Karena itulah bahaya gelembung saringan tersebut tidak pernah disuarakan para aktivis demokrasi pada masa-masa awal kemunculan media sosial.
Alih-alih, mereka memprediksi media sosial akan menjembatani terbentuknya ruang publik  baru di mana persemaian ide dan pertarungan gagasasan berlangsung secara organik tanpa intervensi para elit sebagaimana sering terjadi di media-media konvensional.Â
Dengan kata lain, media sosial sempat memunculkan harapan akan berlangsungnya demokrasi deliberatif yang sesuai dengan gagasan Filsuf Jerman, Jurgen Habermas.
Ruang publik dalam demokrasi deliberatif, sebagaimana digambarkan Jurgen Habermas, mesti menjadi tempat adu gagasan, bukan adu kekuatan massa. Keputusan dihasilkan bukan berdasarkan jumlah suara atau massa pendukungnya, tapi berdasarkan diskursus publik yang menguji gagasan mana yang terbaik. Cita-cita ini lebih terdengar sebagai sebuah utopia atau ilusi sekarang.
Praktek penyaringan di media sosial tidak memungkinkan terjadinya adu gagasan. Mayoritas pengguna telah diarahkan sedemikian rupa untuk menerima atau mendukung gagasan tertentu. Gelembung saringan memperkecil kemungkinan para pengguna membuka pikiran pada gagasan-gagasan lain yang bertentangan dengan kelompoknya.
Maka media sosial semakin identik juga dengan pertarungan kekuatan massa dan massa tidak perlu memahami dengan baik apa yang mereka bela atau perjuangkan. Semua hanya mengikuti komando.Â
Praktek ini akan terus berlangsung karena para politisi semakin doyan memamfaatkan celah di media sosial untuk mendoktrin masyarakat dengan propoganda-propoganda terselubung. Sayangnya, mayoritas pengguna media sosial terutama di Indonesia tidak menyadari bahwa mereka hanya bidak-bidak dari perang proksi para elit politik.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI