Mohon tunggu...
Mario Manalu
Mario Manalu Mohon Tunggu... Editor - Jurnalis JM Group

A proud daddy

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ibu Bukan Hanya Bunda

22 Desember 2021   06:03 Diperbarui: 22 Desember 2021   23:57 360
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Illustrasi Ibu (Sumber:Pixabay.com/sasint/Putu Elmira via liputan6.com)

Setiap tanggal 22 Desember para pengguna media sosial di Indonesia berlomba memberi penghormatan kepada Ibu yang melahirkan mereka dengan berbagai kreativitas olah kata yang sangat menggugah perasaan. Para suami juga melakukan hal yang sama kepada istri atau ibu dari anak-anak mereka. Dalam konteks tersebut telah terjadi penyempitan Hari Ibu menjadi "Hari Bunda".

Ibu, Sapaan Umum

Dalam KBBI V, Bunda (Ibunda) memiliki pengertian tunggal yakni kata sapaan untuk orang tua perempuan. Pengertian ini lebih sesuai dengan cara mayoritas penduduk Indonesia memaknai Hari Ibu yakni penghormatan kepada perempuan atas peran dan jasanya dalam keluarga: melahirkan, membesarkan anak-anak, mengurus rumah tangga dan sebagainya. Karena itu Hari Ibu cenderung dimaknai secara personal belaka.

Kalaupun ada ungkapan-ungkapan yang bersifat umum, tetap ditujukan kepada semua orang tua perempuan. Jarang sekali di Hari Ibu kita menemukan pesan-pesan emansipatif yang justru sangat relevan sekarang ini di tengah situasi masih terbelengunya banyak perempuan oleh rasa takut terhadap kekerasan dan pelecehan.

Kalau kita cermati latar belakang penetapan tanggal 22 Desember sebagai Hari Ibu, pesan emansimatif itu terkandung dengan sangat jelas. Presiden Soekarno menerbitkan Dekrit (1949) penetapan tanggal 22 Desember sebagai Hari Ibu bukan hanya untuk menghormati peran perempuan dalam rumah tangga, tetapi lebih bersifat emansipatif yakni mendukung perjuangan nasib perempuan. Lebih tepatnya, Dekrit tersebut diterbitkan untuk menghormati Kongres Perempuan pertama yang berlangsung di Yogyakarta pada tahun 1928. Dalam kongres tersebut dibahas bagaimana perempuan tidak hanya berperan dalam rumah tangga, tetapi juga ambil bagian dalam urusan-urusan lebih besar, termasuk perjuangan merebut kemerdekaan.

Sesuai dengan konteks sejarah tersebut, pengertian paling tepat untuk Ibu adalah semua perempuan dewasa, baik yang sudah menikah maupun belum menikah. Ini kompatibel dengan uraian dalam KBBI yang memberikan 5 pengertian Ibu. Tiga di antaranya berkaitan dengan perempuan. Pertama, wanita yang telah melahirkan seseorang. Pengertian pertama ini sama dengan pengertian Bunda dalam KBBI. Kedua, kata sapaan untuk wanita yang sudah bersuami. Ketiga, sapaan takzim kepada perempuan baik yang sudah bersuami maupun yaang belum.

Untuk membuat pembedaan antara Bunda dan Ibu semakin jelas, mari kita ambil contoh dalam pemakaian sehari-hari. Ketika bertemu dengan wanita yang baru kita kenal, lazim kita menyapa dengan "Ibu" atau "Bu". Tetapi akan sangat janggal kalau kita menyapa wanita yang baru kita kenal dengan "Bunda". Maka Ibu adalah sapaan umum, sementara Bunda adalah sapaan khusus kepada orang tua perempuan.

Dari tinjauan singkat atas sejarah dan definisi tersebut, tampak jelas bahwa Ibu dalam "Hari Ibu" tidak hanya merujuk pada orang tua perempuan (bunda), tetapi semua perempuan. Kendati demikian perlu ditekankan di sini bahwa pemaknaan Hari Ibu sebagai penghormatan kepada orang tua perempuan (bunda) bukan sebuah kesalahan. Sudah semestinya kita menghormati ibu yang telah melahirkan dan membesarkan kita dengan penuh kasih sayang. Tetapi karena ibu bukan hanya bunda,  pemaknaan Hari Ibu akan lebih tepat kalau penghormatan kita tunjukkan kepada semua perempuan dan terus mendorong perlindungan kepada perempuan di tengah makin maraknya kasus-kasus kekerasan dan pelecehan.

Pemaknaan Baru atas Emansipasi Perempuan

Kita mengakui bahwa kesetaraan gender telah mengalami kemajuan pesat dalam beberapa dasawarsa terakhir. Karena itu emansipasi wanita sekarang ini tidak lagi menitikberatkan transformasi budaya dan hukum yang di masa lalu menjadi sumber rintangan bagi perempuan untuk mengakses pendidikan, pekerjaan dan bidang-bidang lain. Emansipasi wanita sekarang lebih relevan ditujukan untuk penguatan hukum yang melindungi perempuan dari kekerasan dan pelecehan.

Tanpa tindakan tegas terhadap para pelaku kekerasan dan pelecahan terhadap wanita, akan semakin banyak perempuan merasa terbelengu atau tidak bebas untuk menempuh pendidikan, meniti karier dan berkarya di berbagai bidang. Apalagi akhir-akhir ini kasus-kasus pelecehan seksual justru marak terjadi di lembaga-lembaga pendidikan yang semestinya tempat lebih aman bagi perempuan.

Selanjutnya, emansipasi wanita perlu juga diterjemahkan menjadi pendidikan karakter bagi laki-laki untuk menghapus pola pikir yang disebut para pejuang hak-hak wanita sebagai "pola pikir predatoris". Pola pikir seperti itu cenderung menyalahkan perempuan sebagai faktor terjadinya pelecehan dan kekerasan, misalnya dengan menggunakan alasan tidak berpakian pantas, tidak bisa menjaga diri, tidak bijak memilih pergaulan dan sebagainya. Ini adalah buah dari rendahnya penghormatan kepada perempuan sehingga selalu menempatkan laki-laki sebagai sosok yang selalu benar dan berkuasa.

Maka Hari Ibu yang kita peringati hari ini semestinya lebih memampukan kita untuk menunjukkan keberpihakan penuh simpatik kepada semua perempuan terutama yang menjadi korban pelecehan dan kekerasan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun