

Dok. Pribadi
Dok. Pribadi

Semua ide dan kisah tersebut diceritakan ulang oleh Ziggy. Kemudian dengan sengaja (atau tidak?) ia benturkan dan/atau beri pemaknaan ulang.

Hampir di setiap baris kalimat yang mengandung makna, saya tersenyum atau malah terganggu. Ini tanda yang baik. 

Menurut saya, fiksi yang bagus adalah yang berusaha menyampaikan sesuatu dengan jalinan cerita yang apik. Namun, dalam banyak kesempatan juga, saya merasa karakterisasi 'saya' (si bus damri gendut) ini bermasalah.

Contoh ia menyebut melihat dengan lampu depan, mendengar dengan lantai, dan kentut dengan knalpot. Tapi banyak kesempatan Ziggy menyebut si bus gendut ini melihat Beliau di dalam tubuhnya, atau merasa geli ketika digosok-gosok oleh tokoh pemuda miskin; sementara tak merasakan apa-apa ketika ikan-ikan dan Nad si kecoa beterbangan dan hinggap di dalam dirinya.

Saya juga bertanya-tanya mengapa Ziggy menggunakan anak-anak untuk menggambarkan sosok yang mahakuasa seperti Beliau. 

Saya pernah melihat yang serupa di film Exodus: Gods and Kings, tapi film itu sendiri dikecam oleh agamawan kristen karena tidak menggambarkan kisah Musa yang membawa Bani Israil pergi dari Mesir dengan akurat. 

Saya pun merasa demikian, mengapa si pembuat film (dan Ziggy) dengan sengaja menggambarkan tuhan dengan sosok anak kecil? Apakah terinspirasi dari dialog dalam Bruce Almighty? 

Atau mungkin keterbatasan literasi saya bahwa sesungguhnya di luar sana ada kepercayaan yang merepresentasikan tuhan dengan sosok anak kecil; siapa tahu?

Ada sedikit kecurigaan saya mengenai interaksi dan karakterisasi Beliau dan Saya Si Bus Gendut. Keduanya diciptakan Ziggy adalah agar setiap kali kita melihat sosok anak kesepian di dalam bus, kita teringat tentang (nilai-nilai) Tuhan. 

Bahwa kita menuju suatu tempat (waktu), dan ada banyak hal baik yang dapat kita lakukan sebelum sampai.

Salah satu alasan saya membaca Semua Ikan di Langit adalah kebutuhan saya akan asupan surealis. Makin ke sini, tulisan-tulisan yang saya produksi terlalu realis, agak jengah juga. 

Membaca Semua Ikan di Langit berarti menghadiahi diri saya penyegaran: bahwa cerita tidak selalu perlu plot dengan struktur tiga babak dan delapan sequens. 

Bahkan memberi saya insight bahwa niat baik bisa saja mengejawantah dengan menabrak berbagai nilai yang sudah profan.

Apakah saya merekomendasikan Semua Ikan di Langit? Jawabannya (1) jika siap berpikiran terbuka, (2) merasa sudah punya stan nilai sendiri, serta (3) bersedia bersabar, cobalah. Akan tetapi, saya rasa buku ini termasuk buku yang melelahkan jika kita tidak memiliki tiga hal tadi. 

Memang disajikan dengan bab yang pendek-pendek dan beberapa ilustrasi yang bagus; tapi tanpa tiga hal yang saya sebutkan, pembaca mungkin akan berkomentar: 'buku apa sih ini'?

Hmmm, meski agak absurd, pendek, dan beberapa kritik (tak begitu penting dari saya) di atas, Semua Ikan di Langit telah memenangi Novel terbaik DKJ tahun 2016. Setidaknya menurut validasi Dewan Kesenian Jakarta, Semua Ikan di Langit adalah novel yang berkualitas.
___

Rio Pale, Februari 2023

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun