Mohon tunggu...
Rio Nur Ilham
Rio Nur Ilham Mohon Tunggu... Lainnya - Pemerhati

Bukan Basa-basi

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

20 Tahun MK: Perannya Selalu Vital, tapi Sembilan Hakimnya Masih Kurang Dikenal

23 Juli 2023   23:56 Diperbarui: 23 Juli 2023   23:58 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ANTARA FOTO/HAFIDZ MUBARAK A (2019)

 

Tak terasa Mahkamah Konstitusi (MK) kita sudah berumur 20 tahun saja. Dengan rentang waktu selama itu pastinya banyak sekali yang bisa diceritakan, terutama betapa heroik lembaga ini dalam menegakkan konstitusi bangsa. Namun, sayang seribu sayang, mayoritas masyarakat di arus bawah kalau mau jujur masih tak paham bagaimana cara kerja lembaga ini, bahkan sembilan hakimnya tak familier di mata mereka.

Selama ini hakim kontitusi seolah-olah ekslusif. Entah eksklusif dalam pengertian yang baik, seperti hakim harus betul-betul independen sampai-sampai jarang terlihat, atau eksklusif dalam pengertian yang buruk, misal hakim sengaja menutupi dirinya karena ada sesuatu yang tak boleh dilihat?

Boleh saja mengatakan bahwa "tak dikenal" adalah anugerah tersendiri. Sebab yang "dikenal" biasanya adalah hakim yang kesandung kasus memalukan seperti---lebih bagus tak usah disebut lagi nama-nama itu. Ya, ini adalah noda yang tak boleh kita lupakan; sebagai pengingat untuk setiap orang bahwa ketidakjujuran bisa terjadi kapan saja bahkan di tempat yang sebenarnya kita sukai.  

Jangan keseringan mengatakan bahwa hakim bukanlah orang yang sempurna untuk menyederhanakan ketercelaan. Sadarlah, sempurna atau tidak orang tidak akan mau peduli, sebab orang hanya ingin kursi hakim diisi oleh sosok yang sempurna. Tak ada toleransi jika seorang hakim berbuat cela.

Rasanya sangatlah tidak bijak jika hakim-hakim MK sengaja mengurung dirinya demi dianggap independen. Peran mereka dalam meluruskan suatu produk hukum apakah bertentangan terhadap konstitusi atau tidak, tentu selalu sangat memengaruhi nasib dan kepastian warga. Jadi, alangkah baiknya jika seluruh insan di negeri ini mengetahui bagaimana sosok sembilan hakim konstitusi, mengenai apa warna pikiran mereka, kepiawaian mereka memilih kata saat berbicara, bahkan cara mereka tertawa. Jujur saja, penting bagi publik untuk mengetahui sudut-sudut tertentu dari para hakimnya. Toh hal itu akan memberi edukasi, serta bisa menjadi ladang diskursus bagi anak negeri jika para hakim dalam suatu kesempatan melemparkan pernyataan, misalnya.

Sudahilah budaya yang menganggap "aktif" adalah "genit". Semua orang pastinya memiliki filter yang mumpuni untuk menyaring "keaktifan" itu. Dan hakim MK pun pastinya paham bagaimana caranya bersikap dalam batasan-batasannya. Tidak usah terlalu gamang, sebab yang diinginkan publik hanyalah mengenal lebih jauh para penjaga konstitusi ini. Usulan Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat 2013 Sidarto Danusubroto bahwa hakim MK jangan banyak ngomong ke publik rasanya tak relevan di era keterbukaan di mana setiap orang haus akan diskusi.  

Seringnya MK diketahui publik saat koran-koran atau media memberitakannya, dengan latar gedung bergaya Romawi yang keren itu. Atau bagi publik yang lebih mengerti, akan berinisiatif pergi ke kanal YouTube dan/atau laman Mahkamah Konstitusi untuk mencari notulensi maupun menonton persidangan. Tetapi, itu MK secara kelembagaan, bukan pribadi hakim-hakimnya. Para hakim di kesempatan ini hanya terlihat melontarkan pertanyaan kepada para pihak, itu pun sekali-sekali. Dan kadang-kadang barulah mereka menuangkan isi pikirannya saat membacakan putusan dissenting.

Tentu saja itu tak cukup. Hakim dalam membaca putusannya pasti membaca teks yang sudah mereka buat panjang lebar, dengan kata-kata yang kaku pula. Publik akan bosan dalam tiga paragraf sementara hakim terus membacakannya sambil berharap didengar. Alhasil gagal niatan publik untuk mengenal lebih dekat para hakimnya dengan cara yang menyenangkan.

Maksudnya, mengapa sembilan hakim ini tidak sering saja tampil di publik? Tidak usah sampai sembilan, tiga sampai empat hakim pun sudah baik. Misalnya kalau tidak diundang media pada acara bincang-bincang, para hakim bisa memanfaatkan video di YouTube. Hal itu akan sejalan dengan niatan mahkamah bahwa mereka tak tutup mata dengan kemajuan zaman. Lagipula, MK sudah memiliki kanalnya sendiri, hanya sayangnya bukan para hakim yang bicara di sana. 

Dengan kalimat-kalimat menohok hakim yang diucapkan di ruang YouTube, misalnya, maka besar peluang media arus utama mengundang mereka. Atau, ya, hubungi saja para pemred bahwa hakim ingin bicara.

Saat nanti katakankah para hakim sudah dan sering berbicara di ruang publik, dimohon kepada para hakim agar jangan berbicara terlalu normatif, baku nan kaku, atau malah balik lagi ke pelajaran betapa pentingnya Pancasila. Pancasila tentu penting, tetapi seharusnya itu sudah selesai di tingkat sekolah dasar. Ketahuilah bahwa kenormatifan semacam ini sangat tidak mendongkrak kecerdasan dan tidak menjawab keingintahuan publik, sebab pikiran otentik para Yang Mulia-lah yang diburu khalayak selama ini.

Kesempatan dan momentum kesembilan penjaga konstitusi untuk berbicara di ruang publik juga rasanya sudah banyak sekali. Apalagi undang-undang yang dibuat dewan perwakilan bersama presiden acap dianggap tak memihak publik. Mengapa hakim seolah-olah hanya menunggu di kursi Yang Mulia miliknya untuk mengomentari produk-produk hukum itu? Maksudnya, bukankah menarik jika satu dua hakim memberi sinyal awal terhadap rancangan undang-undang yang dinilai kontroversi? Atau bukan terhadap produk hukum, tapi mengomentari suatu polemik dan wacana, contohnya. Itu akan membuat diskursus yang menggemberikan, sebab jika hakim konstitusi bicara media besar pasti akan memuatnya. Partisipasi publik, yang selama ini dianggap tidak diajak, akan tersedot untuk lebih fokus.

Ya, bisa saja hakim yang satu tidak satu suara dengan yang lain. Tapi itu jelas bukan soal dan tidak akan mencemarkan harga diri mahkamah. Sebab, publik sudah atau akan akrab dengam istilah dissenting opinion. Dalam beberapa putusan juga hakim bisa dalam posisi itu: yang terakhir disorot secara luas aalah putusan terhadap sistem pemilu legislatif, di mana putusan jatuh dengan komposisi 8:1. Publik akan mudah memahami itu.

Rasanya tidak ada yang salah jika para hakim konstitusi menjadi populer berkat aktifnya mereka di ruang publik secara positif. Sudah sepatutnya hakim konstitusi masuk pada barisan tokoh yang populer di negeri ini---bukan sekadar populer, melainkan sebagai sosok yang berkelas tinggi. Rasanya publik akan siap dan terkesima menyambut kepopuleran ini. Agar negeri pun lebih berwarna.

Ya, mungkin dewan perwakilan atau bahkan lembaga kepresidenan mula-mulanya akan merasa bahwa trias politika ini sudah tidak enak, ingin mengubahnya menjadi hanya dwias, misalnya. Tapi pasti dengan kedewasaan mereka akan beradaptasi. Yakinlah...

Bicara MK secara kelembagaan sepertinya tidak ada masalah berarti dan sudah pasti tidak asing lagi di telinga publik, walaupun hasil jajak pendapat yang terakhir menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi hanya mendapat kepercayaan publik sebesar 50-an persen. Tidak tahu apakah jajak pendapat ini penting, tapi yang jelas publik merasa ada yang kurang terhadap lembaga ini. Dari saya penulis, hanya menganggap kekurangan mahkamah adalah para hakimnya yang terlalu seolah-olah "penyendiri".

Sudah dua dekade padahal lembaga ini berdiri, berjuang, dinodai, bangkit, berganti hakim, terus-terusan menjaga konstitusi. Tetapi hanya diliput saat memutus perkara besar atau tersandung kasus. Dengan demikian, jangan lagi MK dan para hakimnya berdiam diri menunggu di ujung.

Selamat ulang tahun, MK!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun