Sorotan tentang dampak pandemi covid-19 secara psikologis sejauh ini lebih banyak difokuskan pada anak-anak karena dinilai paling rentan terhadap ancaman disorientasi akibat berbagai pembatasan aktivitas di masa pandemi ini. Penelitian terbaru The Office for Standards in Education (Ofsted) di Inggris menyimpulkan bahwa kelompok umur paling terdampak oleh pembatasan sosial dan fisik selama pandemi adalah kelompok anak usia pendidikan dini.
Dalam rilis yang dipublikasikan melalui web gov.uk, Ofsted merinci kemunduran kemampuan dasar anak-anak usia dini akibat pembatasan aktivitas di tempat-tempat pendidikan.Â
Ada anak yang sebelumnya telah cukup mandiri (misalnya sudah bisa ke kamar mandi sendiri), kembali mengenakan popok; ada anak yang sebelumnya sudah bisa menggunakan pisau makan, setelah berdiam diri di rumah cukup lama menjadi lupa cara menggunakan pisau makan. Dari hasil kunjungan ke 900 tempat pendidikan  di Inggris, Ofsted mencatat kemunduran skills dasar anak-anak setelah berdiam di rumah cukup lama.
Baru-baru ini Mendikbud RI juga mewanti-wanti dampak dari pembelajaran jarak jauh (PJJ) yang terlalu lama bagi anak. Sebagaimana dilaporkan oleh kompas.com, Mendikbud memperingatkan bahwa PJJ dapat menaikkan tingkat stres anak karena minimnya interaksi dengan guru, teman seusia, lingkungan luar dan karena berbagai kesulitan menjalankan PJJ.
Menurut catatan PBB, 265 juta anak di seluruh dunia tidak bisa ke sekolah akibat berbagai pembatasan selama pandemi (Kompas.com, 23/11/20). Dengan kata lain, ada 265 juga anak di seluruh dunia "dipaksa" menjalani rutinitas baru yang jauh berbeda dengan rutinitas harian mereka sebelumnya. Meminjam peringatan Mendikbud, 265 juga anak di seluruh dunia tercerabut dari interaksi-interaksi sosial yang selama ini dengan nyaman mereka jalankan di sekolah, di tempat bermain atau di tempat-tempat lain (di luar rumah).
Apakah perubahan drastis tersebut akan turut mempengaruhi karakter mereka ke depan dan menjadi ciri umum generasi yang lahir dan menjalani masa anak-anak di masa pandemi ini? Sejauh ini belum ada penelitian yang menelisik jawaban atas pertanyaan tersebut dan pandemi covid-19 belum menunjukkan tanda-tanda akan segera berakhir. Maka artikel ini hanya ingin mencoba meletakkan pertanyaan tersebut dalam kerangka teori generasi yang telah umum diperbincangkan, kemudian bertanya lebih jauh: apakah teori tersebut perlu direvisi untuk memasukkan faktor pandemi covid-19?
Semakin Intens dengan Teknologi Digital
Klasifikasi generasi secara umum dibuat berdasarkan tahun kelahiran, kemudian dianalisis situasi sosial, ekonomi dan politik setiap era atau zaman di mana masing-masing generasi lahir dan tumbuh. Berdasarkan itu, dirumuskan karakteristik umum dari setiap generasi sesuai dengan pengaruh dari perkembangan masing-masing zaman.
Dalam teori generasi yang diuraikan Graeme Codrington dalam Mind the Gap: Own your past, know your generation, choose your future (Pinguin, 2012), hanya generasi Baby Boomers (lahir 1946-1964) yang karakteristiknya tidak dipengaruhi oleh perkembangan teknologi digital. Ciri umum generasi ini ditandai dan dipengaruhi oleh situasi sosial, ekonomi dan politik paska Perang Dunia II.
Generasi-generasi sesudahnya selalu dikaitkan dengan perkembangan teknologi digital. Generasi X (lahir 1965-1980) mulai mengenal internet dan vidio game. Pemberontakan pada nilai-nilai tradisional melalui sikap dan cara hidup mulai kelihatan pada generasi ini.Â
Selanjutnya generasi Y atau dikenal luas sebagai generasi milenial (1981-1994) semakin akrab dengan perangkat-perangkat digital berbasis internet. Mereka mulai nyaman dengan kehidupan virtual. Perhatian dan kepedulian pada lingkungan sosial semakin berkurang. Sikap kritis pada nilai-nilai dan otoritas lama (tradisional) mencapai puncaknya pada generasi ini.
Berikutnya, generasi Z (1995-2010) tidak lagi hanya akrab dengan teknologi digital, tetapi juga lebih menguasainya (tech-savvy). Juga dikenal sebagai iGeneration, mereka adalah orang-orang yang praktis, memiliki berbagai keahlian berkat kemudahan menyerap ilmu dari internet dan mengaplikasikannya dalam kehidupan, tapi dengan pendirian dan pemikiran yang lebih labil.
Terakhir, generasi Alpha, lahir atau menjalani tahap balita atau masa TK/SD di masa pandemi ini (2011-2025). Faktor pandemi covid-19 tentu belum dimasukkan dalam analisis karakteristik generasi ini, karena teori generasi dicetuskan jauh sebelum covid-19 merebak menjadi pandemi. Karena itulah prediksi tentang generasi ini dipenuhi optimisme.Â
Mereka dinilai memulai pendidikan lebih dini dan mayoritas anak-anak orang kaya karena kemajuan pesat teknologi membawa berbagai peluang dan kemudahan dalam aktivitas ekonomi. Apakah optimisme ini masih bertahan setelah pandemi memporak-porandakan ekonomi seluruh dunia dan menghambat anak-anak untuk memulai pendidikan lebih dini?
Teknologi sebagai Kewajiban
Selain untuk generasi Alpha, cukup masuk akal untuk mengajukan sebuah revisi pada teori generasi terutama dalam kaitan dengan penggunaan teknologi digital. Jika sebelumnya penggunaan perangkat-perangkat digital lebih banyak didasari oleh preferensi, di masa pandemi sepenuhnya didasari oleh kewajiban.
Pembatasan aktivitas fisik selama pandemi membuat kita tak punya pilihan selain mengandalkan aktivitas daring, siap ataupun tidak. Â Jika sebelumnya anak-anak menggunakan gadget sejauh mereka senang, di masa pandemi mereka harus menggunakannya suka atau tidak, dalam keadaan bosan atau dalam keadaan bersemangat; jika sebelumnya kita menilai bahwa pembejalaran daring hanya efektif dilakukan jika anak-anak dan fasilitas telah dipersiapkan dengan baik, di masa pandemi pembelajaran daring wajib dilakukan terlepas dari siap atau tidak.
Kejawiban menggunakan teknologi digital secara lebih intens tidak hanya dialami oleh kelompok Alpha, tetapi juga generasi-generasi lebih tua. Dosen, guru, karyawan, mahasiswa dan sebagainya, "dipaksa" untuk beraktivitas secara daring siap ataupun tidak. Mereka juga tercerabut dari interaksi sosial secara fisik. Sejauh mana "pemaksaan" ini akan memepengaruhi karakter orang-orang setelah pandemi ini? Kita tunggu analisis para teoritikus generasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H