Hampir satu minggu telah berlalu sejak WHO menetapkan penyebaran virus corona resmi menyandang status Darurat Kesehatan Global atau Health Emergency of International Concern (PHEIC). Status tersebut menyiratkan bahwa potensi bahaya dari wabah tersebut tidak lagi hanya mengancam secara serius sebuah negara atau sebuah benua saja, tetapi seluruh negara di dunia.
WHO tampak sangat hati-hati sebelum menetapkan status tersebut. Tergambar dari pernyataan-pernyataan resmi mereka beberapa hari sebelumnya bahwa wabah tersebut belum menjadi ancaman global.
Tapi, peningkatan jumlah orang yang terinfeksi virus tersebut melalui transmisi dari orang ke orang di negara-negara selain China, membuat para pentinggi WHO membuat pertimbangan ulang.
Dilansir dari CNN News, Tedros Adhanom Ghebreyesus (Direktur Jenderal WHO) mengatakan: "Alasan utama untuk deklarasi (status) ini bukan apa yang terjadi di China, melainkan apa yang terjadi di negara-negara lain" (cnn.com,30/01/2020).Â
Selanjutnya Tedros mengungkapkan kehawatiran jika virus tersebut menyebar ke negara yang sistem kesehatannya masih  lemah. Karena itu, penetapan status darurat global tersebut dimaksudkan agar WHO dapat mengkoordinasikan secara lebih baik respon negara-negara anggotanya.
Kemudian, status tersebut juga memberi landasan bagi WHO untuk menetapkan standar karantina dan berbagai langkah pencegahan lain bagi negara-negara tersebut.
Sayangnya, penetapan status tersebut tak serta merta mengurangi kenyinyiran, debat-debat kusir dan berbagai candaan dari orang-orang tak berempati di media-media sosial, termasuk di Indonesia, tentang wabah yang menuntut perhatian serius tersebut.
Demikian juga dengan hoaks, spekulasi dan teori-teori konspirasi terus mengalir. Padahal penetapan deklarasi Health Emergency of International Concern (PHEIC), dimaksudkan juga untuk memobilisasi perhatian internasional secara lebih serius terhadap wabah sebagaiman diulas dalam Kompas.com.Â
Sebelum wabah virus corona, deklarasi  PHEIC sudah lima kali digunakan yakni pada wabah flu babi (2009), polio (2014), Ebola (2014), virus Zika (2016), dan Ebola (2019).
Sejalan dengan perhatian serius yang diharapkan oleh WHO melalui deklarasi tersebut, kini saatnya kita belajar untuk lebih tanggap, waspada sekaligus berempati pada para korban. Ketika pemerintah memulangkan WNI asal Sulawasi dari propinsi Hubei, yang secara de facto tak termasuk daerah terdampak wabah, Â tanpa karantina, kita meributkannya.
Ketika WNI dari Wuhan hendak dikarantina di Natuna, kita juga meributkannya. Sepertinya kita sedang terjangkit virus pertengkaran sehingga segala sesuatu yang terjadi di negeri ini selalu memicu kebisingan.
Sekali lagi, marilah bersikap lebih rasional dan memberi kepercayaan kepada pemerintah untuk mengambil langkah-langkah penting di bawah koordinasi WHO.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H