Sekarang para orangtua di Medan tak henti-hentinya mengingatkan anaknya agar jangan pulang terlalu larut manakala keluyuran. Sebab, para begundal begal mengintai di seantero kota, bersiap menerkam siapa saja yang dipikirnya akan menjadi mangsa.
Begal di kota Medan memang sudah seperti bahaya laten narkoba ataupun korupsi. Namun semakin ke sini pemerintah tak juga punya kiat jitu untuk menanganinya. Hari berganti bukan korban yang berkurang, tapi pelakunya justru yang bertambah.Â
Untuk korban ada yang tangannya dibacok, diserampang di tengah jalan, meninggal di tempat, kritis di rumah sakit sampai-sampai meninggal juga, dan kritis di rumah sakit berhari-hari. Silakan bersyukur bagi yang belum menjadi korban, dan semoga tidak sampai menjadi korban.
Sementara untuk para pelaku, mungkin mereka sudah pada kaya. Tapi uang hasil rampokan biasanya adalah uang setan, mudah datang dan pergi bak betul-betul setan. Atau mereka nombok, mangkanya tidak kapok-kapok jadi perampok.
Selanjutnya muncullah Bobby Nasution, Walikota Medan, dengan kalimat heroiknya bahwa pelaku begal kalau perlu ditembak mati. Itu disampaikannya saat menghadiri acara pemaparan kasus kriminal oleh Kepolisian Resor Belawan, di Mapolres Belawan, 6 Juli lalu, yang kemudian dia tebalkan lewat postingan Instagram pribadinya.
Warga yang kian resah, emosi, serta dendam, lantas bertepuk tangan menyambut usulan Bobby itu. Mungkin inilah kiat yang ditunggu-tunggu itu, pikir mereka.
Mereka seperti tidak sadar bahwa dalam keadaan emosi segala sesuatu menjadi buram, sehingga tak bagus mengambil keputusan di saat-saat seperti itu. Tapi, apa iya pemko Medan tidak tahu akan hal itu?
Bisa jadi. Atau Bobby saja yang ingin berselancar di atas ketidakdewasaan warganya; ingin menikmati sorak gembira warganya. Ada tujuan terselubung, barangkali? Edy Rahmayadi dan Musa Rajekshah---kandidat gubernur---sepertinya perlu waspada...
Bobby dalam kesempatan ini kentara sekali tidak berselera tinggi, sebab deklarasi tembak di tempat terhadap pelaku kriminal sesungguhnya murahan jika dilontarkan oleh sekelas kepala daerah. Menantu presiden pula. Bisa-bisa Pak Presiden ikut dicap sebagai orangtua yang tak mengajarkan tentang hak asasi dan pemecahan masalah yang baik kepada sanak keluarganya yang memerintah di sebuah daerah.Â
Karena alih-alih berani, pernyataan sok pahlawan Bobby yang ingin menembak mati pelaku kriminal justru mengakui ketidakmampuan pemerintahan yang dipimpinnya dalam menghadirkan rasa aman untuk warga.
Lazimnya mengumumkan perang terhadap pelaku kriminal adalah tindakan terakhir yang ditempuh saking buntunya. Maka menjadi pertanyaan, selama ini ngapain Bobby dia sampai berlarut-larut kriminalitas di kota ini?
Sebagai insan pemerintahan yang dimuliakan, Bobby seharusnya berlaku bijak dan adil kepada seluruh warganya ketimbang berselancar di atas emosi rerata warga yang tengah membubung.Â
Saya tidak salah mengatakan "berlaku adil", karena biar bagaimanapun, pelaku kejahatan adalah warga dia juga. Orang yang berpendidikan pasti tahu bahwa hukum tidak pernah melegitimasi perlakuan main hakim sendiri, perlakuan semena-mena, pun perlakuan balas dendam.
Jadi, meskipun pelaku kejahatan merampas hak orang lain---hak untuk hidup bahkan---mereka juga masih memiliki hak untuk membela diri di hadapan hakim. Itu, sih, menurut hukum yang diadopsi oleh orang-orang yang berpendidikan.Â
Pak Hakim juga butuh kerjaan, bukan? Mereka ingin tahu kenapa si begal melakukannya. Jangan-jangan para pembegal itu terpaksa berbuat keji demi sesuap nasi. Jika benar demikian, maka mereka layak mendapat keringanan hukuman, karena ini seharusnya menjadi tanggung jawab Bobby sebagai walikota: dia harus memperhatikan kesejahteraan seluruh warganya.Â
Namun jika pembegal memang buat foya-foya hasil rampokannya, beli sabu misalnya, maka hakim pun dengan senang hati memberatkan hukumannya. Tidak susah, bukan?
Bobby pun seperti tidak sadar akan ucapannya, ketika memberi lampu hijau menembak di tempat terduga pelaku. Karena, beberapa hari setelah ucapan itu, 10 Juli lalu, polisi menembak mati terduga pelaku kriminal yang sebelumnya merampok di kawasan Jalan Flamboyan, Medan Tuntungan.Â
Berita yang muncul pun dramatis, mencap para terduga sebagai orang bengis nan sadis. Padahal kalau dipikir-pikir apa bedanya aparat jika main tembak begitu. Bobby bahkan mengapresiasi tindakan aparatnya ini.
Bobby harusnya sadar bahwa dia baru saja menambah catatan extrajudicial killing di Kota Medan. Bagi orang berpendidikan, kalau kotanya mencatatkan kasus extrajudicial killing, itu tandanya kota tersebut buruk sekali!
Klaim polisi, terduga pelaku melawan saat hendak diringkus di sebuah rumah kos. Tetapi bagaimana mau dipercaya? Propam sekalipun yang mengatakan bahwa polisi memang terpaksa menembak, rasanya masih sulit percaya mengingat apa yang terjadi terhadap divisi ini tak lama sebelumnya. Kalau ada kamera badan, seperti yang sedang dicanangkan untuk setiap petugas saat melakukan operasi penangkapan, barulah bisa dipercaya.
Alih-alih demikian, yang mencuat justru dugaan bahwa polisi ini jadi agak enteng menekan pemicu pistolnya setelah dibekingin Bobby dan para warga yang sedang berapi-api. Karena bagi sebagian orang, kejantanan itu perlu diasah. Sementara menembak dan membunuh tentu akan meningkatkan kejantanan. Lucu saja jika punya pistol tapi jarang dipakai, bukan?
Padahal polisi yang profesional hendaknya menjunjung tinggi aturan yang tertuang di lembaga mereka sendiri. Banyak sekali syarat sebelum anggota diperbolehkan menekan pemicu pistolnya. Dan itu pun tidak dimaksudkan untuk menghilangkan nyawa.Â
Polisi yang bagus harusnya menembak tersangka yang membandel di area-area tubuh yang tidak vital seperti kaki atau bahu. Dan ingat, negara ini bukan negara koboi, sehingga sangat jarang ada tersangka yang memiliki senpi berpeluru tajam, sehingga kejadian ini sangat bisa dihindari.
Lantas, dengan membikin mati si tersangka, bagaimana polisi akan bertanggung jawab? Pasti tidak akan, karena postulat yang terbentuk di benak publik sudah membenarkan para polisi, bahwa pembegal harus dimusnahkan.
Dan lantas, dengan matinya si tersangka, apakah akan menimbulkan efek jera seperti yang diharapkan Bobby dan rerata warganya yang sedang emosi?
Bak katak dalam tempurung, sangat cetek ilmu lapangan kita jika mengakui akan ada efek jera. Ketahuilah kejahatan itu sudah seperti hukum alam, tak pernah libur barang sehari pun, sekalipun ada ganjaran tegas di luar nalar. Bahkan bisa-bisa para gerombolan begal semakin merajalela, sebagai ekspresi kemarahan mereka melihat sejawatnya tumbang. Bagaimana jika mereka mengumumkan perang? Oke, ini terlalu jauh. Tapi plis, jangan harap ada efek jera.
Lebih bagus Bobby mengingat-ingat kata mendiang Bang Napi di acara Sergap, program TV era tahun 2000-an. Dia bilang kejahatan terjadi tidak selalu karena niat, tetapi karena ada kesempatan.
Oke, pembegal pasti dari rumah sudah berniat melalukan kejahatan. Tapi kalau kesempatannya nihil, ya mereka pasti tidak jadi berbuat jahat.Â
Kalau saja Bobby paham, dia seharusnya memperbanyak polisi yang patroli di jalan raya, agar kesempatan para penjahat itu sempit. Tetap polisi yang patroli tidak boleh menjadikan deklarasi Bobby sebagai pijakan untuk berbuat semena-mena.
Dulu medio 2012-an, di Medan sempat terbentuk petugas Patra. Mereka adalah kawanan Brimob yang berkeliaran di jam malam menggunakan motor trail. Saat kita jalan tengah malam, di setiap kilometernya, pasti menemui anggota Patra itu.Â
Jujur saja, itu sudah sangat baik dalam mencegah aksi kriminalitas, walaupun balik lagi bahwa kejahatan tak pernah libur. Dan paling tidak, cara ini lebih berpendidikan ketimbang membalas dengan menembak mati. Saya heran Patra ini dinonaktifkan. Apakah mereka kesulitan membeli uang bensin?
Juga, selain mengaktifkan kembali satuan Patra, Bobby mestinya memasang CCTV di setiap penjuru kota kayak di luar negeri. Lampu-lampu jalan juga. Terangkan setiap jalan di kota Medan. Jangan berdalih pemanasan global, sebab Medan ini masih terlalu gelap.Â
Dan tolong jangan tanya dari mana dana untuk membeli semua itu. Anda jadi walikota ya harus jago ngelobi, perluas relasi, bila perlu panggil bapak presiden.
Kalau nanti ada uangnya, dimohon jangan kayak lampu pocong yang gagal itu. Itu aib warga Medan soalnya...
~Rio
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H