Mohon tunggu...
Mario Manalu
Mario Manalu Mohon Tunggu... Editor - Jurnalis JM Group

A proud daddy

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Harapan Non-Muslim pada Muktamar NU Ke-34

23 Desember 2021   09:00 Diperbarui: 23 Desember 2021   21:39 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Muktamar NU ke-34 yang secara resmi dibuka kemarin, mendapat perhatian luas termasuk dari masyarakat non-Muslim. Di beberapa grup media sosial beranggotakan non-Muslim yang diikuti penulis, muktamar tersebut menjadi topik paling banyak diperbincangkan dalam beberapa hari ini. Perhatian utama para anggota grup bukan pada sosok yang akan terpilih pada muktamar tersebut tetapi apakah muktamar tersebut berjalan dengan baik dan damai seperti tahun-tahun sebelumnya.

Persaingan panas dalam perebutan kursi kepemimpinan dalam sebuah organisasi besar merupakan hal wajar. Dalam mutakmar-muktamar sebelumnya juga selalu terjadi persaingan bertensi panas. Tapi hanya dalam satu tarikan nafas, semua ketegangan mereda begitu pemimpin sah terpilih. Inilah salah satu teladan dari NU sebagai organisasi keagamaan terbesar di Indonesia yang membuat masyarakat (termasuk non-Muslim) memberi respek tinggi.

Dalam pratek kehidupan sebuah bangsa  dengan masyarakat yang plural, NU selama ini selalu tampil sebagai pengayom terutama sejak kepemimpinan Gus Dur. Kiprah kepemimpina Gus Dur di NU tentu hanya diketahui generasi milenial seperti saya melalui literatur. Para penerusnyalah yang kemudian membuat generasi kami dapat melihat secara langsung dan merasakan pendekatan kebangsaan yang selalu dikedepankan NU.

Penampilan tokoh-tokoh NU dengan ciri khas sarung sering dilihat masyarakat sebagai simbol kesederhanaan, keramahan dan sikap wellcome. Karena itulah banyak masyarakat non-Muslim mengidolakan tokoh-tokoh NU sebagai sosok-sosok pemersatu, pengayom dan peretas batas-batas perbedaan.

Sekalipun berstatus organisasi keagamaan terbesar di Indonesia, NU tak tergoda untuk tampil hegemonik dan selalu mampu menjaga independensi (tidak didikte oleh kekuatan politik manapun). Itu mungkin dari buah konsistensi NU untuk menjaga jarak dari kekuasaan dan tidak melebur dalam politik praktis. Memang banyak tokoh NU yang terjun ke dalam politik praktis, tetapi NU sebagai organisasi berhasil menjaga independensinya. Karena itu NU kerap menjadi sumber kekuatan moral dalam berbagai kisruh di negeri ini.

Hasil muktamar ke-34 ini kita harapkan tetap mampu membawa NU sebagai organisasi yang independen secara politik sekalipun banyak kekuatan dari luar yang berusaha menariknya terutama dalam menyongsong tahun-tahun politik menuju 2014. NU adalah aset sangat penting bagi bangsa ini. Tak ada kepentingan politik praktis manapun yang bisa disejajarkan dengan peran penting NU dalam menjaga keutuhan dan keharmonisan kita sebagai bangsa sebagaimana ditunjukkan selama ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun